Oleh Emanuel Dapa Loka
Dia jejaka desa dari Jonggol
yang oleh karena lapar dan haus
pada ilmu pengetahuan
mengayun langkah menuju chandradimuka
bernama Universitas Pamulang
Di sana ia bersimbah peluh,
berjibaku dengan kitab-kitab ilmu
agar di hari depan dia tidak terasing
dalam dunia yang menuntut fasih pengetahuan dan lincah akal
Namun di sana ia juga dengan cerdas mengolah jiwa dan rasa:
bahwa dia mesti berbelarasa,
bahwa dia mesti peduli,
bahwa dia mesti memberi diri,
bahwa dia mesti melindungi,
dan bahwa darah pun
sewaktu-waktu bisa terkorbankan
oleh karena sikap berkilau nuraninya.
Dan benar saja!!
Ketika Diding dan gerombolannya
dengan nurani gering laksana ilalang kerontang
di padang tandus menggeruduk memaki
sesamanya anak cucu Adam,
yang tengah mengiba kasih,
melantam syukur,
sekaligus memberi hormat tertinggi kepada Miriam,
Bunda Semua Cinta,
dengan jiwa teramat mulia,
Farhan beradu nyali dengan senjata terhunus
demi melindungi jejaka perantau dengan rosario di tangan
yang jadi sasaran amuk amarah.
Kepalanya terluka,
darahnya mengucur,
tapi tidak dengan jiwanya.
Dia tetaplah ksatria di jalan kemanusiaan nan Ilahi,
membela daras suci Rosario sesama anak negeri.
Farhan Rizky Romadhon, namanya
Jejaka dari Jonggol
Tidak percuma orangtuanya
mengembusi nama semulia itu padanya,
sebab ia telah menunaikan gembira,
makna terdalam yang mengkristal dalam namanya
Dengan jiwa dan darahnya,
dia telah menyiangi,
menyirami cinta
yang acapkali
telah menjadi yatim piatu
oleh karena tertindas benci
dari hati berkarang – karat.
Farhan Rizky Romadhon,
sejatinya engkau adalah jiwa Indonesia
berselimut merah putih – waris jiwa-jiwa ksatria
Terberkatilah engkau
oleh doa Sang Bunda Miriam
yang hati dan jiwanya menangis haru menyaksikan lakumu
Leave a Reply