JAKARTA, LAPIERO.COM-Purwanto, 42 tahun, memiliki bisnis yang cukup menarik. Bisnisnya adalah ekspor peti jenazah. Uniknya lagi, peti ini dibuat dari bahan ramah lingkungan, mulai dari rotan, eceng gondok, mendong, rami, pelepah pisang, dan aneka bahan alam lain yang ramah lingkungan. Karena itu, Purwanto menyebutnya green coffin.
Produk seperti itu diminati pasar Eropa hingga Amerika Serikat, negara-negara yang kesadaran terhadap lingkungannya relatif sudah tinggi. Kayu-kayu sebagai rangka penguat peti menggunakan kayu yang sudah memiliki sertifikat SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu), sebagai syarat untuk bisa masuk ke pasar Eropa.
Dari bisnis ini, Purwanto bisa mempekerjakan kurang lebih 100 orang di pabriknya, yang berlokasi di Desa Trangsan, Sukoharjo, Jawa Tengah. Usahanya yang bernama Eco Green, punya pasar tetap di Eropa dan Amerika Serikat.
“Saya memulai bisnis ini pada tahun 2002. Permintaannya terus naik dari tahun ke tahun. Apalagi setelah kami mendapat pendampingan dan pembinaan, juga dibantu mencari pasar dan permodalan,” ujarnya.
Melalui APIKRI, Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Indonesia, asosiasi di mana Purwanto bergabung, tiap bulan setidaknya 3 kontainer berisi peti mati dikirim ke luar negeri. Tiap kontainer bisa memuat 80 peti, sehingga tiap bulan setidaknya terjual 240 buah peti.
APIKRI tidak cuma menampung produksi peti buatan Purwanto. Sebagai asosiasi pengrajin, asosiasi ini juga menjadi penampung produk sejenis buatan produsen seperti Purwanto. Dari bisnis ini, setidaknya sudah ada 3 klaster usaha di Kabupaten Gunung Kidul, Bantul dan Kulon Progo.
Adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang membuat ekspor peti ramah lingkungan atau green coffin ini bisa terwujud.
Corporate Secretary LPEI Chesna F. Anwar mengatakan, “Sejak tahun 2017 kami mendampingi para pengrajin melalui APIKRI, dan alhamdulillah sejak tahun 2019 para pengrajin sudah bisa mengekspor.”
Ekspor perdana ke Belanda di tahun 2019 nilainya sekitar Rp150 juta, lalu disusul ekspor ke Amerika Serikat. Sekarang ini, jika dihitung rata-rata per bulan ekspor 3 kontainer senilai Rp450 juta, maka dalam setahun ekspornya mencapai lebih dari Rp5 Miliar.
Yang lebih menggembirakan, pekerja langsung yang terserap dari bisnis ini ikut meningkat. Ketua APIKRI, Kemiskidi mengatakan, yang ikut menikmati manisnya bisnis peti ini sangat banyak, mulai dari pengumpul eceng gondok, pelepah pisang, sampai dengan tukang pembuatnya.
“Ini bisnis yang prospeknya menjanjikan. Apalagi pasar luar negeri mencari produk ramah lingkungan, termasuk memikirkan persiapan ketika kelak menutup usia, maka mereka membutuhkan peti,” ujar Chesna.
Chesna mengatakan, lembaganya berkomitmen membukakan pasar yang lebih luas bagi pengrajin, termasuk menyediakan permodalan untuk pengembangan usaha ini. “LPEI memiliki mandat dari Pemerintah untuk mendorong ekspor. Jadi, kami sangat serius membantu para pengrajin melalui asosiasi. Kami optimis produk yang unik ini punya pasar yang sangat besar di luar negeri,” pungkasnya. (Lapier 07/*)
Keren dunia mengakuinya…..
Tadinya hanya dilirik pada saat dibutuhkan ….
Sekarang menjadi bisnis mwnjanjikan….bisa jdi idola bg pebisnis muda …..