LAPIERO.COM-KEBANGGAAN terhadap kain tenun ikat, khususnya tenun ikat Sikka mulai muncul 10 tahun yang lalu, ketika saat itu perayaan penikahan khususnya di Sikka maupun di daerah lain yang ditempati warga diaspora Sikka itu sendiri mulai bergeser ke busana pengantin modern.
“Ini memicu pola pikir kami, kenapa tidak memakai dan membudayakan kembali pakaian adat Sikka itu sendiri,”ungkap Don YGS da Silva, ayah dari pengantin perempuan Dona Marie Rosario Concitta da Silva dalam percakapan dengan media ini, Jumat (26/11/2021).
Menurut Don da Silva yang akrab disapa Roy da Silva, akhir-akhir ini begitu banyak gaun dan berdampak pada busana kain tenun ikat yang dikenakan pada acara-acara khusus terlebih pada perayaan pesta nikah.
Dan ini diwujudkan dalam gaun pengantin pernikahan pasangan pengantin itu bernama Dona Marie Rosario Concitta da Silva & Quincy Igwahyudy Christian Imran yang dikenakan pada pada Misa Pemberkatan Pernikahan. Pasangan ini mengikat janji pernikahan di hadapan Romo Andreas Sutiyo SX yang berlangsung pada Sabtu, 28 Agustus 2021 lalu di Gereja Katolik St. Matius Penginjil, Bintaro, Jakarta Selatan.
Pengantin perempuan adalah anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Don YGS da Silva & Floriana Lolly DG da Silva yang biasa disapa Concitta yang juga adalah cucu Raja Sikka, Raja Muda Sikka-Mo’at Don Josephus Daniel Ximenes da Silva. Sementara pengantin pria adalah putra pasangan Imran Idris & Betsy Irene Paulus
Pasangan pengantin didampingi saksi yang juga kerabat pengantin perempuan yakni pasangan suami istri J. Phillip Gobang dan Avanti Fontana. Mereka juga mengenakan busana tenun ikat Sikka bermotif Dala Mawarani.
Untuk resepsi pernikahan sendiri akan digelar pada Minggu 28 November 2021 di Arosa Hotel di Bintaro, Jakarta Selatan.
Sementara Sonya da Gama praktisi pariwisata khusus tenun ikat Sikka menambahkan tenun ikat yang dikenakan pasangan pengantin Dona Marie Rosario Concitta da Silva & Quincy Igwahyudy Christian Imran pada misa pemberkatan pernikahanadalah untuk pengantin perempuan mengenakan tenun ikat motif burung merak dimana termasuk motif fauna dan pengantin pria mengenakan kain tenun jenis songket yang biasa dipakai para pria dengan sebutan Lipa Prenggi.
Busana tenun ikat yang dikenakan pasangan pengantin saat pernikahan kata Sonya untuk sarung bermotif Merak melambangkan keagungan dan kecantikan bagi anak gadis dan Llipa Prenggi dipilih untuk membedakan busana wanita dan pria.
“Motif merak sendiri masuk dalam motif kelang suster yang dibuat oleh para suster pada tahun 1928 di Lela dimana motif awal adalah piala hosti dan anggur untuk kepentingan stola para imam. Untuk Lipa Prenggi sendiri ketika jaman kerajaan dipimpin Ratu Dona Agnes Ines da Silva, dia khusus mendatangkan para penenun dari pesisir goa juga Bima sehingga warna bercorak pesisir tidak terlepas dari pengaruh busana orang Makassar dan Gowa yang menetap di Flores khususnya di Maumere,”jelas Sonya yang juga pemilik Sonya Tenun Maumere sebuah, toko cendramata di Maumere, Kabupaten Sikka.
Menurut Roy, seharusnya tata cara berpakaian dalam sebuah prosesi pernikahan disesuaikan dengan runutan peristiwa prosesi adat nikah itu sendiri. Ada kostum dan warna tersendiri, namun saat ini menurut Roy sangat sulit diimplementasikan.
“Seperti pakaian wanita saat dilamar ada dominan warna merah yang melekat pada dong. Ini menandakan bahwa perempuan sedang mekar dan berseri serta siap untuk dipinang. Sementara warna kostum saat lepas bujang lebih mengarah ke warna kuning dan hijau untuk dongnya. Artinya dia siap dipetik dan matang. Sedangkan warna kuning atau biru laut pada pesta nikah atau di Gereja menandakan kecantikan dan ceria untuk dibanggkan bagi sang suami serta penghormatan bagi para undangan,” tutur Roy.
Semua warna dan urutan yang dikenakan tidak terlepas dari pengaruh busana orang Makassar dan Gowa yang menetap di Flores khususnya di Maumere. Dan sekarang telah menjadi bagian dari busana Sikka dengan corak kostum yang sangat bernilai tinggi.
“Perhatikan corak warna bagi kain sarung pria, pengaruh warna dari Makasar sangat kental,” ujar Roy.
Roy menceritakan dalam memilih ragan warna dan corak untuk busana pasangan pengantin sangat teliti dan semaksimal mungkin kembali ke corak-corak lama, di abad lalu, meski seringkali perajin tidak mampu menenunnya.
“Paduan warna dan corak ini yang menghasilkan keunikan nuansa meriah pada saat pasangan pengantin bersanding bersama-sama,” kata Roy.
