Sumba Dapat Apa Selama Kepemimpinan Jokowi?

Oleh Emanuel Dapa Loka, Anak Desa Piero, Waijewa Barat, SBD

Menyaksikan Presiden Jokowi yang kembali meresmikan sejumlah proyek di Flores, khususnya di Labuan Bajo, saya lalu bertanya dan membuat perbandingan dengan Sumba. “Sebenarnya, selain Food Estate di Sumba, proyek apa lagi yang pernah ada di Sumba selama kepemimpinan Jokowi?”

Presiden mengunjungi sarana hunian di Labuan Bajo.

Berkali-kali sudah Jokowi ke Flores dan Timor, dan telah berderet-deret proyek yang Sang Presiden resmikan. Beberapa dari proyek itu bahkan masuk dalam kategori “kelas premium”. Ada pula sejumlah bendungan raksasa di sana. Sementara di Sumba tidak ada. Padahal curah hujan di Sumba dan Flores sama-sama rendah.

Sungguh mengagumkan! Jika proyek-proyek itu berjalan dengan baik, akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan rakyat setempat, terlepas dari dari beberapa pro kontra atas tarif masuk Taman Nasional Komodo yang sangat tinggi, misalnya.

Dalam hal potensi wisata yang mengandalkan wisata alam, Sumba dan Flores “beda-beda tipis”. Tapi dalam fasilitas, kedua daerah ini “antara langit dan bumi” atau kalau terlalu dramatis, sebut saja “antara Waitabula dan Jakarta.” Ini perbandingan yang sangat jauh, bukan?

Di pantai-pantai di Sumba, jangankan hotel (kalaupun ada hanya beberapa), sangat sulit menemukan saung sebagai tempat berlindung dari matahari pantai yang membakar kulit itu.

Orang bisa saja berkata: Kan ada Hotel Nihiwatu yang tersohor sebagai salah hotel terbaik  sejagad raya…! Betul, tapi Hotel Nihiwatu itu fasilitas yang super eksklusif yang tidak mudah dijangkau, apalagi itu milik “orang lain”.

Pertanyaannya, mengapa sangat banyak fasilitas yang dibangun negara di Flores sedangkan di Sumba nyaris tidak ada—selain Food Estate? Tentu ini juga ada hubungan dengan inisiatif pemerintah setempat atau pemipin lokal. Mereka memiliki program yang connect dengan pusat atau tidak? Kreatif atau tidak? Atau lebih dari itu, mereka berhasil meyakinkan Pemerintah Pusat atau tidak, tentang potensi di daerah yang bisa dikembangkan? Di sinilah diperlukan pemimpin yang kreatif, visioner dan gelisah.

See also  Cabut Hak atas Tanah yang Diterlantarkan

Di era otonomi daerah, para Bupati di Sumba harus lebih berani menembus pusat untuk “menjolok” anggaran. Selain itu, anggota legislatif Dapil II NTT harus lebih aktif dan berjuang mengawal anggaran ke arah Sumba. Dan tidak kalah pentingnya, Gubernur Laiskodat harus punya perhatian yang serius, konkret dan seimbang untuk Sumba.

Pemerintah Pusat atau Jokowi tidak memiliki ilmu telepati atau “tahu dengan sendirinya” bahwa Sumba membutuhkan ini dan itu.

Mereka perlu diberitahu melalui proposal diserta deskripsi keuntungan yang akan diperoleh masyarakat dari proyek yang diusulkan.

Rupanya, para pemimpin di Flores lebih memiliki komunikasi yang baik dan lancar dengan Pemerintah Pusat—dan ini didukung elit-elit Flores di pusat—sehingga informasi tentang berbagai potensi yang bisa dikembangkan di sana lancar ke telinga Jokowi.

Gubernur Laiskodat pun lebih berat untuk pembangunan di Flores dan Timor. Lihatlah kemudian, berderet-deret proyek bermunculan di sana. Sumba dapat apa?

Ketika Presiden Jokowi menerjang hujan untuk meresmikan Food Estate di Sumba Tengah.

Belajar dari Food Estate

Pertanyaan orang, bagaimana ceritanya “proyek satu-satunya” selama Jokowi memimpin bernama Food Estate itu muncul?

Seperti dikatakan Pater Kimy Ndelo, CSsR (konon, dari sumber yang bisa dipastikan kebenarannya), suatu saat, sekitar tahun 2019, Gubernur dan para Bupati se-NTT bertemu Presiden Jokowi di Jakarta.

Dalam pertemuan itu, Presiden bertanya: “Apa yang para bupati inginkan untuk daerahnya?” Hanya satu dua Bupati yang menjawab, sementara yang lain bungkam. Entah malu bicara atau memang tidak memiliki rencana apa-apa.

Salah satu yang angkat bicara tulis Kimy adalah Bupati Sumba Tengah, Paul Kira.

Kata Paul, “Di Sumba Tengah ada lahan pertanian yang sangat luas. Saya mohon dibangun sebuah bendungan untuk Sumba Tengah”.

See also  Resmikan Sirkuit Mandalika, Presiden: Siap Digunakan untuk Ajang Kelas Dunia

Jokowi merespon sangat baik. Dia minta staf dan menterinya mencatat itu dan memberi perhatian khusus untuk Sumba Tengah.

Sejak itu, baik Gubernur maupun Menteri-menteri silih berganti datang ke Sumba Tengah untuk melihat dan merancang beberapa proyek besar secara bersama-sama. Salah satunya food estate seluas 3.000 ha lahan padi dan 2.000 ha lahan jagung—yang akan ditingkatkan menjadi 10.000 ha. Itu baru satu program. Bendungan raksasa akan menjadi program lanjutan.

“Maka, kalau ada pertanyaannya, ‘mengapa Sumba Tengah’, jawabannya: Karena Bupatinya punya mimpi untuk rakyatnya, punya program yang jelas, punya keberanian untuk menembus Jakarta dan punya pengorbanan,” tulis Pater Kimy seperti dilansir SATUSUMBA.COM pada 25/2/21.

Kalau Presiden dan Bupati memiliki “chemistry” atau perpaduan hati, ditambah lagi dukungan Gubernur, masih tulis Kimy, maka yang nampak mustahil akan menjadi sangat mudah.

Masih menurut Kimy, Pemerintah Pusat sebenarnya memiliki banyak uang. Presiden tidak ragu mengeluarkan uang untuk rakyatnya. Namun, Presiden tidak mau menghambur-hamburkan uang begitu saja. Dia hanya mau memberi uang untuk orang yang mau bekerja.

Tampaknya, para Bupati di Sumba perlu memperlancar komunikasi dengan Jakarta sambil merajut daya kreasi yang melibatkan masyarakat dan mendayagunakan semua potensi-potensi yang ada.

Jangan sampai masa kepemimpinan Jokowi yang “pro NTT”—yang selama ini terabaikan—berlalu begitu saja, tanpa hasil untuk Sumba.

Dan jangan sampai pula, masa kepemimpinan para Bupati di Sumba dan Gubernur hanya menunggu waktu untuk berakhir, dan terbukti tidak meninggalkan bekas apa-apa bagi kesejahteraan rakyat di Sumba.*

2 Comments

  1. Ini ide yg cemerlang. Klu dibaca oleh para Bupati di Sumba, mereka akan sadar bhw sebentar lg nama mereka segera lewat sekedar mempertebal data diri tanpa makna utk rakyat. Thanks Lapuero com

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*