Fransiskus Go, Pengusaha NTT, Belajar dari Sikap Kaisar Hirohito untuk Membangun NTT

Perjumpaan dengan Fransiscus Go, tanpa sengaja. Pun di luar perkiraan. Beta sudah lupa waktu pertemuan itu. Tapi beberapa bulan lalu. Di cafenya. Di Jalan Kendal No.1 Menteng, Jakarta Pusat. Wow…! Tak terpikirkan pertemuan itu berlangsung di ibukota negara. Excellent.

Rapat kecil – kecil, tapi membahas hal yang luar biasa untuk kemajuan NTT. Tidak ada upaya kudeta. Walau beberapa gelas kopi menghangatkan pertemuan itu. Pikiran kami benar – benar tercurah untuk kemajuan NTT.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT, sebagai dasar pijakan kami berdiskusi. Soal kemiskinan yang menempatkan NTT di urutan tiga besar nasional. Sebaliknya, pendidikan kita bobrok di urutan ke-30 nasional. Ini kata BPS. Sungguh “mengganggu” pikiran kami. Belum lagi masalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang masih marak di wilayah paling terselatan, republik ini. Lalu hening. Bak ingin menegakkan benang basah nan kusut, sulit untuk menemukan solusinya. Tapi satu hal, kami tidak ingin menyalahkan siapa – siapa. Masalah ketertinggalan NTT, ini tanggung jawab kita bersama.

Fransiscus Go telah memulainya. Bukan baru sekarang. Tapi sudah belasan tahun dia berkiprah di kancah bisnis nasional, lalu mencurahkan perhatiannya untuk NTT tercinta. Dia mengawali diskusi dengan menawarkan penanganan TPPO. Konkretnya “BAJAGA”. Beta bingung, program apa ni? Lalu dijelaskan Om Heri yang domisili di Bali. Semacam “Pecalang” om Robert. “Satgas” ini memberi rasa aman dan nyaman bagi warga Bali. Hubungannya dengan masyarakat NTT, apa? sergah beta. Masih maraknya pengiriman tenaga kerja secara ilegal dari NTT ke luar NTT, itu yang mendasari kami membuat program “Bajaga”.

“Bagus,” ujar beta. Tapi, ayo dong membuat sesuatu yang lebih buat NTT. Naif bagi beta, bilang masih ngaku – ngaku orang Toraja. Sebab, sudah puluhan tahun di Kota Kupang. Sudah NTT banget. Pun, kulit hitam mangustan karena berdarah Sabu. Pendidikan menurut beta yang mesti dibenahi. Jika, kita mengharapkan NTT keluar dari masalah ketertinggalan. Bak gerbong kereta api, jelas ku sedikit menggurui, bila lokomotifnya tidak andal dan cakap, maka gerbong – gerbong seperti kemiskinan, ketertinggalan, terbelakang dan lain sebagainya, tidak bisa ikut tertarik.

See also  Mama-mama dan Semangat Menghidupkan Denyut Ekonomi Papua Usai PON

Alasanku menawarkan pendidikan sebagai leading sektor, jika Fransiscus Go benar – benar mau keluar dari “zona nyaman” menjadi pemimpin di Nusa Tenggara Timur, maka benahi pendidikan. Beta terinspirasi Kaisar Jepang, Hirohito. Ketika Hiroshima dan Nagasaki luluh lantah di bom – atom Sekutu, sang kaisar tak patah arang. Di depan rakyatnya yang tersisa, Hirohito menanyakan, berapa guru yang masih sisa? Dia begitu yakin, Jepang yang telah hancur, kelak akan berjaya lagi. Terbukti, dengan semangat yang tersisa, Pemerintah Jepang lalu membenahi pendidikan mereka. Kini, kiblat teknologi Jepang menjadi referensi masyarakat dunia.

Tidak berlebihan, jika sosok Fransiscus Go mau belajar dari sikap Kaisar Hirohito. Demi, kemajuan NTT tercinta. Sudah 65 tahun usia Provinsi NTT. Sebagai pimpinan sejumlah perusahaan, Fransiscus Go yang merupakan putra asli Timor Tengah Utara (TTU), telah berkontribusi bagi daerah ini. Bukan baru sekarang. Tapi sudah belasan tahun silam. Di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, dan kesehatan. Sikapnya yang tak ambisius, membuatnya tetap enjoy dan tak terbebani. Satu hal yang membuat kami tertegun dalam pertemuan itu, ketika CEO GMT Institute dan Direktur Yayasan Felix Maria Go itu mengungkapkan, tidak mestinya menjadi gubernur untuk berbuat bagi NTT tercinta. Go Do It For NTT, seperti itu siratan makna di balik pernyataannya. Ayo, dengan segala kapasitas dan talenta yang kita miliki, mari kita berikan yang terbaik bagi NTT. Sungguh mulia. Pernyataan yang elegant dan patut dicontoh, kata tokoh NTT, Esthon Foenay.

Kami lalu sepakat. Majukan NTT, pendidikan jadi leading sector. Ekonomi, kesejahteraan masyarakat, kesehatan dan TPPO menjadi program ikutan. Dengan wacana semacam ini, setidaknya Fransiscus Go telah membangun optimisme. Kalaupun alumini Universitas Gajah Mada ini berhasil benahi pendidikan NTT, maka dia telah menanamkan pondasi yang kuat dalam bidang pengembangan sumber daya manusia, yang kelak bisa berdaya saing di level mana pun. Hanya dengan begitu, stigma NTT miskin dan terbelakang, tergantikan dengan Nikmat Tiada Tara (NTT). “Saya bersama seluruh staf dan karyawan GMT Institute mengucapkan, selamat ulang tahun Provinsi NTT ke – 65. Sukses selalu,” pungkas Fransiscus Go. (Robert Kadang)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*