Oleh Emanuel Dapa Loka, Warga Desa Pero – Webar, Wartawan dan penulis biografi
Judul di atas saya ”culik” dari pembicaraan informal yang kerap terdengar di tengah masyarakat Sumba Barat Daya atau SBD. Untuk pembaca di luar Sumba, Anda perlu penjelasan ihwal kata ”Konjak” ini agar tidak sesat memahami yang dimaksud. Di Sumba, kata ”Konjak” searti dengan kata kenek atau kernet yang berarti pembantu sopir atau pembantu tukang. Sangat berbeda dengan arti sebenarnya, bukan?
Entah bagaimana ceritanya orang Sumba menyerap kata ”Konjak” atau conjac dalam kosa kata Bahasa Inggris—yang dipakai untuk menamai sebuah jenis tumbuhan yang umbinya bisa diolah menjadi beras—kemudian diseartikan dengan kata kenek atau kernet.
Tanaman konjak ini, kalau tidak sama persis, ia ”seperti” tumbuhan porang yang populer di Sumba. Tumbuhan yang harga bunganya pernah mencapai 400 ribu rupiah/kg, tapi kini malah tidak berharga. Sedangkan harga umbinya, paling tinggi Rp 2.500/kg sekarang.
”Konjak Sumba”
Kita kembali ke ”Konjak Sumba”. Konteks ungkapan pada judul tersebut adalah fenomena di sekitar ”langkah siap-siap” menuju pemilihan kepala daerah di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) pada 27 November 2024. Pemilihan ini serangkai dengan Pilkada serentak di seluruh Indonesia untuk memilih 37 gubernur, 415 bupati dan 93 walikota.
Dari bakal calon bupati atau Bacabup yang bermunculan dan yang ikut mendaftarkan diri di partai-partai untuk diusung menjadi bakal calon bupati, memang ada beberapa orang dari etnis Kodi, ada juga dari Laura. Namun, dari dinamika yang ada, tampaknya mereka akan sulit mendapatkan peluang untuk menjadi kontestan. Partai-partai sudah mulai mengerucut ke nama-nama di luar nama-nama mereka.
Kalau untuk kursi Cawabup atau calon wakil bupati, hampir semua Bacabup dari etnis Wewewa mengincar Cawabup dari Kodi.
Menurut amatan penulis, saat ini ada tiga pasangan Bacabup dan Bacawabup yang sangat mungkin melenggang ke arena pemilihan. Mereka adalah Ratu Wulla (Wewewa) – Angga (Kodi), Fransiskus M. Adi Lalo (Wewewa) – Yeremias Tanggu (Kodi) dan D. Damma (Wewewa) – Richardus Holo Kondo (Kodi). Komposisi ini kian ”menegaskan” bahwa Kodi bakal benar-benar gagal mengirim sopir, hanya bisa mengirim konjak.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah dalam sejarah Pilkada SBD, Kodi telah dua kali berhasil mendudukkan orangnya di kursi bupati?
Jawaban sederhananya, karena Kodi sekarang kekosongan kader yang mumpuni untuk kursi bupati. Dan istilah mumpuni ini harus dipahami dalam spektrum yang luas. Karena alasan itulah, untuk periode kali ini, mereka ”hanya” berani mengincar kursi wakil, sedang untuk kursi bupati, nyali mereka ciut.
Konjak-konjak dari Kodi
Dominikus Alphawan Rangga Kaka atau Angga bukan tanpa perhitungan hanya mengincar kursi konjak. Dia justru mau menjadikan posisi konjak sebagai batu loncatan untuk memanah kursi sopir pada periode berikut. Dia juga menyadari bahwa sejauh ini, melalui posisinya di kursi DPRD 1 NTT, dia belum banyak hadir secara konkret di tengah-tengah masyarakat sehingga dia memerlukan sosok yang jauh lebih populer dan terterima di tengah masyarakat sebagai cantelan.
Dan sosok yang paling mumpuni untuk kepentingan nyantel ini adalah Ratu Wulla. Karena itulah Kornelis Kodi Mete sebagai master mind di belakang Angga, ”rela” melupakan masa kelam dan berdarah-darahnya dengan MDT, ”Musuh bebuyutannya”.
Sangat tidak mengherankan bahwa mereka ”rela” saling berpelukan, berciuman lalu menggelar ”Rekonsiliasi MDT Kodi Mete” yang heboh sekaligus sangat politis dan rapuh itu.
Jadi bisa diduga, kalau terpilih nanti, akan segera muncul ”Dua matahari” bernama Ratu dan Angga yang justru bersaing memperlihatkan diri sebagai calon bupati potensial untuk periode 2029-2034. Yang lain minggir.
Bagaimana dengan Yeremias Tanggu yang juga hanya mengincar kursi konjak? Dia memilih menjadi calon konjaknya Adi Lalo karena mengandaikan popularitas dan keterterimaan Adi Lalo di tengah-tengah masyarakat lebih tinggi dari dirinya. Dengan alasan ini, dia menekan potensi menjadi bupati atau sopir di dalam dirinya.
Sama halnya dengan Richardus Holo Kondo. Levelnya di birokrasi sama dengan Yeremias Tanggu. Daya rangsek ke tengah-tengah masyarakat SBD boleh dikatakan masih kurang. Karena itu dia memilih menjadi konjak, berpasangan dengan sosok yang lebih populer seperti D. Damma.
D. Damma ini sudah pernah bertarung dalam pemilihan periode lalu sehingga sudah lebih banyak dikenal masyarakat. Dan dari kesiapan, dia jauh lebih siap. Apalagi, niatnya untuk bertarung dalam Pilkada tidak sekonyong-konyong muncul. Dia bahkan rela tidak menjadi peserta Pileg DPRD 1 pada Pileg lalu karena tidak mau muncul masalah akibat harus mundur dari kursi dewan andai terpilih.
Sangat beralasan para Bacabup memilih Bacawabup dari Kodi sebab populasi pemilih dari Kodi lebih tinggi dibanding Wewewa dan Laura. Dan dari sisi populasi juga, sangat logis jika Kodi memiliki calon sopir bukan hanya calon konjak.
Kita lihat saja dalam waktu yang masih tersisah menuju pendaftaran di KPUD, hasil verifikasi dan penetapan nanti. Apakah Kodi bisa mengirim calon sopir atau benar-benar hanya bisa mengirim calon konjak. Jika benar, dari Kodi hanya ada calon konjak, bisa jadi orang kodi minimal tersinggung. Dan akibatnya, mereka ogah atau kurang bergairah datang ke TPS dan bergumam atau mungkin berteriak, ”Woi…! Kami tidak mau konjak. Kami mau sopir”.
Tapi, apa dan bagaimana pun, kita tunggu saja, siapa tahu masih muncul calon sopir dari Kodi. Selamat menjalani proses-proses yang mesti dilalui dengan gembira, penuh harapan dan kepala dingin.*
Leave a Reply