Mengadukan Kepedihan Hati


Persoalan kemanusiaan ini tak kalah pentingnya dengan persoalan keberagaman, perdamaian dan toleransi.

Oleh Sindhunata, Pemimpin Umum Majalah BASIS, Yogyakarta

Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia sepatutnya disambut dengan penuh sukacita. Di mata dunia, Paus Fransiskus telah menjadi simbol perdamaian dan persaudaraan universal. Kedatangannya ke Indonesia jelas akan makin meneguhkan bahwa negeri tercinta ini adalah tanah air bagi keberagaman, persaudaraan, kedamaian, dan toleransi.

Selayaknyalah sukacita itu kita syukuri. Namun, tanpa menghilangkan rasa syukur itu, kiranya bolehlah kita menitipkan seberkas dukacita yang harus ditanggung sebagian warga Indonesia. Dukacita itu tertuang dalam surat-surat yang disampaikan kepada Paus Fransiskus dalam kunjungannya ke Indonesia kali ini.

Menyambut kedatangan Paus Fransiskus, majalah Utusan (majalah kerohanian untuk kaum awam Katolik) dan majalah Rohani (majalah untuk kaum rohaniwan dan rohaniwati) mengundang pembaca untuk menulis surat kepada Paus. Ternyata undangan kedua majalah tua yang terbit di Yogyakarta itu mendapat sambutan di luar dugaan.

Ketika registrasi ditutup, pertengahan Juni lalu, tercacat 1.436 pendaftar yang ingin bertulis surat kepada Paus. Sebanyak 75 persen umat awam, 10 persen non-Katolik, dan 15 persen rohaniwan-rohaniwati. Peserta tertua berusia kepala tujuh. Yang termuda masih duduk di bangku SMP kelas VII.

Akhirnya, ada 585 surat yang masuk. Dari jumlah ini, dipilih 95 naskah terbaik. Sebanyak 25 buah dari naskah tersebut diterbitkan dalam majalah Utusan dan Rohani. Seluruh 25 surat ini diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol dan bahasa Inggris dan akan diserahkan kepada Paus Fransiskus.

Menyentuh hati
Sebagai salah satu editor, saya merasakan, betapa tidak mudah bagi redaksi melakukan seleksi terhadap naskah-naskah tersebut. Sebab, banyak surat yang sungguh menyentuh hati, terutama dari kategori kaum awam dewasa dan anak muda. Sayang apabila naskah-naskah itu tak terbaca. Maka, 95 naskah pilihan diterbitkan oleh Yayasan Basis menjadi buku berjudul Whispers of Hope, Curahan Hati untuk Bapa Suci.

Baik kiranya sepercik isi surat-surat itu dituangkan sejenak. Supaya kita makin tahu, kesedihan dan harapan apa yang tebersit dalam diri umat yang ditumpahkan sebagai curahan hati kepada Paus Fransiskus bertepatan dengan kunjungannya ke Indonesia ini.

”Bapa, saya merasakan malam-malam yang selalu gelap, napas tercekat terasa sesak di dada dengan amat sangat. Rasanya ingin saya bertanya pada Tuhan, ’Kenapa tidak selesai hidup saya sampai di sini saja? Mampukah saya berjalan di lorong gelap tanpa terlihat cahaya sama sekali?’”

Inilah sepenggal kalimat dalam surat seorang ibu yang disampaikan kepada Paus Fransiskus. Suaminya mengkhianatinya. Meski demikian, suaminya tetap meminta untuk berhubungan badan dengannya. Akhirnya, dengan alasan perbedaan agama, suaminya menceraikannya dan pergi dengan perempuan lain.

Ia pergi tanpa mau membayar cicilan rumah, tidak membagi harta bersama, dan menolak memberikan nafkah sesuai dengan putusan pengadilan.

Ibu ini terpaksa meninggalkan pekerjaannya. Ia pulang kampung. Di kampung ternyata tidaklah mudah hidup sebagai janda, apalagi ia masih harus membesarkan seorang putrinya.

Ia merasakan, betapa perkawinan yang berjanji untuk setia dalam untung dan malang, sakit dan sehat, seumur hidup itu akhirnya hanya menjadi kepahitan, kekurangan, dan rasa tidak percaya diri. Ia memohon agar Paus menguatkannya untuk menempuh lorong gelap ini dalam perjalanan imannya. Siapa tahu setitik cahaya sudah menantinya di ujung sana.

