Oleh Emanuel Dapa Loka, Wartawan dan penulis biografi
Membaca judul di atas, bisa jadi pembaca cepat-cepat mengumpat atau setidaknya bertanya-tanya, ”Judul macam apa ini?” Kalau umpatan atau sikap bertanya-tanya itu muncul, paling tidak, daya pikir kritis itu sudah muncul. Kata filsuf Prancis Rene Descarter: Cogito ergo sum atau ”Saya berpikir maka saya ada”. Dan semoga terus menyimak isi tulisan ini. Mari kita lanjutkan.
Mari mengaku. Walau kita merupakan penutur dan pengguna aktif Bahasa Indonesia, tidak jarang kita salah kaprah dalam menggunakannya. Betul kan? Saking sudah biasa, semua salah kaprah atau kekeliruan atau malah kesalahan yang muncul, kita anggap benar. Para wartawan yang semestinya lebih ”awas” pun menjadi pelaku.
Kalau orang awam yang melakukan kesalahan tersebut, masih bisa dimaklumi, tapi kalau wartawan, apalagi wartawan senior yang melakukan, dan berulang-ulang pula, bisa jadi sang wartawan itu tidak sadar juga bahwa dia sedang melakukan dan mewartakan hal yang salah.
Kata mantan Kanselir Jerman Joseph Goebbels: Ulangilah kebohongan sesering mungkin maka dia akan menjadi kebenaran. Dalam formulasi yang lain: ”Kesalahan yang diulangi terus menerus, akan menjelma menjadi ’kebenaran’”.
Tidak heran Goebbels berkata begitu, sebab dia adalah seorang orator dan propagandis pada masa pemerintahan Adof Hitler dengan segala rekam jejaknya dalam sejarah kekejaman dunia.
Mari kembali ke judul di atas. Baik secara lisan maupun tertulis, kata mau dan akan seringkali dipertukarkan penggunaannya secara sembrono sehingga membawa arti yang berbeda antara yang dimaksudkan penulis dengan yang diserap oleh pembaca.
Memang, mau dan akan sama-sama membicarakan sesuatu yang belum terjadi, tapi jika tidak cermat dalam penggunaanya bisa berabe kata orang Betawi. Mungkin akan lebih jelas kalau menggunakan contoh.
Malo Bili mengaku kalau dia sudah sudah beristri. Kalau kita sepakat bahwa kata kalau untuk menjelaskan sesuatu yang belum terjadi, maka fungsinya langsung dibatalkan oleh kata sudah dalam kalimat tersebut. Artinya, di sini tersua logical fallacy.
Seharusnya, kalimat yang benar adalah Malo Bili menjelaskan bahwa dia sudah beristri. Kata bahwa berfungsi menjelaskan sesuatu yang sudah terjadi. Kata kalau sefungsi dengan jika. Keduanya berfungsi menjelaskan sesuatu yang bersifat pengandaian atau bersyarat. Dan pasangan jika atau kalau adalah maka. Di sini terdapat ”sebab akibat”.
Sehingga, jelas-jelas adalah salah kaprah atau malah kesalahan kalau ada kalimat yang berbunyi: ”Jika tahun lalu Chandra menghadiahi istrinya mobil baru, maka tahun ini cukup sepeda olahraga”.
Mengapa terjadi salah kaprah? Karena tidak ada unsur ”sebab akibat” atau hubungan dari kedua tindakan Chandra pada istrinya. Bukan karena dia menghadiahi istrinya mobil tahun lalu sehingga tahun ini dia menghadiahkan sepeda olah raga kepada istrinya.
Lalu, bagaimana dengan ”Mau Akan”? Pertukaran secara sembarangan atas fungsi kedua kata ini sangat mudah juga kita temui. Benar bahwa kedua kata ini sama-sama menjelaskan sesuatu yang belum terjadi, tapi perlu cermat dalam penggunaannya. Tidak asal dipertukarkan.
Contoh kalimat: ”Shinta mau diperkosa, dia cepat-cepat melarkan diri sampai terjatuh di pematang sawah”. Peranyaan ”Nakal” yang segera bisa muncul adalah ”Kalau memang Shinta mau diperkosa, ngapain dia melarikan diri sampai terjatuh?” Selain itu, yang namanya pemerkosaan pasti dilakukan dengan paksaan. Karena Shinta tidak mau jadi korban, maka dia melarikan diri.
Jelas di sini kata akan dan mau tidak bisa dipertukarkan begitu saja. Maka baiknya kalimat di atas berbunyi: Shinta akan diperkosa, dia cepat-cepat melarikan diri sampai terjatuh di pematang sawah. Atau, agar lebih jelas dan tegas, munculkan pelakunya, sehingga kalimatnya bisa begini: Sandro mau memperkosa Shinta. Shinta cepat-cepat melarikan diri.
Masih banyak salah kaprah di bibir, ujung pena, tuts laptop atau di sekitar kita. Ayo cermat.
Leave a Reply