Oleh Romo Mudji Sutrisno SJ, Budayawan dan rohaniwan
Pada tahap peradaban Romawi, setelah peradaban Yunani, terdapat dua pusat kegiatan manusia, yaitu olahraga (cikal bakal olimpiade) pemujaan pada tanding otot, dan retorika sebagai cikal bakal orasi politik di polis-polis (baca kota-kota kecil). Pada saat itulah para kaisar mengatur hidup warga mereka dengan memenuhi kebutuhan pokoknya, yaitu roti (panis) dan ludus atau ludum: hiburan permainan-permainan.
Kerajaan akan tenteram, dan hidup bersama menjadi tenang kalau raja mampu memenuhi dua kebutuhan dasar manusia, yakni perut kenyang dengan roti. Dan? Berilah sport, olahraga, hiburan dalam ludum. Dari situ terbangunlah bahasa arsitektur stadion, amphiatrum untuk sirkus, lomba-lomba ketangkasan tubuh sekaligus tontonan sampai kesadisan Nero mempertandingkan manusia dengan binatang-binatang buas di Collosseum. Para budak dan para musuh raja dijadikan tontonan yang menggelorakan menu tanding badan serta unsur permainan untuk bersenang-senang dan meluapkan emosi kemenangan.
Di Yunani sendiri, daun palma dirangkai dan dilingkarkan di kepala para pemenang. Hal ini menjadikan olahraga sebagai bagian dari hiburan yang dinikmati dari eksistensi (keberadaan) manusia yang suka bermain-main, menang secara fisik dan jadi pusat hiburan tontonan di stadion, amphiteater.
Konon, awal abad 13, di Inggris, sepakbola dimulai dengan rebutan semacam bola yang disasarkan ke satu patok pal untuk memenangkan siapa yang paling dulu memasukkan bola ke pal atau titik yang disepakati untuk dijadikan sasaran! Dalam perkembangan kemudian, muncul gawang dan bola. Setelah aturan-aturan main dipercanggih, diresmikan menjadi sepak bola.
Namun demikian, apa yang paling inti dari permainan sepak bola secara kemanusiaan eksistensial? Mengapa di antara olah raga yang lain, perhatian menjadi paling besar ke sepak bola, apalagi setelah revolusi komunikasi visual dan teknologi televisi menyatukan lebih dekat umat manusia dalam siaran televisi dan digitalisasi virtualisasi realitas?
Homo ludens
Bola amat menyatu dengan pathos, gelora hati manusia untuk bermain-main. Bola yang sama tidak hanya membuatnya menjadi homo ludens (si manusia yang suka bermain main olahraga).
Kekhasan bola amat digemari banyak orang karena ia sekaligus membahasakan tidak hanya permainan ciri hakiki manusia, tetapi ia juga permainan yang metibatkan dirinya sebagal homo rationalis (manusia berbudi yang dengan kelihaian budi dan keterampilan olah budi cerdas menggiring bola), di mana sang pemain melakukan praksis kecerdasan untuk mengecoh lawan dengan kegesitan gerak kaki dan lari untuk memasukkan bola ke gawang.
Semua energi hermain dengan hati dan kombinasi budi cerdas diramu untuk sebuah pencapaian tujuan permainan, yaitu gol.
Orang Latin Romawi mengatakan In Finem Omnia (segala daya terampil gerak lari dan strategi cerdas budi dikerahkan berkeringat-keringat, diperjuangkan demi satu tujuan, yaitu gol sebagai buah final.
Olahraga bola memikat lebih lagi karena proses “goreng-menggoreng” bola untuk gol (in finem omnia) tidak dibuat sendirian seperti berenang, atau lomba lari individual. Sisi kemanusiaan sebagai kawan (baca – socius) mendapatkan tempatnya dalam sepak bola.
Manusia sebagai makhluk sosial terlukiskan nyata-nyata dalam sepak bola karena esensi bola adalah tim atau kesebelasan. Homo homini siocius (manusia adalah rekan bagi sesamanya) mendapatkan estetika indah permainannya justru kalau kekompakan, kerja sama antar kesebelas pemain itu menghasilkan gol lantaran taktik strategi bersama.
