Bendera LGBT di Mesdjid, dan Menjadi Muslim dengan Nilai Eropa

Oleh Denny JA

Denny JA

Awal Juli 2022, berbagai media online Indonesia seperti Detik.Com, Pikiran Rakyat, Tempo.co, Republika heboh dan viral memublikasikan berita itu.

Sebuah mesjid di Jerman, bernama Mesjid Ibn Rush- Goethe mengibarkan bendera LGBT di area mesjid. Imam di mesjid itu, Mohamed El- Ketab menyatakan bahwa itu bentuk dukungan mesjid di sana bagi kaum LGBT.

“Cinta itu halal.” Dan cinta tak hanya dirasakan oleh kaum hetero seksual. Kaum homo seksual juga secara nyata dan faktual memang ada. Dan mereka pun bisa merasakan cinta. Demikian keterangan yang diperoleh dari Imam mesjid sana.

Mesjid itu  (Ibn Rush- Goethe) sudah mengambil sikap. “Kami tidak membiarkan kaum LGBT diasingkan dan kering secara spiritual.  Mereka juga insan Tuhan. Mesjid memberikan kehangatan kepada mereka. Kami mengisi sisi spiritual mereka.”

Bagaimana kita memahami gejala mesjid dengan bendera LGBT? Di Eropa, mesjid yang mendukung kaum gay bukan gejala baru. Sejak tahun 2012,  BBC juga sudah memberitakan berdirinya mesjid di Perancis yang mendukung LGBT.

Di mesjid itu, sebagaimana juga di mesjid Ibn Rush- Goethe, mereka juga mempraktikkan salat yang tak memisahkan pria dan wanita.

Dalam mesjid, tak ada batas tempat pria dan wanita. Mereka semua bercampur menjadi satu, salat bersama.

Para perempuan di sana juga tak harus menggunakan mukena untuk salat. Mereka bisa salat hanya dengan menggunakan jeans dan baju biasa.

Jika sebuah keluarga datang ke mesjid, atau sekumpulan para sahabat pria dan wanita salat bersama di mesjid, mereka tak perlu dipisahkan areanya. Mereka semua mahluk Tuhan yang sama, dan bersama  pula mereka dapat berbaur, bercampur salat di mesjid.

See also  Calon Pimpinan KPK yang Berintegritas, Bukti Komitmen Negara dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

Sejak tahun 1990-an, para cendikiawan sudah mendeklarasikan itu. Yaitu hadirnya Muslim Eropa. Datangnya Muslim Eropa. Perlunya Muslim Eropa.

Pilih Beragama Islam tapi dengan Nilai Eropa

Muslim Eropa adalah istilah untuk orang  Eropa, yang mayoritas kulit putih, yang memilih beragama Islam, dan tetap menjalankan western values.

Muslim Eropa ini tak ingin meneruskan gaya hidup, filosofi, dan kultur yang mereka sebut berasal dari Islam Timur Tengah. Islam di Eropa boleh memilih beragama Islam tapi dengan nilai Eropa. Muslim dengan Western Values baik untuk soal ekonomi, politik, budaya dan gaya hidup.

Dua pemikir dan profesor  paling kuat pengaruhnya menanamkan hadirnya Islam Eropa.

Pertama, Bassam Tibbi. Ia lahir di Damaskus, Suriah tahun 1944. Namun, ia tumbuh dan tinggal di Jerman. Sejak tahun 1992, ia sudah menulis dan menerbitkan paper berjudul Euro Islam (terbit tahun 1995).

Kedua, Tariq Ramadhan. Ia seorang Muslim kelahiran Swiss, tahun 1962. Tariq menulis buku berjudul To Be a European Muslim (1999).

Menurut dua pemikir itu, dalam Islam, juga dalam setiap agama, harus dibedakan antara yang esensial dan yang temporal. Sistem politik, ekonomi dan budaya adalah temporal belaka.

Menurut mereka, kita tak perlu beragama dengan mengikuti semua sistem politik, ekonomi, budaya dan gaya hidup ketika agama itu didirikan. Zaman berubah cepat.

Kita bisa beragama dengan sistem politik, ekonomi, budaya dan gaya hidup masa kini yang berbeda sama sekali, bahkan bertentangan dengan kondisi ketika para nabi itu hidup.

