Oleh Emanuel Dapa Loka, Wartawan dan penulis biografi
Pemilu 2024 sudah selesai. Mereka yang akan menduduki kursi untuk semua jenis dan tingkatan daerah pemilihan sudah jelas. Tinggal ketuk palu. Selamat untuk para pemenang. Sedangkan yang belum terpilih, kata-kata hiburannya, “Masih ada waktu. Teruslah berjuang”.
Pertanyaan amat mendasar yang patut diajukan adalah “Kursi itu untuk apa dan siapa?” Yang pasti tidak untuk gagah-gagahan atau agar dengan itu dialamati seruan-seruan terhormat sebagaimana biasa kita dengar: “Anggota dewan yang terhormat!”
Semestinya, kursi itu untuk rakyat yang diwakili atau malah dipimpin. Ini berarti, dengan kursi itu, yang bersangkutan rela bahkan wajib mengerahkan segala daya untuk bekerja membela kepentingan rakyat yang dia wakili atau pimpin.
Karena itulah, orang yang masuk dalam arena legislatif atau eksekutif semestinya adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya. Atau setidak-tidaknya, mereka lebih banyak mengarahkan konsentrasinya untuk pelayanan publik dibanding untuk dirinya sendiri.
Sayangnya, kursi legislatif atau eksekutif kemudian terbukti menjadi sumber pendapatan semata. Dimensi mulia sebagai sarana pelayanan dan pengabdian terpinggirkan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa mereka pun perlu biaya untuk hidup.
Namun, gaji dan tunjangan sebagai ekskutif dan legislatif sudah memadai untuk hidup mereka. Dengan demikian, mereka tidak perlu terganggu untuk urusan mencari biaya kehidupan. Mereka tinggal bekerja secara kreatif dan penuh tanggungjawab bagi rakyat sebagai jalan pengabdian.
Tiga Alasan
Lalu, apa yang membuat para pemimpin atau wakil rakyat terpilih tidak seperti yang diharapkan? Setidaknya, ada tiga alasan.
Pertama, jika yang terpilih adalah sosok yang kemampuannya mengemban tugas dan tanggungjawab di bawah rata-rata, maka jangan terlalu berharap banyak dia atau mereka akan melakukan hal-hal berguna dan terukur bagi masyarakat.
Kedua, kalau yang terpilih adalah orang yang rakus dan selalu berpikir untuk dirinya, maka dia akan selalu berusaha dengan jabatannya melakukan berbagai cara untuk kepentingan pribadi dan melupakan esensi jabatannya itu sendiri. Orang semacam ini tidak akan pernah puas. Dalam dirinya justru bercokol semangat “Peduli amat” dengan orang lain!
Ketiga, hal lain yang membuat seseorang yang terpilih tidak bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat adalah beban yang teramat berat yang ditanggungnya saat berjuang mendapatkan kursi itu.
Jika untuk mendapatkan kursi itu dia harus membayar atau menyogok para pemilih dengan harga yang mahal, maka setelah mendapatkan kursi itu, tidak bisa tidak, dia harus mengembalikan semua yang dia keluarkan, apalagi kalau semua itu berangkat dari hutang.
Bayangkan! Kalau untuk ukuran DPRD 2 saja, seorang Caleg harus mengeluarkan dana miliaran untuk mendapatkan suara, maka setelah itu dia harus membayar semua hutangnya itu. Mana ada waktu dan pikiran untuk bekerja bagi rakyat?
Bayangkanlah juga! Kalau untuk menyogok rakyat agar mendapatkan kursi DPRD Kabupaten, seorang Caleg harus menjual beberapa dam truck miliknya, mobil, atau melego barang-barang berharga, rumah, maka setelah mendapatkan kursi dia akan berusaha sekencang-kencangnya mengembalikan semua itu, bahkan menambah berlipat-lipat.
Lalu, orang-orang seperti di atas yang masyarakat harapkan akan memberikan pelayanan terbaik bagi mereka? Ini mimpi berlebihan! Di sinilah berlaku adagium: apa yang ditanam, itulah yang dituai.
Minta Apa Lagi?
Mereka yang terpilih karena menyogok akan bergumam atau bicara terus terang: kalian minta apa lagi? Bukankah saya sudah membayar tunai suara kalian? Setelah itu, sebagian rakyat yang melek Medsos mulai menyemburkan makian, mengeritik wakil rakyat yang tidak pernah bukan kaca mobil saat melintas di depan mereka.
Itu tentang mereka yang mengeluarkan dana besar dan terpilih. Bagaimana dengan yang juga mengeluarkan dana sangat besar namun tidak terpilih? Bagi yang bermental kuat, dia akan biasa-biasa saja.
Namun, yang mentalnya labil, sangat mungkin menempuh jalan pintas seperti gantung diri, gila, terserang stroke atau minimal stress.
Dapat Apa?
Sementara itu Caleg yang datang ke tengah-tengah rakyat dan berusaha meyakinkan dengan berbagai program masuk akal, niat tulus yang dibuktikan dengan rekam jejak, tidak dipilih hanya karena yang bersangkutan tidak membagi-bagikan uang.
Bahkan Caleg yang sudah berkarya di tengah masyarakat melalui kerja-kerja konkret pun, tidak diberi suara, hanya karena menjelang pemilihan ada Caleg lain yang datang membagi-bagi uang. Mereka sungguh hanya berpikir “Saya dapat apa hari ini.”
Meski begitu, kita harus tetap berharap bahwa mereka yang terpilih—baik yang terpilih karena menyogok maupun yang terpilih secara murni, tetap memberi hati dan pikiran bagi rakyat karena kursi itu memang untuk rakyat.*
Rakyat jangan berharap banyak anggota dewan terpilih berbuat banyak untuk rakyat karena anggota dewan sdh berjuang mendapat suara dengan pengeluaran sangat fantastis. Jangan mengeluj ketila kurang mendapat perhatian dari anggota dewan. Rakyat sendiri yang telah memaksa para anggota dewan untuk tidak fokus pada kepentingan umum.