Penyebutan “Nama Keramat” Orang Sumba dan Protes Keras kepada Penyanyi dan Pencipta Lagu Kun Mally

Kun Mally dengan salah satu albumnya.

Emanuel Dapa Loka, Wartawan tinggal di Bekasi

Dalam beberapa hari belakang ini, di grup-grup WA dan FB, terdapat banyak kecaman (ada juga sedikit yang bersikap  take it easy) terhadap artis lokal Sumba bernama Kun Mally. Mereka menanggapi lagu ciptaan (spontan) Kun Mally yang menyebut “nama keras” atau lebih tepatnya “nama keramat” orang Sumba.

Atas “ulah” Kun Mally melalui lagu berdurasi 2. 11 detik tersebut, ada yang sampai melontarkan makian, bahkan makian sangat serius. Barang kali sudah bisa ditebak yang dimaksud dengan “makian sangat serius” itu. Yang bersangkutan melontarkan umpatan dengan menyebut alat kelamin, sebab bagi orang Sumba, mengumpat tanpa menyebut alat kelamin, belum tergolong maki. Baru masuk kategori “marah-marah”.

Banyak yang tersinggung atas ulah Kun Mally tersebut. Bagi mereka, “nama keramat” itu pemali atau pantang disebut. Mereka memahami secara turun temurun bahwa nama tersebut tidak boleh disebut sembarangan. Bahkan dipercayai, seseorang bisa sakit kalau “nama keramatnya” disebut sembarangan. Barangkali ini masuk dalam kategori mitos.

Berdasarkan warisan kepercayaan yang turun temurun tersebut, banyak netizen “menyala” menyaksikan Kun Mally melalui Medsos yang “tanpa beban” menyannikan lagunya dengan lirik utama nama-nama keramat tersebut. Malo dengan nama keramat…, Bili dengan nama keramat… Ngongo dengan nama keramat…. dan seterusnya. Saya pun tidak berani menyebut secara terbuka nama-nama keramat itu karena takut senasib dengan Kun Mally. Tapi lebih dari itu, saya mau memosisikan diri sebagai orang Sumba yang menghargai kearifan lokal.

Sebuah pepatah Latin mengatakan: Nomen est nomen atau nama adalah tanda atau nama menunjuk orangnya. Artinya, dalam sebuah nama termuat makna mendalam yang bisa menjelaskan siapa orang yang memakai sebuah nama itu. Atau, diharapkan roh atau semangat yang terkandung dalam nama itu akan meresap ke dalam diri anak itu.

Karena itu tidak ada orangtua yang menamai anaknya secara sembarangan. Kita tidak pernah menjumpai seseorang bernama “tikus” yang terlanjur menjadi simbol korupsi atau “babi” simbol kerakusan, dan sebagainya, bukan? Tidak ada! Saya sendiri belum menemukan makna spesifik dari nama-nama yang saya sebutkan di atas.

See also  Fenomena Calon Tunggal: Pengkhianatan terhadap Prinsip-prinsip Demokrasi

Dalam khazanah Kristen, nama yang diberikan biasanya adalah nama-nama indah seperti Emanuel, Sesilia, Benedictus, Virgo,  Brigitta, Petrus, Fransiskus, Agustinus dan sebagainya. Itu karena orangtua tidak berharap anak mereka berperilaku seperti fauna-fauna tersebut.

Selain tidak sembarangan memberi nama pada anak, orang juga selalu mencari nama terbaik atau terindah untuk dilekatkan pada toko, kios, warung, bus, sekolah atau kelompok. Misalnya ada toko bernama “Indah Permai”, “Makmur”, “Intan Permata”, “Caritas/Karitas” dan sebagainya.

Ada harapan yang menggelora di sana agar nama itu membawa berkat atau hokki. Dan karena itu, tidak jarang orang mengadakan pesta atau syukuran ketika melekatkan sebuah nama secara resmi pada anak atau tempat usaha dan sebagainya.

Dalam konteks Sumba, ketika memberikan nama kepada seorang anak yang baru lahir, minimal ada seekor ayam yang dikorbankan. Di sana, setelah ditawarkan nama tertentu, anak akan menunjukkan respon positif dengan langsung menyusu pada susu ibunya.

Sebaliknya, jika dia tidak suka atau tidak setuju dengan nama itu, dia secara spontan akan menolak menghisap susu ibunya atau menangis sejadi-jadinya. Upacaranya pun dilakukan dengan khidmat. Nama yang disebutkan adalah “nama halus”. Orang sudah tahu apa “nama keramat” dari nama halus itu.

Kembali kepada persoalan Kun Mally, ada baiknya menimbang dengan baik kearifan lokal seputar nama-nama yang dianggap keramat tersebut, walau belum ada pertanggungjawaban yang sangat jelas tentang alasan nama itu dikeramatkan. Paling-paling, kita hanya mengatakan, “Kan dari dulu sudah begitu.” Yang pasti, dipercayai ada kekuatan tertentu di balik nama keramat itu sehingga kita kenal ungkapan dalam bahasa Wewewa: Ndappa tekki ngara, ndappa nungnga tamo.

Semoga ada pihak lain yang bisa memberikan elaborasi secara lebih mendalam menyangkut “nama keramat” itu, sebab sudah pasti, tulisan kecil saya ini masih dangkal.

See also  Pilkada Bebas Ambisi Pribadi

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*