Seorang ibu lain menyapa Paus sebagai bapanya dan menyebut dirinya ”anak perempuan” yang sedang mengadu padanya. Ia gagal dalam kehidupan keluarganya. Pastor bukannya membela dia, tapi menudingnya sebagai ibu yang gagal bagi anak-anaknya.

See also  Berpolitik  Harus  Tunduk pada Hukum Tertinggi: Kesejahteraan Umum

Suaminya berasal dari keluarga yang rajin ke gereja. Menurut pastor, ia pasti berperilaku benar. Bagaimana mungkin pernikahan selama sebelas tahun hanya didasarkan atas keluarganya yang rajin ke gereja? Padahal, ibu itu mengalami sendiri, mantan suaminya kerap enggan berdoa bersama keluarganya.

Ibu itu merasakan betapa beratnya hidup dengan predikat seorang janda. Mencari pekerjaan pun jadi sulit karena statusnya, apalagi di lembaga Katolik. Syukurlah, Tuhan masih memberikan rezeki. Ia menjadi pekerja bebas, yang bisa menyelamatkan anak-anaknya untuk hidup dan bersekolah.

”Aku dan sesama ibu tunggal lainnya pasti kerap lemah dan terjatuh. Tapi, kami tetap berupaya berjalan tegak. Kami merasa menanggung ini semua dengan keberanian yang mantap, Bapa. Tidakkah kau bangga pada kami karena hal ini?” tulis ibu itu.

Dari surat-surat itu tampak keluarga adalah sebuah kehidupan yang rawan. Maka, sebuah surat lain juga memohon kepada Paus untuk ikut menyelamatkan keluarga-keluarga. Dewasa ini nyaris keluarga-keluarga hidup seperti dalam kos-kosan saja. Meski tinggal dalam satu atap, anggota keluarga sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Syukurlah kedatangan Paus Fransiskus sempat membukakan persoalan kemanusiaan itu, betapa pun sedikitnya.

Anggota keluarga mencari sukacita di luar rumah, sementara di dalam rumah hanya ditemui konflik, saling menyalahkan, dan saling curiga. Sementara di media sosial, orang begitu antusias membicarakan perselingkuhan. Beralasan bahwa gagalnya hidup berkeluarga membuat anak-anak muda takut dengan perkawinan atau memiliki anak.

Mohon pengampunan
Lewat suratnya, seorang lelaki muda dengan jujur mencurahkan keresahan hatinya tentang hasrat akan sesama jenisnya. Ia tahu, secara normal dan di hadapan publik, hasratnya itu salah.

Ia lalu berusaha menghilangkannya. Namun, ia tidak bisa menemukan sesuatu yang menarik dari perempuan. Selepas SMA, ia mencoba mendekati dan jatuh hati pada seorang gadis. Namun, semakin ia intens dengan gadis itu, semakin ia tertampar oleh realitasnya.

Dalam lubuk terdalamnya, ia betul-betul merindukan untuk dipeluk oleh lelaki yang dihasratinya. Ia sadar, ia tidak normal dan merasa berdosa. Tapi, sulit baginya untuk melawan kelainan hasrat seksual dan erotisnya itu.

Ia pun terjebak masuk ke dalam kelompok yang sering dicap pezina sesama jenis. Ia dan kelompoknya merasa, mereka adalah orang-orang terluka yang telah kehilangan makna cinta.

Satu per satu kawannya pergi di usia muda karena terjangkit HIV. Ia sendiri takut mati oleh virus itu. Tapi, untuk apa hidup jika ia hanya menjadi kenistaan di mata orang banyak? Namun, ia tiba-tiba merasa disejukkan setiap kali di telinganya berdengung kata-kata Paus Fransiskus ketika diminta pendapatnya tentang LGBTQ+: ”Who am I to judge them?”

Sebuah surat lain berisi ungkapan penyesalan seorang pemuda yang tak bisa menahan hasrat seksualnya. Kejatuhannya dimulai ketika ia mulai mengenal internet dan konten pornografinya.

Karena pengaruh itu, ia tidak bisa mengendalikan nafsunya lagi, dan sering melakukan masturbasi dan menjadikan lawan jenisnya sebagai obyek pemuas nafsunya. Situasinya bertambah parah ketika ia mulai berpacaran. Bersama pacarnya, ia kemudian melakukan hubungan layaknya suami-istri berulang-ulang, sampai pacarnya hamil.

Karena keduanya tidak siap berkeluarga, akhirnya mereka bersepakat, pacarnya melakukan aborsi. Si pemuda merasa bersalah. Ia menyesal dan dengan segenap usaha, ia ingin bertobat.