Saat pemberkatan, Concitta sendiri kata Roy, memakai baju adat yang lebih praktis, karena pengantin perempuan lebih memilih yang simple dan tidak memakai ala gadeja. Sehingga dia hanya memakai utang labu, dong, kalar gelang dan socking 3 buah dan lenggeng
Letak socking sendiri adalah 1 buah di depan dan 2 buah kiri kanan..Ini adalah pertanda pernikahan suci seorang gadi. Penata Rambut dan Penata Busana pasangan ini adalah Maria Anneliesa Gobang yang biasa disapa Marlis Gobang.
Kimang dan Martabat Perempuan Sikka
Dikutip dari laman krisdasomerpes.wordpress.com, salah satu suku di Indonesia, secara khusus di Flores Nusa Tenggara Timur yang meletakkan perempuan pada posisi yang bermartabat lantaran hasil dari perjuangan yang panjang melawan diskriminasi terhadap kaum perempuan di masa silam adalah suku Sikka di Maumere.
Simbol-simbol yang selanjutnya menjadi ukuran martabat perempuan Sikka tidak hanya dapat dilihat dari belis yang dimintakan kepada pihak keluarga laki-laki ketika proses pertunanganan dimulai. Tetapi juga dari pakaian yang dikenakan perempuan Sikka ketika proses penikahan adat dilangsungkan.
Perihal itu di Sikka ada adagium yang berbunyi “Du’a utan(g)ling labu welin(g)” yang arti dan atau maknanya kurang lebih “kain sarung dan baju setiap wanita haruslah bernilai, berharga”. Adagium ini sebenarnya memendar banyak makna. Salah satunya seperti terpatri dalam setelan baju Kimang. Sepasang baju yang dikenakan pengantin pada ketika acara pernikahan adat dilangsungkan.
Ada tiga hal menarik yang dalam dan melalui baju Kimang seorang perempuan atau gadis Sikka tampak begitu bermartabat.
Pertama, dalam bentuk uang jika diadakan atau dibeli. Coba dibayangkan dan selanjutnya diuangkan dari catatan informatif berikut ini: setelan Kimang terdiri dari bawahan berupa sarung tenun ikat bermotif dan atasan berupa baju sulam yang dipadu dengan sejenis selendang yang disebut “dong”. Perhiasan yang mewarnainya terdiri atas kalar gelang dari gading yang harganya jutaan rupiah, kalung leher, anting yang terbuat dari emas, dan “ala gadeja” (perhiasan penutup wajah dan hanya dikenakan oleh oleh perempuan yang masih perawan) yang terdiri dari kain dan benang¬benang yang dihiasi dengan emas yang juga mencapai jutaan rupiah.
Selanjutnya, tataan rambut disanggul ke atas, diikat dengan gelang atau benang emas, dan pada rambut yang disanggul terdapat tiga tusuk konde emas (soking telu). Tiga tusuk konde ini melambangkan tiga tahap perkawinan yang dimulai dari persiapan, penentuan belis dan (sampai pada) upacara perkawinan itu sendiri.
Kedua, harga rasa jika dilihat secara estetis. Ada pesona yang ditawar-pendarkan jika mengenakan Kimang, apalagi jika pasangan pengantin perempuannya masih perawan. “Kalau nikah suci, atau nikah mulia perempuan yang mengenakan Kimang tampak lebih anggun, cantik dan menawan” demikian kesaksian orang-orang Sikka. Kesaksian yang lain “Sekalipun dipoles dengan kosmetik jenis apa pun, tetapi jika yang mengenakan Kimang adalah perempuan yang sudah tidak perawan, akan tampak berbeda, kelihatan tidak segar”. Boleh percaya atau tidak, tapi kesan umum di Sikka demikian.
Ketiga, secara moral dan kultural Kimang menunjukkan tentang tingkat kejujuran. Sebab sesungguhnya, tidak semua pasangan pengantin, secara khusus pengantin perempuan dapat mengenakan Kimang begitu saja. Kata orang-orang Sikka, ketika sang pengantin perempuan mengenakan Kimang mata akan dengan tanggap melihat “oh ini anak perawan atau tidak”. Kasat mata, hal itu dapat dilihat dari apakah pengantin perempuan mengenakan “ala gadeja” (perhiasan penutup wajah) atau tidak ketika pernikahan adat dilangsungkan. Jika “ala gadeja” dikenakan pengantin perempuan pada ketika upacara pernikahan dilangsungkan maka hal itu menunjukkan pengantin perempuan masih perawan, namun jika tidak, jelas mau apa dikata.
Namun, poin terakhir ini (sekali lagi) hanya dapat diukur dengan niat baik dan kejujuran sang pengantin. Namun pula, percaya atau tidak, mata ibu-ibu, mama-mama Sikka dapat melihat dengan amat jelas nilai tersebut. Sampai saya berkesimpulan bahwa mata keyakinan moral dan cultural tidak dapat dibohong.
Tiga harga Kimang ini tak dapat ditakar. Dalam dan melaluinya martabat perempuan ditampil-kedepankan. Tidak dapat dielak bahwa melampaui dari segala jumlah harta benda yang diuangkan, harta terbesar dalam kehidupan berbudaya adalah ketulusan dan kejujuran itu sendiri. Dan perihal itu, menjadi norma universal yang dapat ditemukan pada segala tempat dan suku. Dan di Sikka, nilai itu, salah satunya, ditunjukkan dalam dan melalui Kimang.
Sungguh tepatlah adagium di Sikka yang berbunyi “Du’a utan(g)ling labu welin(g)” yang arti dan atau maknanya kurang lebih “kain sarung dan baju setiap wanita haruslah bernilai, berharga. Mulia dan agungnya pengantin dibalut tenun Sikka.
Selamat menempuh hidup baru Dona Marie Rosario Concitta da Silva & Quincy Igwahyudy Christian Imran. (FD)
Leave a Reply