Taufan Hunneman, Dosen UCIC Cirebon
LAPIERO.COM-Pada tahun 1947, Wikana, Menteri Pemuda dan Olahraga, yang juga pahlawan pergerakan kemerdekaan menyatakan, olahraga tidak bisa dipisahkan dari gerakan kebangsaan.
Karena tidak bisa dilepaskan dari gerakan kebangsaan, olahraga menjadi perawat, penjaga serta pemelihara rasa persatuan kesatuan.
Karena itu, PON (Pekan Olahraga Nasional) bisa di pandangan sebagai satu ajang olahraga nasional yang mempunyai motif serta tujuan mulia.
Olahraga menjadi alat pemersatu bangsa dan implementasi dari rasa persatuan Indonesia. Selain itu, PON sebagai ajang pembinaan atlet-atlet nasional untuk berlaga ke kancah internasional.
Satu Fakta Sejarah
PON yang diselenggarakan pertama kali di kota Solo pada tahun 1948, sudah 20 kali diselenggarakan. Dari 20 kali penyelenggaraan, 18 kali diselenggarakan di Indonesia barat. Satu kali di Makassar (1957) dan yang sedang berlangsung diselengarakan di Papua.
Melihat penyebaran lokasi pelaksanaan, yang terbanyak di Jakarta. Selain itu di Surabaya lalu Bandung dan masing-masing satu kali, Palembang, Pekan Baru, Makassar dan Samarinda.
Dominasi ini menjadi satu indikator bahwa terjadi ketidakmerataan penyelenggaraan yang mungkin bisa di sebabkan banyak faktor. Hanya, pemilihan kota penyelenggara dilakukan bagi kota yang siap baik dalam infrastruktur maupun sumberdaya manusianya. Maka Indonesia timur dekade yang lalu belum mampu menjadi tuan rumah karena faktor ini.
Fenomena PON XX di Papua
Fokus pembangunan tidak lagi ber-mindset Jawa Centris atau Indonesia Barat Centris muncul sejak Presiden Joko Widodo melakukan redesign atas pembangunan membuahkan hasil yang signifikan.
Setidaknya ada 3 hal penting sebagai catatan atas PON yang diselenggarakan di Papua. Pertama, isu persatuan Indonesia bukan lagi sekadar retorika namun real. Persatuan Indonesia merupakan satu realitas yang dahulu kala diperjuangkan oleh kerajaan-kerajaan nusantara dan menjadi satu imajinasi para pendiri bangsa hingga kita untuk terus diupayakan sehingga PON XX di Papua menguatkan bahwa persatuan Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa harus terus diupayakan, dirawat dan dijaga secara terus menerus.
Kedua, pemerataan pembangunan di mana sentralisasi pembangunan yang berpusat di Jawa dan Indonesia Barat kemudian menjadi Indonesia sentris. Artinya, pembangunan mulai difokuskan di Indonesia timur membuahkan hasil sehingga bisa diselenggarakan PON XX di Papua sebagai dampak pembangunan.
Ketiga, dengan Indonesia sentris maka diharapkan gap kekayaan serta gap pendapatan juga pembangunan daerah mulai diatasi dan PON XX di Papua merupakan momentum.
Papua Hari Ini
Sebagai wilayah yang bergabung sejak tahun 1962 hasil keputusan PBB, juga kehendak para kepala suku bersama para rakyatnya melalui Pepera, sejak era pemerintahan Soeharto terjadi kesalahan me-manage sehingga pendekatan represif membuat persoalan kemanusiaan menjadi isu yang tidak bisa dihindari termasuk minimnya perhatian.
Dekade 10 tahunan belakang ini pemerintah menaruh fokus harapan untuk membangun secara fisik, juga diharapkan adanya pembangunan yang berpusat pada manusianya.
Dengan Freeport kembali ke tanah air dalam konteks penguasaan saham oleh BUMN, maka secara konstitusi ekonomi, Pasal 33 UUD 1945 satu spirit bahwa kekayaan nasional akan digunakan untuk kemakmuran rakyat dan memberikan dampak langsung.
Dua hal ini merupakan satu perubahan yang signifikan di tanah Papua, walaupun kita tahu masih banyak persoalan yang terjadi di sana.
Kehadiran institusi pendidikan sangat diperlukan di sana termasuk juga ketersediaan pendidikan yang berbasis vokasi serta sekolah yang mampu membuka kesadaran perlunya kewirausahaan agar potensi Papua bisa digarap maksimal tidak semata-mata bergantung pada kekayaan alam semata.
Karena Indonesia sentris, maka slogan “kita” memberikan makna yang cukup kuat. Kita Indonesia yang berbhinneka tunggal ika, berideologi Pancasila dan menyadari bahwa NKRI satu bentuk negara yang bisa menjaga kedaulatan. Karena itu, Papua serta daerah-daerah lainnya merupakan satu bagian integral tak terpisahkan. Di sinilah momentum “kita Indonesia” menjadi relevan.*
Leave a Reply