Anda pasti menikmati sekali corak kebersamaan indah ini dalam pola sepak bola Amerika Latin, seperti Brasil, Argentina dan lain-iain justru ketika regu dalam kekompakan kerjasama dan ramuan kecanggihan skill individu dan tim (regu) bersebelas menampilkan kekompakan menyerang, bertahan, melumpuhkan lawan, menyerang lagi dengan cerdas dan membawa bola ke gawang serta menjebloskannya dalam gawang.
Ujian identitas manusia
Dalam sepak bola, makhluk manusia individu diuji identitas diri individunya dan sekaligus sosialitas (sisi kebersamaan) tampil karena bersebelas. Manusia yang bermain-main (homo ludens) ini mengekspresikan watak aslinya sebagai gentlemen (fairness : ketulusan) atau kelicikan.
Dalam bola pula, watak-watak ego yang mau main sendiri, mau licik sendiri dan mau tampil sendiri akan diuji kala bertemu watak-watak asli pemain lain sebab sepakbola adalah kesebelasan yang tidak hanya tersusun dari individu pemain berkarakter, tetapi sekaligus butuh nafsu dan kehendak mau kerjasama; mau men-share-kan bersama rekan pemain.
Para psikolog dan pendidik, ketika mau mengetahui watak asi manusia mengambil “supervisinya” lewat sepakbola, lewat relaksasi seseorang ketika libur. Homo ludens (J. Huizinga menulis secara menarik mengenai hakikat manusia yang bermain dan mencari nikmat hidup dan nilai dalam permainan) dalam olahraga ternyata memuat bagian penting yang ada pada manusia di kehidupan ini, yaitu sebagai si pemberi makna hidup atau manusia sebagai homo significans.
Lihat saja para pemain bola yang menjadi idola karena gol-golnya yang membuatnya memenangi pertandingan dalam tim, mereka lalu menjadi pengukir kemenangan bermakna untuk timnya.
Bila sebelasannya mewakili klub swasta, maka mereka adalah pembawa nama harum klub. Bila regu sepakbola mewakili bangsa atau negara, maka mereka adalah pahlawan sang pembawa makna bagi bangsa.
Padahal, apa sesungguhnya kaitan logis antara bola yang dikejarkejar secara lucu dan jadi rebutan 22 orang dalam pertandingan yang dbatasi wasit aturan main untuk penalaran orang-orang yang tidak suka sepakbola?
Justru bingkai penanda makna di balik keanehan rebutan bola itulah yang menjadi daya tarik simbolik, representasional dan penanda-penanda si homo significans bola. Tanpa bingkai makna bermain-main ini, rasanya absurd buat menangkap arti bola.
Seketika sebuah permainan bola menyerap hitung-hitungan nasib dan ketidakpastian hasil karena hitungan matematis luput, hitungan kebenaran logis dan matematis meleset, maka detik itu pula bola menjadi ruang untuk bersentuhan dengan judi ketidakpastian serta spekulasi takdir manusia.
Padahal bentangan lapangan selama durasi 90 menit bersama dengan ruang yang dirayakan dalam tontonan sepenuh hati, sepenuh emosi tetaplah pada substansinya merupakan sebuah proses permainan yang hitung-hitungannya adalah dirayakan sebagai peristiwa hingga happening atau ditonton tafsir menurut kebebasan tafsiran budi atau hati Anda.
Kesimpulan jenaka Driyarkara
Karena itu, bagian tragis dan bagian bahagia sepakbola sebagai permainan manusiawi disimpulkan dengan jenaka sekali oleh Driyarkara dengan ungkapan “Dalam permainan, bermainlah dengan sungguh-sungguh, namun permainan jangan dipersungguh. Bermainilah dengan eros, hati, dengan agon namun jangan mau dipermainkan oleh eros dan agon. Bermainlah untu Bahagia, tetapi jangan mempermainkan Bahagia.
Kejenakaan dibutuhkan dalam keseriusan permainan agar kesadaran bola tetap “hanyalah” hiburan permainanmampu membuat hidup kita lebih manusiawi, lebih sehat.
Namun, bagaimana kalau kita sukanya bermain-mein terus tanpa tanggung jaweb menuju tujuan “gol’, terutama tidak hanya di rumput hijau, tetapi juga di lapangan politik? Kembali kita diingatkan Driyarkara: “Barangsiapa mempermainkan permainan, akan menjadi permainan.” **
Leave a Reply