Oleh Emanuel Dapa Loka
Sekitarku kini disesaki keseolah-olahan
Ya, seolah-olah
Seolah-olah santun
Seolah-olah saleh
Seolah-olah murah hati
Seolah-olah beriman
Seolah-olah peduli
Benar! Hanya seolah-olah
“Seolah-olah” atau “seakan-akan” telah menjadi fenomena yang kian biasa dalam panggung kehidupan. Ia telah bergerak melintasi macam-macam batas dan menghinggapi siapa pun.
Tidak ambil pusing apakah itu pastor, pendeta, guru, presiden, mantan presiden, calon gubernur, wartawan, guru, siswa, mahasiswa atau siapa pun. Di sini orang yang lihai menata kata-kata secara meyakinkan yang berhasil menipu, dan yang ditipu pun menikmati penipuan.
Kini, kejujuran dan ketulusan seperti istilah Buya Hamka telah menjadi “anak yatim piatu”. Bayangkan, orang “mengatakan apa, tapi melakukan apa atau sebaliknya “melakukan apa, namun mengatakan apa”. Ini jelas inkonsistensi, pembohongan atau penipuan, tidak hanya kepada orang lain, tapi juga kepada diri sendiri. Mengenaskannya, orang merasa sangat bangga ketika berhasil menipu!
Hebatnya, yang diperlihatkan atau dipakai sebagai alasan pembenar atas tindakannya adalah hal-hal supranatural, suci nan ilahi. Ketika semua itu dipadu dengan kemampuan acting atau improvisasi yang aduhai, banyak orang telah terbius dan ikut dengannya—dan merasa seolah-olah telah dan sedang ikut di jalan perjuangan yang benar nan suci. Padahal sejujurnya, yang bersangkutan memiliki agenda tertentu untuk dirinya sendiri dengan aksi tersebut dan orang lain dipakai untuk kepentingannya itu.
Orang atau pemain seperti ini paham betul dengan kondisi perasaan, daya kritis, tingkat psikologi orang-orang yang menjadi sasaran atau yang diperalatnya. Lihatlah saat manusia-manusia itu berdiri di hadapan massa atau di depan layar televisi, mereka tak ubahnya pejuang yang sedang mempertaruhkan segalanya, bahkan nyawa untuk kesejahteraan banyak orang dan keselamatan di dunia dan akhirat. Seakan-akan surga telah mereka kavling hanya untuk orang-orang yang bersama mereka.
Orang semacam itu tulus? Ketulusan adalah perilaku tanpa kepura-puraan dan kesan yang palsu. Pemimpin yang berintegritas bertindak sesuai dengan perkataannya. Satu perbuatan nyata yang mencerminkan integritas akan meninggalkan kesan. Karenanya, seorang pemimpin haruslah konsisten jika ia ingin berhasil memenangkan hati. Secuil pelanggaran saja terhadap integritas, akan melekatkan cacat permanen.
Mempertahankan mental seolah-olah adalah sandiwara, dan sandiwara bukanlah kenyataan kehidupan itu sendiri. Waktu berjalan dengan cepat, dan dalam perputaran yang cepat itu pemimpin seyogyanya mengendalikan gerbong dengan cara yang benar, terampil dengan daya yang benar dan terukur.
Seorang pemimpin seyogyanya adalah orang yang sudah tercerahi atau berdaya terlebih dahulu. Dia mengemban tugas mulia menyiangi dan menuntun orang-orang di sekitarnya atau orang-orang yang dia pimpin atau akan dia pimpin.
Saya yakin, sebenarnya, tatkala mereka bertindak seolah-olah, nurani mereka pun berontak. Hanyalah, mereka menutup rapat telinga hati untuk mendengarkan bisikan yang jernih itu. Kata Ebiet G. Ade mumpung masih ada kesempatan buat kita, mengumpulkan bekal perjalanan abadi. Siumanlah!
Mari kembali menyendengkan telinga untuk mendengarkan nurani, menautkan rasa dan menyelaraskan ilmu bagi kehidupan bersama. Jika perilaku seolah-olah itu yang terus dipertontonkan, kita telah melakukan kejahatan tingkat tinggi. Di saat itu setan akan bergumam, “Saya kira, sayalah yang paling jahat, ternyata masih ada yang jauh lebih jahat.”
Tetapi melihat aksi seolah-olah yang berbalut keindahan nan ilahi, malaikat bisa minder di pojok sambil menangis dan mengutuk atau mau bunuh diri sambil berkata, “Saya kira, sayalah yang paling suci, ternyata masih ada yang lebih suci”. (Dari buku “Takdir Manusia Bekerja Bukan Korupsi” oleh Emanuel Dapa Loka)
Leave a Reply