Berita duka datang lagi. Kali ini berita duka atas berpulangnya Uskup Emeritus Keuskupan Maumere Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira SVD pada Selasa, 08 Oktober 2024, pukul 16.45 Wita di RSUD TC. Hillers, Maumare.
Pater Wilhelmus Ngongo Papa, CSsR yang mendapat tahbisan imam dari Uskup Pertama Keuskupan Weetebula tersebut cepat-cepat memutar film kenangan bersama Uskup Kheru, demikian mendiang biasa disapa.
Pater Willy berkisah tentang peristiwa tahbisan Uskup Mgr Kheru yang sangat Istimewa bagi Masyarakat Sumba, tentu saja termasuk Willy yang ketika itu (25 April 1986) masih duduk di bangku SMA Ktolik Anda Luri Waingapu dan tinggal di Asrama Pewarta Injil (API) Padadita.
Kata Willy, berita bahwa Keuskupan Weetebula akan mendapatkan uskup baru, yakni Pater Gerulfus Kherubim Pareira SVD dan akan ditahbiskan pada 25 April 1986, telah menjadi berita gembira dan Istimewa untuk tanah Sumba-Keuskupan Weetebula.
Para siswa API, termasuk Willy kemudian berangkat ke Weetebula (jarak sekitar 170 km) menggunakan truk andalan API, yakni ”Mercedes” dengan bak kayu berwarna merah untuk mengikuti tahbisan. ”Suasana riuh rendah kamar makan Api Pada Dita tidak tertahankan. Tentu kami semua gembira. Kami berangkat dengan kendaraan kebanggaan Pada Dita, yakni Mercedes yang berbak kayu. Tidak ada yang lebih hebat dari itu,” kata Willy membanggakan kendaraan andalan API itu.
Di Weetebula, Willy dan kawan-kawan bermalam di SDK Kererobbo, sekitar Kota Weetebula. Ada yang tidur di atas meja. Yang lain tidur di lantai dengan beralas tikar. ”Tidak ada masalah sama sekali. Yang penting kami dapat ikut peristiwa maha penting untuk gereja dan pulau Sumba. Yang kami tahu adalah bahwa esok kami akan punya uskup tertahbis pertama. Dia sudah dirindukan selama 16 tahun lebih, namanya Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira, SVD,” kata Willy mengenang.
Kenangan Pater Willy
Berikut kenangan imam yang sekarang melayani di Paroki Santo Aloysius Gonzaga, Jakarta Timur ini.
Sebelum pentahbisan, rombongan umat dari setiap paroki melakukan festival “Kedde” mulai dari Paroki Melolo di ujung timur Sumba hingga Paroki Wai Paddi di ujung barat Sumba.
Siapa pun yang mengenal Sumba dan budayanya, pasti tahu apa arti festival Kedde bagi masyarakat Sumba. Ia juga pasti memahami bahwa tahbisan uskup pertama di Sumba harus dirayakan dengan pesta yang mengesankan. Perayaan pesta yang demikian belum pernah Sumba alami sebelumnya.
Menurut Pater Stutzer, ukuran ramainya pesta dapat ditunjukkan dalam angka: sekitar 6.000 orang yang ikut serta dalam festival ini. Tapi bukan ukuran angka yang menentukan di festival ini. Sebaliknya ini tentang kekuatan supranatural dari perayaan tersebut. Orang benar-benar merasakan kekuatan itu.
Pada tanggal 24 April, penjemputan calon Uskup berlangsung secara meriah. Rombongan berkuda dan motor berarak dari Bandara Tambolaka. Itu suasana yang hebat sekali untuk kota kecil Weetebula. Perwakilan sukunya telah menemani uskup baru ke Sumba untuk menyerahkannya ke Gereja Sumba.
Secara mengesankan upacara Selamat Datang ini dilakukan menurut tradisi Sumba. Ada Oka. Ritual Oka ini biasanya diadakan jika ada orang asing yang datang ke sebuah kampung. Seorang tua adat bertanya ”Siapa dia dan untuk apa dia datang.” Perwakilan kampung atau tua adat bertanya mengapa dia harus diterima. Ini untuk menunjukkan kepada orang asing itu bahwa tuan kampung hanya menerima orang dengan niat damai.
Upacara tersebut saat itu disiarkan melalui pengeras suara (TOA) untuk semua penonton. Dari situ, masyarakat pun mengetahui secara jelas bahwa pria dari Sikka ini telah diutus oleh Paus untuk memimpin Gereja Sumba dan Sumbawa dalam kesetiaan kepada Yesus Kristus dan Injilnya.
