Oleh Dens Saputra, Kepala Program Studi Ilmu Pemerintahan STPM Santa Ursula Ende, Flores, Lulusan S2 Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta
Ketika Raja Jhon menempelkan stempelnya ke Articles of The Barons pada tahun 1215, munculah satu piagam yang kemudian cukup terkenal, yaitu Magna Carta. Piagam ini adalah implementasi dari konsep demokrasi.
Tuntutan rakyat Inggris saat itu diiringi berbagai pemberontakan, akhirnya mendesak Raja Jhon untuk mengembalikan hak-hak sipil kepada rakyatnya dalam 63 aturan piagam Magna Carta.
Kisah ini memberikan gambaran betapa kuatnya tuntutan hidup demokratis, sehingga dapat memaksa lingkaran “darah biru” agar menerima gagasan baru.
Zaman terus bergerak dan raja perlahan tidak lagi menjadi tonggak kekuasaan tertinggi.
Pada akhirnya monarki absolut harus bisa beradaptasi dengan gagasan-gagasan sistem pemerintahan baru. Tujuan adaptasi itu salah satunya untuk menjaga eksistensi monarki absolut tetap berkiprah di tengah kondisi masyarakat yang telah berubah.
Eksistensi negara hari ini tidak terlepas dari sistem kerajaan yang ada sebelumnya. Bentuk sistem kerajaan adalah komunitas pra-modern, di mana manusia bertumbuh dan berkembang dengan gaya monarki absolut. Metode ini dimainkan oleh satu orang atau sekelompok orang dalam lingkaran “darah biru”.
Sejarah membuktikan bahwa status raja bisa didapatkan dengan berbagai cara. Bisa karena memenangkan peperangan, pengakuan rakyat, atau lebih dahulu mendiami sebuah tempat.
Apa pun asal-usul seorang raja, sistem monarki absolut memegang peranan selama berabad – abad. Bahkan kalau menyelisik sejarah, kontribusi sistem monarki berdampak besar pada perubahan zaman. Misalnya perang dunia pertama tahun 1914, ketika terbunuhnya Archduke Franz Ferdinand yang merupakan pewaris tahta kerajaan Austria-Hongaria.
Peristiwa ini mengakibatkan perang selama 5 tahun dan memakan banyak korban jiwa. Tragedi ini juga memberikan dampak besar di berbagai negara dan mengubah rute perjalanan dunia.
Andil Besar Era Kerajaan
Bangsa kita juga mengalami hal yang sama ketika era kerajaan masih memiliki andil besar dalam menyatukan bangsa-bangsa nusantara. Itu terjadi ketika berbagai kerajaan berperang mencari pengaruh untuk menunjukan kekuatan dan kekuasaan. Era ini tidak bisa sekadar dibaca sebagai cerita dongeng, melainkan era kerajaan yang bisa disebut sebagai peletak dasar munculnya bangsa Indonesia.
Warisan-warisan monarki itu bahkan sampai sekarang masih dipegang teguh oleh masyakat kita. Misalkan saja, ramalan pemimpin Indonesia oleh Jayabaya yang heboh ketika kontestasi Pilpres. Terkesan sepele, tetapi diskusi sosiologis yang tumbuh di tengah masyarakat tidak terlepas dari hal-hal berbau kerajaan.
Artinya, sistem dan cara berpikir monarki masih tetap ada dan hidup dalam berbagai diskursus di tingkat elite sampai masyarakat pedesaan.
Mumpung Pemilu Umbu
Event pemilu yang bangsa ini pakai sebagai bentuk nyata dari demokrasi adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri oleh setiap warga negara.
Demokrasi tidak hanya dinikmati oleh lingkaran penguasa dan pemilik tanah, tetapi bagai matahari, demokrasi memberi kesempatan kepada semua orang tanpa perlu bertanya-tanya latar belakang.
Demokrasi juga datang tidak hanya di kota-kota besar, tetapi bertumbuh bagai rerumputan di desa-desa bahkan di wilayah terpencil sekalipun.
