Kata sebuah ungkapan, Friend in Need, Friend Indeed. Artinya, a friend who helps out when we are in trouble is a true friend — unlike others who disappear when trouble arises. Terjemahannya: “Seorang teman yang membantu saat kita dalam kesulitan adalah teman sejati — tidak seperti orang lain yang menghilang saat masalah muncul.”
Ungkapan ini terasa relevan dengan ikhwal yang terjadi dengan koalisi PDIP dan Nasdem dalam Pemerintahan Jokowi.
Frasa tersebut kian menemukan relevansinya ketika kita coba mencermati beban kerja yang Pemerintahan Jokowi berhadapan dengan berbagai persoalan bangsa dan mondial, khususnya masalah Covid-19 dan aneka ikutannya.
Ketika beban kerja Kabinet Jokowi menuntut konsentrasi dan kerja keras tim, “friend”-nya justru menunjukkan sikap yang tidak “ngefriend”.
Tentu saja, sikap tidak “ngefriend” ini mengganggu harmoni kerja dan rasa di antara friends yang mengikat diri dalam semangat hendak bekerja sama untuk membangun negeri dalam semangat yang sama.
Keputusan Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan selain mengganggu harmoni, juga menimbulkan goncangan di dalam tubuh Nasdem sendiri. Kader dan gerbong pendukungnya berarak secara bergelombang.
Menyusul setelah itu, isu perombakan komposisi menteri bertiup kian kencang dari banyak penjuru. Sambil mengatakan “Itu hak prerogatif Presiden”, tentu saja juga bikin Nasdem deg-degan.
Bisa dibayangkan, bagaimana orang-orang yang tidak menunjukkan sikap tidak “ngefriend” bekerja sama dalam sebuah biduk.
Bagaimana mengharapkan kesetiaan untuk saling membantu untuk sebuah kepentingan yang besar—semisal urusan bangsa? Mungkinkah kalau datang tantangan yang lebih berat lagi, apalagi sudah memiliki agenda sendiri-sendiri, mereka tidak saling meninggalkan?
Semestinya, seorang teman hadir bagi temannya dalam kegembiraan, harapan, duka dan kecemasan. Dan rupanya, harapan ini hanyalah utopia dalam dunia politik yang dihuni kaum opurtunis. Benarlah sebuah ungkapan: dalam politik tidak ada yang abadi selain ketidakabadian. So? (Me)
Leave a Reply