Kendati ia telah menerima pengampunan, ia merasa pengampunan apa pun yang ia terima rasanya belum bisa menebus kesalahannya. Ia merasa telah melukai sesama dan gereja. Ia mohon agar lewat perantaraan Bapa Paus, ia bisa dilepaskan dari dosanya di masa lampau dan memperoleh pengampunan agar sebagai orang Katolik ia tetap boleh menjalankan pelayanan dalam gereja.

See also  Calon Pimpinan KPK yang Berintegritas, Bukti Komitmen Negara dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

Dalam surat berjudul ”Neraka di Kamboja”, seorang pemuda bercerita tentang kehancurannya setelah bencana Covid-19. Semula ia dan saudarinya hidup aman dan berkecukupan. Tapi, kemudian ayah-ibunya terkena Covid-19.

Perawatan orangtua mereka di rumah sakit menghabiskan banyak uang. Terpaksa mereka meminjam uang di bank dan lintah darat dengan bunga yang tinggi. Tak apa, asal orangtua mereka selamat. Toh, akhirnya kedua orangtuanya meninggal.

Adiknya kemudian merantau ke Jakarta. Ia mencoba bertahan hidup dengan bekerja apa saja. Untuk menghemat uang, ia cuma makan mi goreng sekali sehari dan banyak berpuasa.

Kemudian, ia berhasil diterima sebagai pegawai customer service di sebuah kasino di Kamboja. Si adik jadi terjerat bekerja di perjudian yang jaringannya seluas Asia dan dunia. Ia tidak bisa lepas dari situasi ini. Bahkan, ketika sakit pun, ia dipaksa bekerja. Jika berhenti, ia harus membayar ganti rugi Rp 1 miliar.

Sembari terus menderita, ia juga merasa berdosa karena ikut ambil bagian dalam pekerjaan yang menyengsarakan dunia dan membuat manusia menderita. Ia frustrasi, sampai terjerumus ke dalam alkohol dan obat terlarang.

Betapa pun, ia ingin keluar dari siksa penderitaan itu. Berulang kali ia minta tolong, tapi tidak ada yang bisa menolongnya. Sampai ia sering bilang, ”Tuhan tidak ada untuk menolong.”

Si kakak sangat bersedih karena adiknya adalah satu-satunya saudaranya yang masih hidup. Maka, ia menjeritkan penderitaan adiknya itu kepada Paus agar Paus pun mau menolong adiknya: ”Adakah jalan keluar bagi adikku?”

Dari surat-surat itu tampak keluarga adalah sebuah kehidupan yang rawan.

Pendidikan yang mahal di sekolah Katolik, inilah keluhan lain yang disampaikan seorang ibu lewat suratnya kepada Paus. Ibu itu menjanda setelah 18 tahun perkawinannya.

Suaminya meninggal setelah dirawat karena penyakit hepatitis dua tahun lamanya. Ibu ini adalah seorang pegawai di sebuah sekolah Katolik. Ia harus menghidupi ketiga anaknya. Ia sangat ingin anak-anaknya mendapat pendidikan Katolik. Tapi, karena kekurangan finansial, kedua anaknya terpaksa tak dapat menuntut ilmu di sekolah Katolik.

Ia kemudian nekat menyekolahkan anaknya yang bungsu di sekolah Katolik walau itu sangatlah berat baginya. Ia yakin, ada banyak ibu yang mengalami kesulitan seperti dia. Ia mohon agar Bapa Suci memperhatikan jeritan mereka yang ingin anaknya mendapat pendidikan di sekolah Katolik, tapi terpaksa menggantung mimpinya karena tak punya uang yang cukup untuk biaya sekolah anaknya.

Sebuah surat lagi berisi curahan hati seorang pemudi yang belum lama meninggalkan masa remaja. Ia pernah menjadi putri altar. Ketika di SMA, ia mengalami krisis. Krisis itu memburuk dengan merebaknya Covid-19.

Banyak teman juga sanak saudara yang terjangkit Covid-19 dan pergi untuk selamanya. Ia sendiri juga bolak-balik masuk rumah sakit. Kemudian ia divonis terkena penyakit mental karena perlakuan gurunya. Ia terbenam dalam krisis dan merasa hidupnya goyah. Ia lalu menghindari pergaulan, takut akan orang banyak, malas ke gereja, dan tidak percaya pada Tuhan.

Ia merasa hidupnya tak layak sebagai manusia. Ia berniat hendak mengakhiri hidupnya. Niatnya sudah bulat. Ketika benar-benar hendak menggantung diri, ia melihat kucingnya sedang menatap dia, seolah hendak meminta makan. Ia berpikir, jika ia pergi, siapa yang akan memberi makan kucingnya.

