Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Pulau Sumba
Orang-orang Romawi telah memperlakukan Dia secara kejam, melebihi batas kewajiban mereka. Aku melihat mereka mendorong_Nya ke batu-batu karang. Ia tidak kuat memanggul balok kayu sebab bahunya lecet dan telapak kaki-Nya luka-luka. Para serdadu tiada henti membuat Dia jatuh tersandung, kemudian mengejek minta maaf.
Ketika Dia berjalan dengan sempoyongan ke tempat ini, seorang perempuan menawarkan air minum. Di antara mereka aku dapat melihat Miriam. Aku dapat merasakan cinta dan kalahnya ketika ia memandang Yesus. Ia mengulurkan minum ke bibir Yesus, lalu berpaling, seakan tidak sabar lagi menanti segalanya berakhir”.
“Tiba-tiba tubuh-Nya meregang dan ia mencoba menghirup udara untuk melegakkan sesak napasnya. Lalu dalam kesakitan ia berteriak, “Abba, ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku. Abbaaaaa…”
Jeritan Abba yang terakhir bergema dalam keheningan, seperti gema dari suatu kekuatan terakhir. Itu menguras segalanya. Tubuh-Nya tak mampu lagi bersandar pada penyangga. Ia kini lunglai tergantung pada paku. Yesus dari Nazareth telah mati.
Cuplikan di atas adalah kisah imajinatif dari seorang Pencuri yang Baik, yang disalibkan bersama Yesus, sebagaimana diceritakan oleh P. Denis McBride, CSsR, dalam bukunya “Impression of Jesus“, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: “Apa Kata Mereka Tentang Yesus”.
Salib dan penyaliban Yesus adalah sebuah fakta sejarah yang tidak sekadar dimaknai sebagai suatu cara untuk mati. Salib dan penyaliban Yesus adalah simbol kasih dan penyerahan diri bagi sesama.
Kata-kata nabi Yesaya menemukan perwujudan di sini: “Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, Dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya dan oleh bilur-bilurnya kita telah disembuhkan” (Yes 53:3).
Yesus menerima salib dengan sukarela karena ada makna penyelamatan di dalamnya. Artinya menyelamatkan umat manusia dari dosa dan akibat dosa yakni kematian. Di salib ini pula kita melihat wajah Allah yang, di satu sisi terlihat kejam terhadap Yesus, tetap di sisi lain penuh kasih terhadap manusia.
Salib dan penyaliban Yesus juga adalah simbol kerendahan hati dan pengosongan diri. Paulus dengan indah melukiskannya dalam surat kepada jemaat di Filipi: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Fil 2:8).
Yesus memiliki status dan kodrat sebagai Putra Allah dengan segala keagungan yang menyertainya. Tapi karena ketaatan kepada kehendak Bapa, Dia turun dan meninggalkan semua status keilahiannya untuk memilih takdir manusia yang paling hina. Untuk apa? Sekali lagi untuk keselamatan manusia.
Setiap pengikut Kristus pasti memilki salib dalam bentuk, ukuran dan cara yang berbeda-beda. Tapi salib hanya bisa menjadi salib kristiani jika punya satu makna yang sama dengan salib Yesus: untuk keselamatan atau minimal untuk kebaikan sesama. Salib tidak boleh terjadi sebagai akibat kesalahan sendiri.
Leave a Reply