Nama Golgota memang menyeramkan. Dalam bahasa Aram, artinya “tengkorak”, atau tempat tengkorak. Itu adalah bukit berbentuk tengkorak di luar tembok Yerusalem. Bahkan nama Latinnya, Kalvari, berarti “tengkorak”.
Tampaknya, ini adalah tempat yang tepat bagi para penjahat untuk dihukum mati. Dan tentu saja, itu adalah tempat di mana Kristus dibunuh. Tempat dimana para penjahat mengeksekusi orang yang tidak bersalah.
Secara tradisional, gambar tengkorak telah menjadi lambang kenang-kenangan mori, pengingat kematian. Hal ini terlihat dalam seni Kristen dan ditemukan sebagai tokoh alegoris dalam literatur Kristen.
Bagi umat Kristiani, tengkorak sebagai kenang-kenangan mori dimaksudkan untuk mengingatkan kita akan empat hal terakhir: Kematian, Penghakiman, Neraka, dan Surga. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita memusatkan perhatian pada Golgota.
Namun kita harus melakukan lebih dari sekadar mengawasi Golgota. Kita harus melihat diri kita sendiri di bukit berbentuk tengkorak itu sendiri. Kami berada di sana ketika mereka memakukan Kristus di kayu salib. Kami semua ada di sana. Ketika Dia dipaku di kayu salib, dosa-dosa kitalah yang menancapkan paku ke dalam daging-Nya. Inilah sebabnya Mel Gibson memilih untuk memegang paku yang ditancapkan ke tangan Kristus dalam film yang ia produksi, The Passion of the Christ. Itu adalah tindakan penebusan dosa.
Namun, ada cara lain bagi kita untuk berada di Golgota selama masa Prapaskah dan sepanjang musim sepanjang tahun. Kita berada di sana sebagai sesama penderita bersama Kristus, bukan sebagai korban yang tidak bersalah namun sebagai pelakunya.
Kita bukan sekadar orang-orang yang menyalibkan Kristus. Kita juga adalah orang-orang yang disalibkan. Kita semua menderita. Penderitaan tidak bisa dihindari. Kita menderita karena dosa kita sendiri dan kita menderita karena dosa orang lain. Kita semua mempunyai salib masing-masing untuk dipikul dan terkadang kita semua terpaku pada salib tersebut.
Pertanyaannya bukanlah apakah kita akan menderita. Pertanyaannya adalah apa yang akan kita lakukan ketika penderitaan itu datang. Akankah kita menjadi seperti pencuri yang jahat dan tidak mau bertobat, yang disalib di sebelah kiri Kristus? Akankah kita menyalahkan orang lain atas dosa-dosa kita kecuali diri kita sendiri? Akankah kita menyalahkan tetangga atau musuh kita? Akankah kita menyalahkan Tuhan?
Atau, akankah kita menjadi seperti pencuri yang baik dan menyesal, yang disalib di sebelah kanan Kristus? Akankah kita mengakui keberdosaan kita sendiri? Akankah kita mengakui bahwa dosa-dosa kita telah menyakiti sesama dan musuh kita? Akankah kita menyalahkan diri sendiri dan meminta Tuhan mengampuni kesalahan kita dan melepaskan kita dari kejahatan?
Ketika kita menghabiskan waktu di tempat tengkorak, mengingatkan diri kita sendiri akan kematian yang menanti kita, bagaimana kita menilai diri kita sendiri? Akankah kita menilai diri kita sendiri dengan benar, menghukum diri kita sendiri ke dalam neraka yang telah kita buat untuk diri kita sendiri? Atau akankah kita menilai diri kita sendiri membutuhkan pengampunan penuh belas kasihan, dan mendapatkan tempat bersama-Nya di surga yang Ia janjikan kepada pencuri yang baik dari Kristus?*
Leave a Reply