Oleh Yos Dapa Bili, Pengamat politik, tinggal di Jakarta
Tahapan Pilkada di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Provinsi NTT saat ini tengah memasuki tahap pendaftaran calon melalui partai-partai politik. Sepintas, Pilkada merupakan prosesi biasa lima tahunan walau melibatkan emosi, rasionalitas, materi, dan lainnya.
Namun, prosesi itu menjadi lebih menarik manakala beredar “kabar burung”, bahwa Ratu Ngadu Bonu Wulla atau biasa dipanggil Ratu Wulla (RW) telah mengambil formulir pendaftaran Calon Bupati di PDI Perjuangan SBD. Kabar burung itu pun telah dikonfirmasi oleh Anus Kette dari PDIP SBD sebagaimana diwartakan sejumlah media online di Sumba pada 10 April 2024.
Belum sirna dari di memori sebagian besar masyarakat Sumba rasa kecewa yang cukup mendalam menyusul pengunduran diri RW dari Caleg DPR Partai Nasdem, betapapun ia memperoleh suara tertinggi di partainya di Dapil NTT II. Secara fantastis RW mendapatkan 76.331 suara di Dapil II NTT, dan khusus dari Kabupaten SBD sebanyak 61 ribu lebih pada Pemilu 14 Februari 2024 lalu.
Rasa kecewa itu dapat dimaklumi, manakala daulat rakyat yang dipercayakan kepada RW untuk menjadi jembatan aspirasi di legislatif RI, seketika sirna.
Sikap RW meninggalkan kursi DPR di depan mata, telah dimeterai oleh konstituen sebagai sikap pengkhianatan. Mereka merasa telah ditinggalkan, dan “menjelma” menjadi seperti layangan putus. Betapa tidak! Masyarakat memiliki harapan sangat besar dengan posisi strategis RW sebagai anggota DPR RI, dan itu telah ditunjukkannya sendiri.
Atas pengunduran diri itu, setidaknya dua hal yang dapat menjadi poin. Pertama, jika pengunduran diri RW bersifat sukarela maka Partai Nasdem sesungguhnya memiliki kewajiban moral dan etik untuk mempersoalkan kadernya yang mundur karena sangat menciderai aspirasi rakyat serta merugikan partai. Kedua, jika RW mundur atas perintah atau tekanan partainya, maka Partai Nasdem secara kelembagaan nyata-nyata telah melakukan pengingkaran restorasi yang menjadi tagline resminya.
Poin kedua menjadi referensi buruk bagi pendidikan politik warga negara. Maka sulit dihindari jika pemilih partai Nasdem Dapil II NTT khususnya pemilih RW berpotensi memberikan sanksi politik ke Partai Nasdem dalam wujud pengabaian pada kontestasi-kontestasi politik lokal khususnya di Kabupaten SBD, sebagai kabupaten asal RW.
Pengunduran diri RW dari Caleg DPR, disertai alasan “adanya penugasan lain dari partai”, hingga saat ini masih menjadi misteri publik. Apakah pengambilan formulir pendaftaran Calon Bupati SBD Periode 2024–2029 di PDI Perjuangan merupakan wujud penugasan Partai Nasdem? Ataukah RW berpindah haluan politik dari Nasdem ke PDI Perjuangan?
Bagi PDI Perjuangan, memilih RW menjadi calon yang diusung mengandung setidaknya dua risiko. Pertama, PDI Perjuangan harus mengorbankan kader yang lahir dari rahimnya sendiri untuk mengakomodasi calon non PDIP Perjuangan, dan kedua PDIP Perjuangan harus bekerja lebih keras memulihkan kekecewaan pemilih Nasdem dan RW di SBD.
Magnet Tersendiri
Terlepas dari polemik pengunduran diri dari Caleg DPR, jika RW benar-benar memutuskan maju menjadi Calon Bupati SBD, ini akan memberikan gairah baru di pelataran politik SBD bahkan mungkin menjadi magnet tersendiri dalam politik lokal.
