
Jemianus Tamo Ama, Warga SBD, tinggal di Jakarta
Seperti tersiar di berbagai platform Medsos, tampak adegan yang lebih mirip “drama lapangan” pada 1 Juli 2025 di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD). Bupati SBD Ratu Wulla nyaris berkelahi dengan Cathrine Horo, staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan SBD.
Jika tidak dilerai, maka sangat mungkin kedua wanita itu akan jambak-jambakan, lalu guling-guling di lantai.
Walau tidak sampai jambak-jambakan dan guling-guling di lantai, adegan yang Ratu Wulla pertontonkan hanyalah sebuah drama picisan ketimbang solusi birokrasi.
Adegan itu bermula dari laporan penundaan tunjangan guru. Alih-alih menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, Bupati justru memilih cara grasak grusuk, datang dengan emosi, live pula di media sosial, dan menciptakan suasana ricuh.
Kekuasaan vs Kebijaksanaan
Dalam menangaini kasus, bukannya memanggil Kepala Dinas P&K dan guru-guru yang dirugikan untuk klarifikasi. Bupati malah menggrebeg kantor dinas dengan aura otoriter. Sikap ini mengundang pertanyaan: ”Apakah ini gaya kepemimpinan atau sekadar arogansi jabatan? Mengapa solusi tidak diutamakan, justru konten media sosial yang diprioritaskan?”
Live Facebook yang dikira akan menunjukkan transparansi kerja dan kebijakan, justru memperlihatkan ketidaksiapan pemimpin dalam mengelola persoalan dan konflik. Alih-alih membangun dialog, yang muncul adalah kesan “saya berkuasa, saya yang benar”.
Seorang pemimpin yang bijak, harus mendengarkan berbagai pihak. Bukan mendengar dan langsung memercayai satu pihak, lalu buru-buru menghakimi.
Kalau mau menjadi pemimpin sejati, seharusnya Bupati Ratu Wulla terlebih dahulu mengumpulkan fakta dengan memanggil Kepala Dinas untuk verifikasi alasan keterlambatan tunjangan.
Setelah itu konfrontasikan fakta dari Dinas P dan K dengan guru-guru yang mengaku dirugikan. Jangan lupa pelajari baik-baik regulasi yang mengatur tunjangan-tunjangan yang dipersoalkan itu.
Bupati semestinya melibatkan pihak terkait dan medengarkan keluhan guru sebelum mengambil tindakan. Harus ada solusi, bukan sekadar marah di depan kamera. Belum lagi, Bupati marah-marahnya kepada pegawai yang berstatus staf, bukan kepada pimpinannya.
Seperti ajaran Socrates tentang etika komunikasi publik, “Gunakan akal sehat, cari kebenaran, sampaikan informasi dengan jujur, pertimbangkan konsekuensi, dan bangun dialog konstruktif.”
Jika Bupati ingin dihormati, tunjukkan kearifan, bukan kekerasan verbal. Masalah tunjangan guru adalah persoalan serius, tapi penyelesaiannya harus sistematis bukan dengan aksi viral yang justru merusak citra birokrasi.
Saran untuk Ibu Bupati
Stop prioritaskan konten, fokus pada solusi! Masyarakat butuh pemimpin yang bekerja, bukan pencari sensasi. Utamakan dialog, bukan konfrontasi. Kekuasaan jangan ditampilkan dalam aksi yang grasak grusuk, tapi untuk melayani dengan wajah ramah, bukan dengan marah-marah.
Semoga kejadian ini menjadi refleksi, bahwa pemimpin yang baik bukan yang paling sering muncul di media, tapi yang paling tulus menyelesaikan masalah rakyat.
Yakinlah, ke depan SBD akan gemilang.
Leave a Reply