KOTA BEKASI-Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Gereja Santa Clara, Paroki Bekasi Utara, pada 9 November melakukan “Sosialisasi Pilkada” di Aula gereja setempat.
Sosialisasi ini diikuti oleh aktifis atau pengurus gereja seperti ketua atau pengurus lingkungan, pengurus wilayah, pengurus dan pengurus kelompok kategorial. Hadir juga beberapa anggota DPH dan Pastor Paroki Romo Kaprilius Sitepu, OFM Cap.
Kegiatan tersebut menghadirkan tiga orang narasumber, yakni Rasnius Pasaribu, Enie Widhiastuti (keduanya adalah mantan Anggota DPRD Kota Bekasi) dan Emanuel Dapa Loka, seorang wartawan.
Selain memetakan situasi politik di Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dan Jawa Barat, Rasnius dan Enie mengajak umat untuk terlibat dalam dunia politik di berbagai tingkatan, walau itu di tingkat RT dan RW.
Menurut mereka, suka atau tidak suka, kehidupan sebagai warga negara diatur oleh kekuatan politik. Karena itu, keduanya mengimbau agar pada Pilkada mendatang umat Katolik menggunakan hak politik secara baik dengan memilih pemimpin yang mereka inginkan. Namun, keduanya mengingatkan untuk memilih pemimpin yang toleran dan mau melayani kepentingan umum atau bersama.
”Pertama pilih yang toleran, kedua yang nasionalis. Kota Bekasi ini, kota kedua yang paling toleran di seluruh Indonesia. Siapa tahu nanti kota Bekasi jadi kota toleran pertama di Indonesia,” kata politisi PDIP ini.
Sementara itu, keterlibatan dalam politik kata Rasnius tidak harus dengan menjadi Caleg, Cabup dan seterusnya, tapi dengan menjadi pengurus RT RW, itu sudah partisipasi yang baik.
Menurut Rasnius, orang Katolik harus terlibat dalam dunia politik dan bertindak berdasarkan moral dan etika yang benar.
Ia lalu mengutip Kardinal Cardinal O’ Connors yang mengatakan, ”Jika umat Katolik tidak terlibat dalam kehidupan politik atau walaupun terlibat tetapi tidak menyuarakan dan menegakkan moral dan spiritualitas Katolik, maka Gereja harus merasa dirinya gagal menjalankan misinya.”
Jangan Sok Romantis
Hal yang senada disinggung pula oleh Emanuel Dapa Loka. Namun, pria asal Sumba, NTT ini menambahkan agar sebelum menentukan pilihan, umat pro aktif mengenal calon yang akan dipilih.
Katanya, jangan hanya berprinsip, ”Biarlah nanti pilih sesuai hati nurani”. Baginya, mengandalkan hati nurani, tanpa ada upaya memberi informasi yang cukup ke hati nurani tentang calon yang baik dengan berbagai kriteria, ini hanya memberi beban kepada hati nurani.
”Jadi, akseslah informasi tentang para calon itu. Kemudian kirim informasi itu ke hati nurani, lalu hati nurani melakukan discernment atau memilah-milih. Jangan sok romantis dengan mengatakan ’biarkan hati nurani yang bicara’,” katanya.
Hal lain yang Eman ingatkan adalah ihwal politik uang atau money politics. Menurutnya, dalam politik uang atau upaya sogok untuk memilih calon tertertentu, ada dua pihak yang sama-sama bermasalah.
Sesungguhnya kata Eman, calon yang membayar adalah calon yang tidak bisa dipercaya, tidak berkualitas, tidak meyakinkan sehingga dia harus membayar orang untuk memilihnya. Sedangkan orang yang harus dibayar untuk memilih, tidak punya harga diri atau harga dirinya murah sekali.
”Apa yang bisa dibeli dengan uang 100 atau 200 ribu? Hanya bisa beli dua kilo gram daging anjing kan? Pertanyaannya, masa harga atau martabat kita hanya setara dengan dua kilo gram daging anjing? Mintalah dibayar dengan kerja yang benar selama lima tahun,” katanya. (tD)
Leave a Reply