Oleh Dr Eleine Magdalena Sengkey, Doktor Teologi lulusan STFT Widya Sasana, malang
Dalam bukunya The Mystic of Fire and Light: St. Symeon the New Theologian, Maloney (1975) menuliskan ajaran St. Simeon mengenai penthos atau tinggal dalam kedukaan karena dosa. Seorang dapat berdoa dengan begitu lembut dan mendalam jika ia masuk dalam pertobatan yang terus-menerus.
Seringkali penyesalan mendalam ini diikuti air mata dalam doa-doa yang dipanjatkan. Dalam buku yang sama dituliskan: “Tanpa air mata, hati kita yang kering tidak dapat dilembutkan, juga jiwa kita tidak punya kekuatan untuk menjadi rendah hati”.
Apa yang dapat kita lakukan dalam pencobaan dan krisis adalah berdoa. Yesus sendiri menyuruh murid-Nya berdoa agar tidak jatuh ke dalam pencobaan (Luk. 22:39). Yesus mengulangi kembali dalam ayat 46.
St. Yohanes Vianney mengatakan, “Semua orang kudus memulai pertobatan mereka lewat doa dan dengan doa mereka bertahan hingga akhir. Semua orang yang terhilang adalah karena mereka melalaikan doa”.
Pengalaman bersama Yesus yang berbicara kepada kita dalam keheningan doa yang mendalam adalah pengalaman iman yang mengubah kita. Dalam kesedihan kita menemukan harapan. Dalam keadaan terpuruk kita menemukan pertolongan tepat pada waktu-Nya. Doa adalah kunci untuk keluar dari penderitaan dan masalah menuju pemulihan dan kemenangan keluarga kita.
Masalah-masalah dalam hidup kita menggerakkan hati Tuhan untuk mencurahkan lebih banyak belas kasih dan rahmat. Banyak dari kita mengutuk penderitaan. Kita tidak mau hidup susah. Kita hidup mengejar apa yang enak dan nikmat. Orang cenderung menghindari penderitaan, padahal penderitaan kristiani mengawali kemuliaan.
Banyak dari kita mungkin bingung, kok, orang baik menderita. Para murid juga bingung ketika Yesus yang banyak menyembuhkan orang dan berbuat baik kemudian mati di salib bagai seorang penjahat. Sebenarnya dalam Perjanjian Lama sudah sering diungkapkan mengenai kekuatan penderitaan untuk menguduskan seseorang. Namun, manusia tetap saja sering lupa. Kristus menegaskan kembali dalam Luk. 24:25: “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu yang telah dikatakan para nabi. Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?”
Injil Lukas menekankan perlunya Salib untuk dapat mengambil bagian dalam kemuliaan Allah. Apa yang kita lihat sebagai penderitaan bisa merupakan undangan untuk mendekat pada Tuhan.
Penderitaan dalam hidup perkawinan tidak bisa dihindari. Lari dari kenyataan pahit hanya akan menambah penderitaan bagi diri sendiri dan keluarga. Kesediaan menerima dan menanggung penderitaan akan mematangkan jiwa. Penderitaan memurnikan jiwa dan menguduskan jika membuat kita lebih dekat kepada Tuhan, saling menguduskan dan memurnikan orang beriman serta mengantar pada kemuliaan.
St. Bernard dari Clairvaux sangat prihatin dengan kondisi jiwa yang jauh dari Tuhan. Namun, ia sangat yakin bahwa setiap jiwa tanpa kecuali, sekotor dan seburuk apa pun, dipanggil untuk memulai perjalanan rohani. Apa pun yang sedang kita alami dalam perkawinan, bagaimanapun hancurnya kita dalam pandangan diri sendiri dan orang lain, inilah saat untuk memulai hidup bersama dan di dalam Tuhan. Kita selalu punya harapan begitu kita berseru kepada-Nya.
Leave a Reply