See also  Kursi Itu Semestinya untuk Rakyat

Ia memutuskan tidak jadi bunuh diri. Ia merasa konyol, tapi dengan sejujurnya ia menceritakan peristiwanya dalam surat kepada Paus. Betapa Tuhan telah berbelas kasih pada dirinya lewat kucing.

Juga ada surat yang polos dan mengharukan dari seorang siswa yang masih duduk di kelas VIII SMP. Ia berterus terang, sejak kecil ia suka bertengkar dengan teman kelas, tidak pernah bisa diam, berlari-lari, dan tidak mendengarkan gurunya. Ia didiagnosis mengalami ADHD (attention deficit hyperactivity disorder) dan menjurus ke autisme.

Ibunya terpaksa meninggalkan pekerjaannya, semata-mata untuk menemaninya. Ia sedih melihat pengorbanan ibunya. Dan sering bertanya, mengapa ia tidak dilahirkan seperti kakaknya yang normal. Namun, ia juga bersyukur mempunyai orangtua yang mencintainya.

Ia juga rajin berdoa kepada Bunda Maria. Kepada Paus Fransiskus ia bilang, ia selalu mengandalkan doa saat ia sedih dan menghadapi masalah.

Masalah sosial
Selain curahan hati personal, ada banyak surat berisi tumpahan hati ditujukan pada Paus berkenaan dengan masalah sosial. Seorang imam muda menuliskan kekhawatirannya tentang alam Kalimantan yang kaya dengan hutan suatu saat akan menjadi padang gurun dalam arti sesungguhnya karena dieksploitasi banyak tambang dan perkebunan sawit.

Memang tanaman monokultur sawit juga memberi faedah ekonomi bagi masyarakat setempat. Tapi, kerusakan ekologi Kalimantan suatu saat pasti tak akan sebanding dengan faedah itu. Itulah dilema. Kepada Paus, ia mengadu: ”Sulit untuk membicarakannya meski dalam hati kecil sangat prihatin akan bahaya-bahayanya di masa depan. Bisa jadi saya berdosa. Tuhan ampunilah saya.”

Seorang aktivis Gusdurian juga menulis agar Paus tak bosan-bosannya mengajak semua pemuka agama, tidak hanya yang Katolik, untuk mengingatkan umatnya dan memberikan teladan akan kepedulian terhadap lingkungan.

Rapuhnya kemanusiaan
Itulah secuplik isi dari surat-surat yang ditujukan kepada Bapa Suci. Surat-surat itu memang kebanyakan ditulis oleh umat Katolik. Namun, apa yang diungkapkan sebetulnya bukan pertama-tama mengenai agama dan iman Katolik, melainkan mengenai persoalan manusia. Dan manusia-manusia itu adalah manusia Indonesia.

Dengan kata lain, persoalan mereka adalah juga persoalan bangsa. Malah sangatlah mungkin persoalan serupa juga dialami oleh warga masyarakat Indonesia lainnya.

Surat-surat itu sesungguhnya adalah pengaduan akan demikian banyaknya persoalan personal ataupun kelompok yang ada dalam masyarakat Indonesia. Selama ini persoalan bangsa hanya dilihat dalam sudut makronya.

Secara makro kita tidak sedang baik-baik saja, lebih-lebih dalam bidang politik. Tapi, politik hanyalah wilayah kekuasaan. Masih ada wilayah yang nyaris tak tersentuh olehnya, wilayah yang lebih mikro, yakni wilayah kemanusiaan yang personal.

Persoalan-persoalan dalam surat-surat menunjukkan, betapa rapuhnya kemanusiaan kita ini. Sayang, wilayah ini tak pernah disentuh dengan serius, seakan apa yang serius hanya wilayah makro, wilayah politik bangsa saja.

Syukurlah kedatangan Paus Fransiskus sempat membukakan persoalan kemanusiaan itu, betapa pun sedikitnya. Itu kiranya juga rahmat dan berkah kunjungan Paus: kedatangannya ternyata bisa mengajak orang untuk membuka bahwa masalah kemanusiaan dan personal di negara ini juga sedang tidak baik-baik saja.

Persoalan kemanusiaan ini tak kalah pentingnya dengan persoalan keberagaman, perdamaian, dan toleransi. Dan persoalan kemanusiaan itu kiranya hanya bisa ditangani apabila bangsa ini di hatinya mempunyai misericordia Dei, pengampunan dan belas kasih Tuhan, seperti diteladankan Paus Fransiskus.

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*