Oleh Emanuel Dapa Loka, Penyair Kambuhan
Usai sudah ayunan langkah
dalam rentang masa terukur yang kita tempuh bersama
Kering sudah peluh yang mengguyur tubuh
tatkala berjalan dari balai-balai ke balai-balai
di antara bebatuan dan tanah kering untuk menjemput hatimu
Lewat kata-kata, uluran tangan dan cium hidungmu,
terasa hati dan jantung kita sudah tertaut
Terasa pula napasmu yang beraroma sirih pinang,
yang kau kunyah sepanjang hari memberi keyakinan
bahwa pikir dan rasa kita telah melebur menjadi energi baru
penjemput matahari we’e maringngi loko
Ternyata semua itu hanya “terasa”,
yang tidak segera terwujud
sebab terbukti hatimu mendarat
pada bagian lain dari lembaran tersedia
Aku mencoba menyelami senyum dan sorot matamu
yang kukira akan menerbangkan kita bersama
ke masa dengan kendi bernyala,
di mana kita boleh menyaksikan anak-anak kita
dengan gembira bercengkerama dengan kitab-kitab ilmu,
mandi dan bermain air di teras,
mengolah rasa dan pikir yang terabaikan di masa lalu
Ya! Meretas masa depan yang gemilang
Oh ternyata, pikir dan rasa kita memang belum bertaut
Kalau bertanya soal rindu,
sesungguhnya,
aku rindu semua itu menjadi milik anak-anakmu!
Maaf!
Rinduku bukan untukmu
sebab jalan di depanmu sudah terlalu pendek,
sebentar lagi kau telah selesai
Kalau rinduku untukmu,
barangkali aku cukup menggenggamkanmu
segepok lembar-lembar merah bertuah
Sekelebat,
aku lalu berteguh hati:
Barangkali Dia telah membentangkan bagiku
lembaran gemilang pada masa berbeda di waktu datang
Di saat itulah,
diiringi giring-giring purba,
gong keramat dan tambur perkasa
aku menari di atasnya
bersama mereka yang semestinya ikut menari…
Refleksi di atas udara dalam penerbangan Bali – Jakarta pada 7 Maret 2024
Dunia saat sekarang tidak pernah berpikir ttg masa yg akan dtg Bpak…