NTT dan Bahasa Portugis: Menghidupkan Ulang Jejak Sejarah, Menatap Masa Depan

Presiden Prabowo dan Melki Lakalena Gubernur NTT.

Pemerintah berencana menjadikan Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai pilot project pengajaran bahasa Portugis di Indonesia.

Inisiatif ini menarik sekaligus penuh makna, sebab bukan hanya berurusan dengan bahasa semata, tetapi juga menyentuh lapisan sejarah, identitas, dan peluang masa depan masyarakat NTT dalam konteks global.

Secara historis, NTT memiliki hubungan yang panjang dan dalam dengan Portugis. Ketika bangsa Portugis tiba di Kepulauan Nusantara pada awal abad ke-16, sebagian wilayah yang kini menjadi NTT menjadi pusat pengaruh mereka di timur Indonesia.

Dari Solor, Flores, hingga Timor, Portugis meninggalkan jejak budaya yang masih terasa hingga kini — mulai dari nama-nama keluarga (Da Costa, De Carvalho, Da Cunha, De Fretes), struktur sosial, arsitektur gereja tua, hingga tradisi Katolik yang kuat.

Bahkan, sebagian kosakata Portugis masih hidup di bahasa daerah, seperti “mesa” (meja), “sapatu” (sepatu), atau “janela” (jendela).

Dengan latar sejarah seperti itu, menjadikan NTT sebagai pilot project bahasa Portugis bukanlah kebetulan, melainkan langkah yang bernilai historis dan strategis.

Secara kultural, NTT sudah memiliki kedekatan emosional dengan dunia Lusophone (penutur Portugis), terutama dengan Timor Leste, tetangga terdekat yang kini menjadi anggota Komunitas Negara-Negara Berbahasa Portugis (CPLP).

Melalui bahasa, jembatan kerja sama pendidikan, ekonomi, dan kebudayaan bisa dibangun lebih kuat di kawasan ini.

Selain itu, kemampuan berbahasa Portugis akan membuka peluang baru bagi generasi muda NTT.

Bahasa ini digunakan di lebih dari 250 juta penutur di dunia, di empat benua — dari Brasil hingga Angola, dari Mozambik hingga Portugal.

Dalam konteks diplomasi dan ekonomi global, penguasaan bahasa Portugis bisa menjadi keunggulan tersendiri bagi anak-anak NTT, bahkan bagi Indonesia secara keseluruhan yang sedang memperluas jangkauan diplomasi kebahasaan dan kebudayaan.

See also  Imbauan Ketum PGI kepada Prabowo Gibran, Paslon 01 dan Paslon 03

Namun, agar program ini tidak berhenti sebagai proyek simbolik, pemerintah perlu memastikan bahwa pengajaran bahasa Portugis disiapkan dengan serius: dari ketersediaan guru, kurikulum yang kontekstual, hingga kerja sama institusional dengan negara-negara berbahasa Portugis.

NTT tak boleh hanya menjadi “laboratorium”, tetapi harus menjadi pusat pengembangan kebahasaan yang hidup dan berdaya guna.

Dengan demikian, inisiatif ini bukan sekadar soal mempelajari bahasa asing, melainkan tentang menyambung kembali sejarah yang pernah bersinar dan mengubahnya menjadi jembatan menuju masa depan.

Dalam bahasa Portugis ada ungkapan, “O passado é uma ponte, não uma âncora” — masa lalu adalah jembatan, bukan jangkar.

Dan mungkin itulah makna terdalam dari langkah pemerintah menjadikan NTT sebagai pelopor bahasa Portugis di Indonesia.*

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*