Pada tanggal 25 April 1986 Perayaan tahbisan dilaksanakan di Lapangan SPG St. Alfonsus Weetebula. Sebuah perayaan yang meriah. Melihat perarakan 7 uskup dan hampir 80 imam yang menghadiri misa, kami yang baru lihat hal seperti itu hanya bisa ”Manganga”, kagum dan sangat bersukacita.
Ini festival yang luar biasa. Ya, tahbisan uskup yang pertama. Kala itu, orang memberikan segala demi kesuksesan pesta. Pemberian diri ini bukan untuk cari nama tetapi sebagai tanda kegembiraan. Sejak itu Sumba memiliki Uskup. Konsekrasi itu sendiri berlangsung sesuai dengan ritus yang ditentukan oleh gereja. Tapi warna dan corak perayaan adalah Sumba.
Para penari mengiringi para uskup dan imam ke altar pada Misa Tahbisan yang dipimpin oleh Kardinal Yulius Darmaatmaja SJ. Agung sekali. Itu saja kata yang dapat saya katakan sebagai anak kelas I SMA.
Lambang uskup baru, tongkat, cincin, mitra, gantungannya dirancang sesuai dengan bentuk dan motif lokal. Nyanyian dalam ekarisiti, sebagian dalam bahasa Indonesia dan sebagian dalam bahasa daerah, Semuanya ditanggung oleh seluruh umat. Ketika 22 imam kemudian membagikan tubuh Kristus kepada umat beriman, dirasakan langsung bahwa ini adalah pesta yang penuh dengan kekuatan supranatural.
“Ut Omnes Unum Sint” Ini adalah motto dari lambang Uskup Kherubim. Setelah misa dilangsungkan resepsi. Para tamu yang datang dari pulau lain atau dari luar negeri terkesan dengan keragaman dan ekspresi tarian Sumba yang ditampilkan oleh penduduknya. Penahbisan uskup tersebut merupakan sebuah tonggak bersejarah dan penting dalam Sejarah Gereja Sumba.
Saat itu Uskup berkata: “Sekarang Gereja sudah dewasa” dan “Ini adalah titik awal kehidupan komunitas baru”. Tanggung jawab Gereja di Sumba sekarang kata Uskup, berada di tangan orang Indonesia. ”Para Redemptoris Jerman telah bertanggung jawab atas gereja ini selama hampir tiga puluh tahun. Waktunya telah tiba, Gereja di Sumba mengambil langkah besar ke depan. Dan ini justru berkat misinya,” kata Uskup baru.
Usai tahbisan, pada pukul 22.00 kami berangkat dari Weetebula kembali ke Waingapu. Kami kelelahan. Banyak dari kami yang tertidur di dalam bak truk sejak dari Lewa. Nyenyak! Itu kata yang penting. Kami tiba kembali di Kawah Candradimuka” API Pada Dita pada pukul 4 pagi. Meskipun lelah kami bangga sudah punya uskup.
Terkesan Bersama Uskup
Ada beberapa peristiwa kecil yang saya ingat bersama Uskup Kherubim. Waktu menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP), saya adalah salah satu dari para frater TOP yang SK penempatannya tidak dikeluarkan oleh keuskupan. Waktu sidang tahunan paroki dan komisi, nama para frater TOP diumumkan dan diperkenalkan. Saya lolos dari perkenalan beliau.
“Masih ada satu orang lagi, Bapa Uskup,” kata Rm. Selvi. Lalu saya diminta untuk perkenalkan diri. Waktu minum, saya menjabat tangan beliau. “Willy, maaf saya tidak tahu bahwa kamu salah satu frater TOP. Kamu ditempatkan oleh Vice Provinsial, jadi saya pikir tidak ada lagi. Tapi saya tidak akan lupa lagi kamu punya nama,” katanya.
Benar! 12 tahun kemudian beliau menahbiskan saya di paroki asal saya Homba Karipit. “Saya masih ingat kamu waktu TOP,” ujarnya mengenang peristiwa itu.
Terima kasih, Bapa Uskup untuk 22 tahun yang luar biasa menjadi gembala tanah Sabana Sumba. Kami selalu mengenangmu sebagai Gembala “Pemberani” dalam banyak hal. Tidak selalu mudah, tapi dirimu telah berhasil melanjutkan karya misi dan merintis beberapa upaya untuk membuat kami bersatu dan melayani. Ya… “Ut Omnes Unum Sint”
Selamat jalan, Bapa Uskup. Bersatulah dengan Sang Sabda Ilahi.
Leave a Reply