Oleh Eka Budianta, Penyair – Testimoni ini Eka Budianta sampaikan pada Malam Anugerah Sastra dan Kebudayaan 2024 dari Dinas Kebudayaan DKI kepada Taufiq Ismail di Taman Ismail Marzuki pada Selasa, 25 Juni 2024.
Taufiq Ismail adalah penyair pertama yang saya tulisi surat. Waktu itu tahun 1972. Saya kelas dua SMA di Malang dan mulai getol menulis puisi.
Saya ingin pergi ke Amerika Serikat melalui program American Field Service (AFS). Ariel Heryanto penerima beasiswa AFS sebelumnya berkata, “Taufiq Ismail sudah mengikuti AFS pada tahun 1950-an dan kini menjadi pengurusnya.” Maka saya beranikan diri pada beliau, untuk menyatakan keinginan yang sama.
Saya dipanggil ke Surabaya sebagai satu dari 14 finalis. Meskipun akhirnya tidak berhasil berangkat, saya bangga mengingat dipilih dari ratusan calon.
Pada 1974 saya lulus SMA dan mendaftar ke Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang dipimpin oleh Taufiq Ismail sebagai rektornya. Kurang dari sebulan saya mengikuti kuliah di Taman Ismail Marzuki, berkat ditraktir oleh sineas Nurhadie Irawan.
Pada bulan Februari 1975 saya diterima di Jurusan Jepang, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) di Rawamangun. Ketika keluarga Taufiq Ismail mulai tinggal di Jalan Utankayu, saya perlukan mengunjunginya. “Hati-hati! Eka selalu berdiri tegap kalau mendengar televisi menyanyikan lagu Indonesia Raya,” begitu komentar Mbak Ati Esiati, isteri penyair yang saya kagumi ini.
Jasa Taufiq Ismail bagi saya yang paling penting adalah “memberikan tanah air Indonesia.” Puisinya “Kembalikan Indonesia Padaku!” memupuk dan membangkitkan cinta yang mendalam kepada negeri, bangsa dan sejarah Indonesia.
Setiap kali membaca puisi itu, saya merasakan Indonesia adalah segala-galanya. Konon, sajak itu ditulis oleh Taufiq Ismail di luar negeri. Mungkin di New York atau di Paris. Baginya, di mana pun berada, Indonesia selalu dalam pikiran dan hatinya.
Ayah Taufiq Ismail bernama A. Gaffar Ismail (1910-1998) asal Banuhampu, Agam. Ibunya dan Sitti Nur Muhammad Nur (1912-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Pada suatu hari saya mendapat kiriman buku Dust on Dust (Debu di Atas Debu) dari Pak Taufiq Ismail. Buku itu setebal 1.400-an halaman dalam tiga jilid. Jilid pertama mulai dengan puisi Doa Dalam Lagu. “Ibuku karena engkau merahimiku / Merendalah tenteram karena besarlah anakmu. // Ayahku karena engkau menatahku / Berlegalah di kursi angguk, laki-laki anakmu. // Tuhanku karena aku karat di kakiMu / Beri mereka kesejukan dalam dan biru.”
Puisi itu masuk dalam periode 1953-1960. Jadi, puisi pertama dalam buku itu dipersembahkan untuk Ibu, Ayah dan Tuhan yang menciptakan penyair Taufiq Ismail. Menurut saya ibu adalah yang paling penting dari semuanya. Ibunya menemani Taufiq Ismail sejak sekolah rakyat di Surakarta, Semarang dan Yogyakarta. Kalau ada pertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah siapa yang melahirkan Taufiq Ismail itu? Jawabnya adalah Ibu Sitti Nur, asalnya dari Pandai Sikek, Tanah Datar.
Sungguh beruntung saya mendapat kiriman tiket dari Mbak Ati Esiyati Ismail untuk mengunjungi Rumah Puisi Taufiq Ismail di Sumatera Barat.
Di sana Pak Taufiq Ismail bertanya, apakah saya sudah punya koleksi lengkap puisinya? Saya jawab, “Ya, sudah pernah dikirim oleh Redaksi Majalah Horison.”
Paling Berjasa
Sejujurnya beliau termasuk orang yang paling berjasa dalam karir saya sebagai penulis, khususnya penyair. Bersama Satyagraha Hoerip (Alm.) beliau menulis surat kepada Duta Besar A.S, Paul Wolfowitz agar mengundang saya mengikuti Program Penulisan Internasional di Universitas Iowa, 1987.
Setelah menikmati makan malam di kedai “Puting Beliung” milik Fadli Zon, saya menginap sekamar dengan Joko Pinurbo (Alm.) yang juga diundang.
Joko Pinurbo kemudian mengajak saya berkeliling ke belasan provinsi, untuk bicara bahwa puisi bisa menjadi alat membangun perdamaian. Sponsornya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Maka lengkaplah, Taufiq Ismail telah membuka peluang pada saya dan memberi kesempatan untuk memiliki dan mencintai Indonesia sedalam-dalamnya.
Keesokan harinya, Mbak Ati Esiyati mengajak para tamu mengelilingi Danau Maninjau dengan bus besar. Untuk itu saya menulis di Kumpulan Puisi Temu Penyair Asia Tenggara di Padangpanjang 2022 halaman 30.
Judul bukunya “Kabut, Hujan dan Segala yang Dikenang.” Itulah catatan saya berkunjung ke Padangpanjang beberapa tahun yang lalu. Logat Mbak Ati mirip pemandu wisata profesional. Beruntung Taufiq Ismail mendapat isteri yang fasih bicara dan pintar bercerita. Mbak Ati adalah ibu dari Abraham Ismail. Ia menikah dengan Taufiq Ismail pada 1971.
Ketika saya menemani isteri yang mendapat beasiswa doktoral di Universitas Cornell, Ithaca, New York; Pak Taufiq dan Mbak Ati sedang tinggal di Iowa untuk program sabatical. Beliau menelepon saya minta difoto-copy dan dikumpulkan tulisan ayahnya di berbagai koran lama. Kebetulan perpustakaan Universitas Cornell punya arsip yang lumayan lengkap. Jadi mudah sekali menemukan artikel dan kolom Pak Gaffar Ismail (Alm.) di harian Pikiran Rakyat, dan Pemandangan pada tahun 1940-1950-an.
Yang mengharukan kami sekeluarga adalah kiriman cek dari Pak Taufiq Ismail. Ongkos fotocopy yang hanya belasan dolar, diganti lebih dari seratus dolar. Dari Taufiq Ismail saya belajar bahwa menjadi sastrawan berarti memberi, memberi, dan memberi. Sama seperti yang diyakini oleh semua sastrawan di seluruh dunia. Seniman selalu memberi lebih dari yang diharapkan.
Menulis berarti memberikan pengalaman, pemikiran, dan kesempatan untuk menjadi yang terbaik. Kahlil Gibran, William Shakespeare bahkan membuat industri buku berkembang sampai masa-masa setelah mereka tiada. Karya sastra dunia biasanya dijadikan film, lagu dan mendapat penghargaan yang seolah tidak ada habisnya. Saya percaya demikian halnya untuk buku-buku puisi Taufiq Ismail di masa mendatang.
Pada kesempatan yang sama, Eka Budianta membacakan puisi Taufiq Ismail berjudul Beri Daku Sumba yang Taufiq tulis di Uzbekistan ketika teringat pada Umbu Landu Paranggi.
BERI DAKU SUMBA
Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.*
Leave a Reply