Dr. Antonius Benny Susetyo, Staf Khusus BPIP
Prinsip utama demokrasi, dalam pandangan Aristoteles adalah kebebasan. Menurutnya, hanya melalui kebebasan setiap warga negara dapat saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya sendiri. Prinsip ini juga diterima luas oleh tokoh-tokoh besar dalam sejarah, termasuk oleh Bung Hatta, salah satu Bapak Pendiri bangsa Indonesia.
Dalam bukunya ”Demokrasi Kita” (1966), Hatta mengungkapkan bahwa demokrasi bisa ”tertindas sementara” karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsyafan.
Peringatan Bung Hatta ini harusnya menjadi refleksi kita bersama tentang proses demokrasi kita yang akhir-akhir ini cenderung bersifat transaksional. Demokrasi tanpa etika dan moralitas adalah demokrasi di mana dominasi kekuasaan dan kapital menentukan perilaku para pemilih.
Prinsip demokrasi adalah kesetaraan di mana masyarakat memiliki kesetaraan bukan karena relasi kekuasaan yang timpang. Namun, demokrasi sering kali dimaknai hanya sebagai alat untuk merebut kekuasaan. Ketika demokrasi dimaknai demikian, relasi demokrasi tidaklah setara, dan rakyat sebenarnya tidak menunjukkan kebebasannya.
Bayang-bayang Demokrasi Sejati
Demokrasi dan kebebasan ini sering kali dikendalikan oleh kekuatan yang maha dahsyat, yaitu uang. Ketika uang menentukan demokrasi, maka demokrasi itu sebenarnya hanyalah bayang-bayang dari demokrasi sejati.
Demokrasi yang dikendalikan oleh uang menunjukkan kapitalisme dapat merusak esensi demokrasi itu sendiri. Ketika kekuasaan politik ditentukan oleh kekuatan finansial, maka prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti kesetaraan dan kebebasan menjadi sirna. Demokrasi yang sejati harus mengutamakan kedaulatan rakyat di atas kedaulatan uang dan kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia, Bung Hatta mengingatkan bahwa ketika demokrasi menyimpang dari kaidah-kaidah prinsip dasar demokrasi, maka kita harus mengembalikan demokrasi kepada esensinya, yaitu demokrasi Pancasila.
Dalam demokrasi yang transaksional, kekuatan kapital memiliki kedaulatan yang luar biasa, mengendalikan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, prinsip-prinsip demokrasi yang mengutamakan kesetaraan dan mengutamakan kedaulatan rakyat harus dikembalikan. Demokrasi bukanlah mekanisme di mana kekuasaan dan keuangan menentukan siapa yang akan terpilih. Demokrasi yang sejati adalah proses untuk memastikan bahwa kedaulatan rakyatlah yang menentukan pilihan.
Saat ini, menjelang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota serentak, penting untuk mengembalikan kedaulatan rakyat untuk mengalahkan kedaulatan uang yang berkuasa. Ketika uang menentukan demokrasi, maka demokrasi akan kehilangan substansinya.
Demokrasi adalah proses untuk menjadi, dan dalam proses menjadi ini, demokrasi sering kali terseok-seok dan terjerumus dalam pragmatisme. Ketika demokrasi terjerumus dalam pragmatisme, maka kita perlu kesadaran untuk mengembalikan demokrasi yang sejati.
Demokrasi yang sejati harus mengembalikan cita-cita para pendiri bangsa: bahwa demokrasi Pancasila harus lebih menggunakan moralitas dan etika dalam karyanya.
Etika adalah kepatuhan kepada nilai-nilai yang diajarkan oleh Pancasila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai-nilai ini harus menjadi pedoman yang memengaruhi cara berpikir, bertindak, bernalar, dan berkehendak, baik bagi para pemegang kekuasaan maupun rakyat.
Utamakan Kedaulatan Rakyat
Demokrasi yang sejati mengutamakan kedaulatan rakyat, bukan kekuasaan atau uang. Dalam sistem demokrasi yang sehat, suara rakyatlah yang paling penting. Kedaulatan rakyat harus menjadi pilar utama dalam setiap proses demokrasi. Mengembalikan kedaulatan rakyat berarti mengembalikan demokrasi kepada esensi aslinya.
Ini berarti, harus ada upaya menciptakan sistem di mana rakyat dapat berpartisipasi secara aktif dan bebas tanpa adanya tekanan dari kekuatan finansial atau politik yang korup. Ini juga berarti menciptakan lingkungan di mana setiap suara dihargai dan setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Demokrasi yang transaksional, di mana uang dan kekuasaan mendominasi, adalah ancaman terbesar bagi demokrasi sejati. Dalam demokrasi transaksional, proses pemilihan bukan lagi tentang memilih yang terbaik untuk kepentingan rakyat, tetapi tentang siapa yang memiliki sumber daya paling banyak untuk membeli suara.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa demokrasi sejati bukan tentang siapa yang paling banyak uang atau paling kuat, tetapi tentang siapa yang dapat melayani kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya. Demokrasi sejati adalah tentang kesetaraan, keadilan, dan partisipasi aktif dari seluruh warga negara.
Mengembalikan demokrasi kepada esensinya memerlukan kesadaran kolektif dari seluruh masyarakat. Ini berarti mengedukasi masyarakat tentang pentingnya partisipasi politik yang sehat dan etis. Ini juga berarti menolak segala bentuk politik uang dan korupsi yang merusak proses demokrasi.*
Leave a Reply