Cerpen Odemus Bei Witono: Singkong Bakar dan Harapan di Pulau Rindu

Menemukan makna di balik singkong bakar.

Hari itu, sebuah fajar baru di tahun 2000-an menyentuh langit di atas Pulau Rindu yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar. Pulau tersebut tak terkenal, tetapi penuh dengan cerita dan kehidupan sederhana. Di tengahnya berdiri sebuah sekolah menengah yang menjadi pusat harapan banyak anak muda. Di sini-lah Pak Richard, seorang pamong tegas berusia 40-an penuh empati, menjalani tugasnya dengan penuh dedikasi.

Pukul 07.00 pagi, seperti biasa, Pak Richard berdiri di halaman sekolah, ditemani beberapa guru lain. Hari itu merupakan hari pemeriksaan tas para siswa. Kebijakan ini diterapkan oleh sekolah setelah beberapa insiden kecil terkait barang terlarang yang dibawa siswa. Meski awalnya menimbulkan protes dari sebagian murid, akhirnya semua menerima secara baik dan ikhlas.

“Baik, anak-anak. Silakan berdiri berbaris dan letakkan tas kalian di meja. Kami akan memeriksa barang-barang kalian. Jangan khawatir, ini demi kebaikan bersama,” ujar Pak Richard dengan suara tegas namun lembut.

Satu per satu, murid-murid SMA itu maju membawa tas mereka. Sebagian tampak santai, sementara yang lain tampak gelisah. Beberapa barang disita—komik yang dianggap tidak pantas, ponsel yang kala itu masih langka, dan satu-dua benda mencurigakan yang akan ditindaklanjuti.

Ketika giliran Rita, seorang siswi kelas X yang pendiam namun rajin, tiba menyerahkan tasnya tanpa ragu. Ada senyum kecil di wajah, sesuatu yang jarang terlihat di sekolah itu. Pak Richard mulai memeriksa isi tasnya. Ada buku pelajaran, pensil, dan sebuah benda yang terbungkus koran bekas, terselip di antara buku catatan.

“Apa ini, Rita?” tanya Pak Richard dengan nada heran, mengangkat bungkusan itu. Rita tersenyum samar. “Silakan dibuka, Pak.”

Pak Richard mengernyitkan dahi. Beliau perlahan membuka bungkusan itu. Di balik koran bekas, ada lagi lapisan plastik tipis. Setelah itu, lapisan kertas cokelat, dan akhirnya bungkusan daun pisang.

See also  Guru Berjuang Membentuk Karakter, Bukan Menyakiti

“Ini… apa?” gumamnya sambil mengupas lapisan terakhir dengan hati-hati, mengantisipasi sesuatu yang mungkin di luar dugaan.

Ketika daun pisang terbuka, aroma khas singkong bakar menyeruak ke udara. Pak Richard menatap benda itu dengan ekspresi campuran antara lega dan geli.

“Singkong bakar, Pak. Buatan Ibu saya tadi pagi,” ujar Rita dengan polos.

Pak Richard tertawa kecil, lalu menyerahkan bungkusan itu kembali. “Ambil ini, Rita. Maaf, tadi saya kira sesuatu yang lain.” Rita mengangguk. “Tidak apa-apa, Pak.”

Pemeriksaan berlanjut, dan tidak lama kemudian bel sekolah berbunyi satu kali tanda pelajaran dimulai seperti biasa. Namun demikian, bagi Pak Richard, insiden singkong bakar itu terus terngiang di pikirannya.

Saat jam istirahat, beliau melihat dari kejauhan Rita bersama tiga temannya—Rico, Yuna, dan Emil—duduk di bawah pohon ketapang besar di halaman sekolah. Pohon itu menjadi tempat favorit para siswa berkumpul. Keempat anak itu mengelilingi bungkusan singkong bakar, bersiap menikmati camilan sederhana itu.

Namun sebelum mereka mulai, sesuatu yang membuat Pak Richard terharu terjadi. Rita memimpin doa kecil. Mereka menundukkan kepala, tangan terlipat di depan dada, mengucap syukur dengan khidmat atas makanan yang ada di hadapan mereka.

Pemandangan itu sederhana, tetapi begitu bermakna. Di tengah segala keterbatasan hidup di pulau kecil itu, ada semangat menghargai apa yang dimiliki, sekecil apa pun itu. Pak Richard berdiri dari kejauhan, menyaksikan momen itu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

Beliau teringat masa kecilnya sendiri, yang tak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak ini; tumbuh dalam kemiskinan, dengan makanan sederhana seperti singkong dan ubi menjadi teman sehari-hari. Namun, beliau belajar untuk bermimpi, berharap, dan bekerja keras.

See also  Rambu Kùdu, Cerpen B. Retang Wohangara

Setelah beberapa menit mengamati mereka, beliau berjalan mendekat.

“Anak-anak,” panggilnya, membuat keempatnya menoleh. “Apa kalian menikmati singkong itu?” Rita tersenyum. “Iya, Pak. Makanan ini favorit kami. Ibu saya yang membuatnya.”

Pak Richard duduk di rerumputan bersama mereka. “Kalian tahu? Makanan sederhana seperti ini merupakan simbol perjuangan. Dulu, ketika saya seusia kalian, singkong ini makanan utama keluarga. Saya selalu ingat, setiap kali memakannya, ibu saya berkata bahwa singkong ini adalah sumber kekuatan kita untuk bertahan dan terus maju.”

Keempat anak itu mendengarkan dengan penuh perhatian. “Terkadang,” lanjut Pak Richard, “kita lupa bahwa hal-hal kecil dalam hidup bisa membawa kebahagiaan. Mungkin itu hanya singkong bakar, tetapi kalian menikmatinya bersama, dengan doa, dan rasa syukur. Itu yang membuat hidup kalian lebih bermakna.”

Rico, yang biasanya lebih banyak diam, akhirnya angkat bicara. “Pak, menurut Bapak, apakah mungkin kami, yang tinggal di pulau terpencil seperti ini, bisa mencapai mimpi besar?”

Pak Richard menatap mereka satu per satu, lalu menjawab dengan mantap, “Mungkin sekali, Rico. Tidak penting di mana kalian memulai. Yang penting adalah bagaimana kalian melangkah. Saya berdiri di sini sebagai bukti bahwa mimpi besar dapat dicapai dari tempat kecil seperti ini.”

Percakapan itu diakhiri dengan senyuman dan tawa kecil. Ketika bel berbunyi tanda jam istirahat usai, anak-anak itu beranjak ke kelas, sambil membawa semangat baru.

Pak Richard berdiri, menatap pohon ketapang yang daunnya bergoyang lembut ditiup angin. Beliau merasa bahwa di bawah pohon itu, sebuah pelajaran penting telah ditanamkan—bahwa kehidupan sederhana pun bisa menjadi lahan subur dalam menumbuhkan mimpi besar.

Hari itu, di sebuah pulau kecil yang jauh dari sorotan dunia, seorang guru, sekelompok anak muda, dan sebungkus singkong bakar telah membuktikan bahwa harapan dan rasa syukur adalah kekuatan yang tak ternilai.*

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*