Ijazah Palsu dan Tanggung Jawab Intelektual

Oleh Emanuel Dapa Loka

Pasar Pramuka di Jalan Salemba Raya, Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat tiba-tiba naik kelas menjadi ”universitas”. Hebat bukan? Memang benar! Negeri ini selalu penuh kejutan-kejutan.

Namun, siapa pun tahu, predikat ”universitas” pada Pasar Pramuka  tersebut hanya sebuah julukan baru terkait dengan dugaan dari pihak-pihak tertentu yang menyebut bahwa ijazah S1 yang Jokowi gunakan untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 dibuat di kawasan Pasar Pramuka itu.

Kok bisa? Bukankah presiden ke-7 dan 8 itu mengaku alumnus Fakultas Kehutanan UGM?

Sekali lagi, negeri ini selalu melahirkan kejutan-kejutan baru yang bisa menyebabkan seluruh makhluk di atas bumi dan di bawah bumi terheran-heran.

Sejauh mana kebenaran tudingan ”ijazah made in Pramuka” itu? Kita sama-sama tunggu dari pihak berwajib, walau integritas para berwajib itu, merupakan salah satu persoalan yang sedang dikandung ibu pertiwi.

Perilaku palsu atau lancung memang telah menjadi makanan sehari-hari masyarakat kita, bahkan berbiak dalam aneka rupa dan sajian. Sangking lumrahnya, apa saja dilancungkan atau dipalsukan.

Organ tubuh pun dipalsukan sehingga muncullah hidung palsu, bibir palsu, bokong palsu, dagu palsu, payudara palsu, pipi palsu, kemaluan palsu, dan sebagainya.

Di pasar, pusat perbelanjaan dan di trotoar-trotoar berserakan barang-barang palsu. Dan untuk mengelabui, produk palsu malah dilekati peringatan “awas barang palsu’”. Ini tentu saja, agar orang mengira bahwa barang yang di hadapannya adalah produk asli. Padahal, peringatan itu pun lancung. Lengkap sudah!

Secara umum, orang yang menghalalkan cara palsu adalah orang yang mau enak saja dan tidak peduli orang lain, bahkan tak peduli dirinya sendiri. Urusan moral mereka tempatkan pada urutan ke-79.

See also  Hadapi Praperadilan Hasto, KPK Tunjukkan Sikap Pengecut

Seneca, seorang filsuf dan pujangga (abad 3 Sebelum Masehi) pernah memperkenalkan sebuah adagium yang tersohor dan menjadi klasik hingga hari ini. Non scholae, sed vitae discimus. Artinya, belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk bidup.

Di dalam belajar, ada proses, ada internalisasi, pemaknaan, dan semua proses itu mesti dijalankan dengan gembira. Seseorang belum mencapai makna yang sesungguhnya dari belajar jika dia tidak mengalami dan menikmati proses belajar itu.

Dan hal inilah yang pasti tidak dialami oleh para pemalsu tersebut. Orang semacam mereka kehilangan masa-masa indah dan sukacita belajar itu  atau the enjoy of learning.

Yakinlah! Belajar secara sungguh-sungguh itu asyik, menyegarkan, meningkatkan rasa percaya diri, mengisi batin, membentuk nalar dan sebagainya.

Belajar adalah upaya menabung bagi diri sendiri, untuk bergenerasi generasi kemudian, bahkan bagi keabadian. Proses belajar membuat hidup terasa indah, menggairahkan serta merangsang lahirnya generasi-generasi selanjutnya yang cerdas dan bermoral.

Begitu luhurnya belajar itu, maka sudah sepatutnya, para pencinta, pemuja atau penghalal kepalsuan ini ditindak setegas-tegasnya. Mereka adalah pengkhianat tulen dunia belajar dan pendidikan!

Betapa tidak? Seorang intelektual semestinya adalah nabi yang memberikan pencerahan di tengah kegelapan. Pengabdian seorang intelektual tidak hanya untuk diri dan kelompoknya, tapi untuk masyarakat banyak.

Seorang terpelajar atau intelektual harus berani keluar dari dirinya sendiri dengan suluh di tangannya untuk membenderangi wilayah-hilayah yang masih dikuasai oleh kegelapan.

Noam Chomsky, seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts mengingatkan, tanggung jawab intelektual seorang terpelajar adalah berbicara kebenaran dan menguak kebohongan-kebohongan. Bukan sebaliknya, intelektualitas dipakai sebagai sarana melancarkan kebohongan kepada khalayak.

Jika perilaku seorang terpelajar adalah perilaku penipu dan pembohong, maka betapapun pemikiran mereka tampak cerdas dan cemerlang, itu hanyalah omong kosong intelektual, atau yang Berhard Russel sebut intellectual rubbish.

Itu semua tanpa makna, hanya ibarat sampah orang kota kampungan yang menyesaki wilayah jorok tempat berbiaknya penyakit-penyakit berbahaya.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*