Homo Ludens dan Nilai Suara Rakyat dalam Kasus Mundurnya Ratu Talu

Oleh Emanuel Dapa Loka, Wartawan dan penulis biografi

Istilah Homo Ludens cetusan filsuf Belanda Johan Huizin mengandung arti “manusia sebagai makhluk yang suka bermain”. Tentu saja, manusia bisa terlibat dalam berbagai permainan karena ia memiliki IQ atau kecerdasan dan rasa. Berbeda dengan makhluk lain seperti binatang seperti monyet atau burung, memang bisa bermain, tetapi sangat terbatas dan tanpa daya refleksi untuk menghayati permainannya.

Sebagai makhluk bermain, manusialah yang mengatur ritme permainan dengan melibatkan integritas, etika, moral dan nilai estetis; mau bermain mengikuti aturan main atau mau bermain dengan gaya kuda kayu. Dan kalau tidak awas, bisa jadi manusia yang bersangkutan dengan kecerdasan dan kecerdikan yang kerap beda tipis dengan kelicikan, bisa mempermainkan permainan dan teman atau lawan bermain.

Politik adalah salah satu arena bermain manusia. Apalagi definisi politik menurut Otto von Bismarck, “Politics is the art of the posible” atau seni kemungkinan.

Mesti dikatakan sejak awal, politik sebagai “seni dari kemungkinan” merupakan ungkapan positif. Istilah ini menunjukkan kecerdasan, akal sehat, dan kemampuan untuk bekerja dalam sistem secara terukur. Sekali lagi, itu ungkapan positifnya, sebab banyak sisi negatif politik, terutama jika sudah masuk pada tataran praksis, kasar dan banal.

Dan menariknya, jika bisa mencapai sebuah keberhasilan walau dengan cara-cara curang, licik dan sejenisnya, hal ini bisa mendatangkan tepuk tangan, yang lalu hanya membuat masyarakat terperangah. Yang bersangkutan pun menepuk dada sambil menunjuk dirinya sebagai manusia politik yang lincah bermain di gelombang permainan. Baginya, sama sekali tidak masuk dalam hitungannya, pihak lain yang mengalami kerugian akibat “kelincahannya” itu.

Permainan Mundur

Sejenak kita menarik ikhwal Homo Ludens tersebut dalam konteks permainan mundurnya Ratu Wulla dari pencalegan yang telah memasuki masa-masa akhir untuk menuju ke tahap  penetapan.

See also  MK ”Batalkan” Jakarta jadi Metropolutan Demokrasi

Ratu Wulla meraup 76. 331 suara pemilih di Dapil 2 NTT dan berhasil mengalahkan rekan separtainya di Dapil yang sama, yakni mantan Gubernur NTT Victor Laiskodat yang meraih 65,359 suara, tertinggal hampir 11 ribu suara di bawah Ratu.

Tapi apa yang terjadi kemudian? Ratu Wulla mengundurkan diri dan membentangkan karpet merah untuk Victor ke Senayan. Sementara itu, Ratu, seperti pengakuannya sendiri masih “menunggu penugasan lain dari partai.”

Di sini dengan haknya sendiri, partai berselancar (bermain) memenuhi seleranya sendiri sambil melupakan nilai teramat berharga di balik tusukan paku atau suara yang rakyat berikan. Sebelum Pemilu, dengan berbagai cara, Caleg datang memohon suara rakyat, tapi setelah Pemilu, suara itu dicampakkan oleh partai yang asyik dengan dirinya sendiri sambil bersilat lidah dengan berbagai dalih. Inikah etika? “Etika ndasmu!!” kata Romo Magnis suatu ketika.

Sebagai “seni kemungkinan”, termasuk dalam dalam contoh di atas, politik masih menawarkan berbagai kemungkinan.

Sejumlah analisis dan dugaan yang berserakan masih bersifat kemungkinan, sementara itu kursi yang Ratu Wulla perjuangkan sampai berdarah-darah sudah melayang.

Sementara itu, apa daya para pemilik suara. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, hanya pasrah walau ngomel-ngomel. Maksimal, rakyat—pemilik suara itu—hanya bisa mengatakan: sampai jumpa pada medan pemilihan berikut.

Kalau ingatan mereka tidak pendek dan tidak kabur air oleh berbagai sebab, itulah saatnya rakyat menunjukkan kekuasaan mutlaknya. Tidak memberi suara lagi kepada manusia-manusia yang telah mempermainkan suara mereka.

 

 

 

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*