Bahkan Tariq Ramadhan keras sekali menyatakan. Kaum muslim di Eropa yang sudah terbiasa dengan western values, dengan demokrasi, hak asasi, ilmu pengetahuan, justru  harus menarik jarak dan meninggalkan Islam dengan kultur Timur Tengah, yang dianggap terbelakang.

See also  Surat Cinta untuk Trimedya Panjaitan: Cinta Relawan Tidak Perlu Dibayar

Konsekwensi dari pemikiran Bassam Tibbi dan Tariq Ramadhan bisa sangat jauh.

Di era ini, LGBT diakui sebagai bagian hak asasi manusia. Sudah 31 negara mengesahkan pernikahan sejenis, pernikahan LGBT.

Asosiasi dokter, psikolog dan psikiater di dunia barat, juga WHO, sudah jelas menyatakan LGBT bukan penyimpangan, bukan penyakit. Itu hanya varian yang normal dari perbedaan orientasi seksual belaka.

Jika kita bisa menerima perbedaan agama, bahkan bisa menerima perbedaan keyakinan soal Tuhan, mengapa kita tak bisa menerima perbedaan paham soal LBGT?

Gereja dan Mesdjid

Kini tak hanya gereja yang juga memiliki gereja pro- LGBT. Mesjid juga mulai tumbuh yang pro-LGBT di dunia barat sana.

Inilah masalah pelik yang dihadapi dunia agama. Setelah nabi wafat, tak ada lagi interpretasi tunggal soal agama. Beragama menjadi pertarungan tafsir.

Dua tafsir yang berbeda bahkan bertentangan dapat hidup. Tinggalah umatnya memilih ingin perang atau hidup damai berdampingan soal perbedaan tafsir.

Agama Islam meyakini yang akan dikurbankan oleh nabi Ibrahim adalah Ismail. Tapi agama kristen meyakini yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ishak.

Kita tahu, mustahil dua keyakinan itu benar kedua- duanya. Pasti ada salah satu keyakinan yang salah.

Tapi yang manapun yang benar dan salah, toh yang salah tetap bisa dan boleh diyakini oleh lebih dari satu milyar manusia dan lebih dari seribu tahun.

Jika orang boleh meyakini fakta yang salah, mengapa orang tak boleh meyakini gaya hidup yang berbeda, termasuk soal LGBT?

Negara modern membedakan antara tindakan kriminal dan tindakan berdosa. Yang dilarang oleh negara modern hanyalah tindakan kriminal. Soal tindakan berdosa itu dibiarkan menjadi urusan komunitas dan individu masing masing.

See also  Menanti Keputusan MK dalam Semangat Hari Kartini

Bagi orang Islam, itu berdosa jika makan babi. Tapi negara tak boleh menghukum warga negaranya yang makan babi. Bagi orang kristen,  juga agama lain, itu berdosa jika menyembah berhala. Namun, negara modern tak bisa menghukum orang yang menyembah uang atau menyembah kekuasaan.

Makan babi, menyembah berhala itu adalah dosa bagi agama tertentu. Tapi itu bukan tindakan kriminal.

Hal yang sama dengan LGBT. Itu adalah tindakan berdosa bagi tafsir agama tertentu, tapi itu bukan tindakan kriminal bagi negara modern.

Tidaklah kita heran jika ada mesjid yang mengibarkan bendera LGBT di Jerman itu dibiarkan saja oleh pemerintah Jerman.

Bahwa ada pro dan kontra, bukankah pro dan kontra hal yang biasa dalam tafsir agama? Misalnya antara Katolik versus Kristen, antara Sunni verus Shiah versus Ahmadiyah, bukankah terjadi pro dan kontra, yang banyak tafsirnya tetap berbeda, dari dulu hingga kini?

Dulu berbeda tafsir agama dapat berarti perang dan kematian. Di era ini, kita bisa berbeda tafsir dengan lebih rileks saja.

Hidup di dunia modern harus terbiasa dan lebih rileks dengan perbedaan paham, yang sudah diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia.*

Pemuatan tulisan ini atas seizin Denny JA

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*