Beberapa hal yang membuat aksi putar haluan RW ke arena politik SBD menarik perhatian. Pertama, migrasinya dari politik nasional ke politik lokal atau back to Sumba bisa menjadi jualan yang bisa dilekati label bernama “Simbol kesungguh-sungguhan mencintai Sumba” dalam wujud melayani masyarakat melalui peran sebagai Bupati”.
“Kesungguhan mencintai” terasa kian berharga mahal karena ada kesan RW meninggalkan glamour panggung politik nasional menuju SBD 01 di pelataran sunyi untuk lebih dekat melayani rakyat. Argumentasi ini jika dikreasi melalui pendekatan dan kemasan yang apik nan persuasif, akan terasa romantis nan heroik di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, RW adalah salah satu politikus SBD yang telah menjelajah seluruh permukaan SBD. Hal ini tidaklah mengherankan sebab RW adalah istri mantan Bupati SBD, Markus Dairo Talu (MDT). Ketika itu, RW berperan sangat aktif menyapa warga SBD mengkampanyekan MDT sebagai Calon Bupati yang layak dipilih. Kebiasaan menyapa warga melalui interaksi langsung, bahkan terus dilakukannya pada masa-masa reses sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024, disertai “buah tangan” sebagai alat interaksi kultural.
Kebiasaan ini terekam secara baik dalam memori warga SBD dan menjadi potensi yang dapat dihidupkan kembali untuk memulihkan kepercayaan warga. Boleh dikatakan, dibanding calon-calon lain, jam terbang RW menjelajah wilayah-wilayah SBD tergolong unggul.
Kehadiran RW di tengah masyarakat bahkan bisa memunculkan ungkapan sugestif: “Ketika menjadi anggota DPR saja, dia sudah sering hadir di tengah masyarakat, apalagi kalau RW jadi bupati, dia akan benar-benar hidup dan menyenasib dengan rakyat”.
Ketiga, kalau terpilih menjadi Bupati, maka RW adalah perempuan pertama yang menjadi bupati di daratan Pulau Sumba atau bahkan regional NTT.
Biasanya, hal-hal bersifat “pertama” selalu mencuri perhatian. Apalagi, nilai jual isu perempuan cukup tinggi di Sumba. Mengapa? Walau ada sejumlah praktik sosial yang terkesan merendahkan perempuan, tapi sesungguhnya, budaya Sumba menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi dan terhormat.
Setidaknya ada dua medium yang secara jelas memvisualisasikan “penghormatan” kepada perempuan dalam budaya Sumba, yakni tenun ikat Sumba dan mamuli. Pada kedua medium tersebut kita melihat gambar yang sangat khas wanita, yakni rahim. Menempatkan “Rahim” pada kedua medium tersebut adalah simbol pengakuan masyarakat Sumba pada sifat dan peran perempuan.
Sekarang ini, sifat dan peran perempuan yang terekam dalam rahim itulah yang dibutuhkan masyarakat Sumba. Apa itu? Ya, kerahiman! Kerahiman sangat dirindukan masyarakat.
Dari asalnya dalam bahasa Arab rahima, kata rahim bermakna mengasihi, menyayangi, mencintai, menghargai, dan menghormati. Harapannya, RW dengan sifat keibuan yang memiliki rahim memberi optimisme bahwa rakyat akan mengalami pelayanan yang berangkat dari semangat kasih, sayang, peduli dan sebagainya.
Pertanyaannya, mana yang akan terjadi? Semuanya tergantung dari kemampuan persuasif meyakinkan para pemilih disertai kekuatan uang yang cukup. Harus punya banyak uang jika ingin menang. Pilkada SBD adalah pertaruhan merebut hati, kepercayaan, lalu mengunci paku di tangan pemilih untuk diarahkan ke nama calon. Adagium no money no vote telah menjadi buah bibir, pikiran, dan sudah tertanam dalam-dalam di benak masyarakat.*
Leave a Reply