Oleh Emanuel Dapa Loka, Wartawan dan penulis biografi
Politik dagang babi. Jenis politik apa lagi ini? Jenis politik ini sedang bikin galau orang Sumba, NTT karena gaya transaksi jual beli babi diduga kuat terjadi di sana. Apa penjelasan dengan “Politik dagang babi” tersebut?
Salah satu binatang yang mahal di Sumba adalah babi. Dibandingkan dengan harga babi di Pulau Jawa, harga babi di Pulau Sumba jauh ke mana-mana. Bisa tiga atau malah empat kali lipat. Pasalnya, kalau di Jawa seperti halnya di tempat-tempat lain, babi hanya membawa serta satu fungsi, yakni untuk dikonsumsi. Sedangkan di Sumba, selain untuk dikonsumsi, babi membawa serta nilai adat yang tinggi.
Akibatnya, babi menjadi sangat mahal, apalagi pasca ribuan babi di Sumba mati terserang virus babi dari Afrika, yang dikenal dengan virus ASF. Pasca ASF, orang Sumba sangat berhati-hati dalam memberi makanan kepada babi peliharaannya. Walau mahal, orang tetap membeli babi dengan tawar menawar seperti halnya tawar menawar harga sapi pada tahun 70-an, sebagai asal muasa istilah “Politik dagang sapi”.
Ratu Wulla Menyeruak
Tiba-tiba menyeruak berita tentang Ratu Ngadu Bonnu Wulla, Caleg terpilih Partai Nasdem dari Dapil 2 NTT mengundurkan diri (12/3). Sebelumnya, diketahui Ratu berhasil mengumpulkan 76. 331 suara. Dia mengalahkan saingan terdekatnya dari partai yang sama, yakni mantan Gubernur NTT Victor Bungtilu Laiskodat yang mengumpulkan 65.359 suara, terpaut 10.972 suara.
Berbagai spekulasi seputar alasan Ratu mengundurkan bermunculan, walau melalui beberapa media online Ratu sudah memberi alasan, yakni “karena mendapat penugasan lain” dari partai. Benarkah karena ada penugasan, dan apa tugas lain itu?
Politik Dagang Babi
Patut diduga pengunduran diri terjadi karena adanya tekanan atau tawar menawar internal partai agar sosok lainlah yang menduduki jatah kursi itu, apalagi penentu utama seseorang menduduki kursi bukan semata-mata karena yang bersangkutan berhasil mendapatkan suara yang melayakkan dia menduduki kursi, tapi juga atas rekomendasi partai.
Dengan kata lain, walaupun seseorang berhasil merebut kursi dilihat dari suara yang dia peroleh, namun kalau partai tidak merekomendasikan untuk dilantik dengan alasan kepentingan partai, maka yang bersangkutan “harus” menerima. Dan inilah yang terjadi dengan Ratu Wulla. Politik dagang babi sangat kuat di sini.
Kuat dugaan, dalam kasus tersebut terjadi tawar menawar, seperti orang yang mau beli babi. Gaya berpolitik seperti ini menempatkan suara rakyat pada tempat yang sangat hina. Penjerembaban semacam ini layak membuat masyarakat Sumba tersinggung dan marah besar.
Bagaimana mungkin suara yang mereka berikan secara tulus dan semangat oleh karena meyakini calon yang mereka pilih—dalam hal ini Ratu Wulla—akan kembali lagi di antara mereka untuk melayani melalui berbagai program, dirampok begitu saja. Bukan tanpa alasan harapan mereka itu. Pada periode pertama (2019-2024), masyarakat Sumba benar-benar merasakan peran dan kehadiran Ratu Wulla sebagai wakil mereka yang duduk di pusat.
Dengan pengunduran diri itu, masyarakat Sumba benar-benar merasa dikhianati oleh Ratu Wulla dan Partai Nasdem. Dengan cara begini, Ratu Wulla dan Partai Nasdem telah dan sedang menggali kuburnya sendiri di Tanah Marapu. Keduanya tidak akan laku lagi di daratan ini. Ratu Wulla sudah selesai! Kalau ikut bertarung dalam konteks apa pun di Sumba seperti Pilgub atau Pilbup, orang Sumba, khususnya Sumba Barat Daya akan antipati dan balik belakang.
Boleh dikatakan, orang Sumba sedang senang-senangnya punya wakil di Senayan yang mau menyuarakan kepentingan mereka. Tahu-tahu yang bersangkutan bersama partainya mengencingi harapan mereka di siang bolong.
Lantas, ke mana setelah mengundurkan diri? Jika tidak mengundurkan diri, sudah sangat pasti Ratu Wulla melenggang lagi ke Senayan. Apakah dia dan partainya mengincar salah satu kursi antara kursi Gubernur NTT atau kursi Bupati Sumba Barat Daya? Siapa lagi yang akan memilih?
Sesungguhnya, dari rekam jejak Ratu Wulla selama menjadi anggota DPR RI, orang Sumba, khususnya Sumba Barat Daya ingin memiliki wakil seperti Ratu di tingkat pusat untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan mereka. Buktinya, dari SBD saja Ratu mengantongi 61 ribu lebih suara. Hampir di semua TPS di SBD, Ratu Wulla terbilang digdaya.
Sangat beralasan mereka kecewa. Kalau memang ada pikiran untuk kursi Bupati, mengapa harus ikut dalam Pileg? Andai Ratu tidak ikut Pileg, masyarakat bisa memilih sosok orang Sumba yang lain, yang bisa mewakili aspirasi mereka.
Sekarang, dengan mengundurkan diri, Ratu mengulurkan kursi untuk Victor yang nyata-nyata tidak dikehendaki oleh sebagian besar orang Sumba. Itu terbukti dari suara yang dia peroleh dari 4 kabupaten di Sumba yang hanya 14. 122. Ini jumlah yang tidak menggembirakan hati Victor.
Lalu dengan suara yang “hanya” segitu, Victor akan melayani orang Sumba seperti Ratu Wulla? Sebaiknya jangan terlalu bermimpi.
Benar apa kata voktor bahwa orang sumba bodoh bodoh, warga sumba bisa di beli dengan uang, nyatanya melalui ibu ratu warga SBD semudah itu ditukar dengan uang karena kekuasaan partai dan oknumnya, terlalu goblok kalau periode berikut masi ada caleg dari sumba yang mau bergabung dengan partai nasdem.
Benar2 ibu ratu kecewakan seluruh masyarakat Sumba, terlbih khusus masyrwakat SBD…
Andai ibu ratu tdak masuk dalam kontestasi, msih banyak wakil orang sumba yg pantas menyampaikan aspirasi rakyat d tingkat pusat,,
SUNGGUH KECEWA..!!
Harus kah kita diperbodohi sperti ini?
Akan diam seribu bahasa sampai ttik yg tdak bisa lagi di diskusikan…
Ibu Ratu Bonnu Wulla SUNGGUH MENGECEWAKAN,,!!!