Seperti halnya di tempat lain, demokrasi juga berkembang di tanah Marapu. Bertumbuh seperti sabana dan memikat bagaikan ribuan bukit. Demokrasi bagaikan tamu di rumah umbu dan rambu, membawa cerita tentang Magna Carta yang layak diperjuangkan.
Begitulah demokrasi, datang tanpa pandang perbedaan dengan harapan setiap kita mendapat kesempatan dan hak yang sama.
Penerapan Otonomi Daerah tidak langsung meningkatkan animo perebutan kekuasaan sampai pada level daerah. Pemimpin lokal perlahan lahir dari sistem ini, meskipun tedapat banyak keterbatasan pemahaman otonomi daerah dalam praktek pemerintahan sehari-hari.
Muhammad Aqil menyebutkan bahwa demokrasi langsung merupakan konsekuensi dari desentralisasi dan otonomi daerah yang bertujuan mendekatkan pemimpin daerah dengan masyarakat (2016, hal 71).
Pertempuran dalam arena sistem desentralisasi memungkinkan berbagai pihak bisa memanfaatkan potensi lokal. Tidak hanya soal rupiah, melainkan pengaruh sosial dan strata bisa menjadi aktor utama generasi Tanah Marapu Sumba dalam berkompetisi.
Bukan Karena Kompetensi
Ketika era kolonial, menurut Hoskins (dalam Argo, 2022, hal.9) saat komunikasi dan sengitnya kompetisi di antara penguasa lokal, pemerintah kolonial mencoba memasukkan bangsawan ke dalam hierarki pemerintahan, dan strategi ini mampu membuat masyarakat patuh.
Bangsawan-bangsawan ditunjuk bukan karena kompetensi, melainkan otoritas mereka di dalam komunitas lokal mereka masing-masing. Kita patut curiga, jangan sampai tradisi kolonial digunakan sampai saat ini.
Pemimpin lokal kita tidak berasal dari kompetensi, melainkan hanya datang dari otoritas monarki, meskipun mekanismenya digambarkan sangat demokratis.
Idealnya pemilu, baik itu legislatif maupun eksekutif yang terjadi di Sumba bisa diperebutkan siapa saja sebagai jatah warga negara. Tetapi praktiknya, kesempatan itu sering dinikmati oleh kalangan bangsawan.
Kekuatan mereka tidak main-main, apalagi sebagai anak tanah dengan legitimasi kuat di tengah masyarakat membuat golongan kerajaan memiliki kesempatan luas dibandingkan masyarakat dengan starata yang rendah.
Salah satu alasan terselenggaranya Pemilu adalah mencari pemimpin yang paham secara sosiologis, ekonomi , dan budaya masyakatnya. Sehingga penguasa tanah diasumsikan mampu memimpin masyarakatnya karena memilki pengalaman turun-temurun.
Tetapi ini sebenarnya metode yang sama karena hanya memindahkan alur berpikir monarki menuju arena pertarungan modern dalam bentuk demokrasi elektoral.
Pemenang Pemilu telah diketahui bahkan sebelum bel pertandingan dibunyikan. Warga non-elite hanyalah “tumbal” demokrasi lokal untuk melengkapi sistem Pemilu agar kelihatan demokratis.
Hampir setiap pemimpin di Tana Marapu berasal dari keluarga karpet merah yang nota bene sudah memiliki basis massa yang kuat dan fanatik. Sehingga pada praktiknya, kesempatan desentralisasi ini dianggap sebagai peluang emas untuk mempertahankan ego stratifikasi sosial dan eksisitensi darah biru di era 4.0.
Etnis Kompensasi dari Demokrasi
Akibat demokrasi dan desentralisasi yang tanpa filter masuk di daerah-daerah, akhirnya berdampak pada sentimen sosiologis.
Akumulasi dari sentimen sosial itu berpengaruh pada roda pemerintahan yang tidak lagi bersemangat Good Governance.
Sentimen etnis menjadi kompensasi sesat dari kurangnya filter masyarakat terhadap Pemilu lokal yang serampangan. Warga tidak dididik lebih cerdas dalam memaknai demokrasi melainkan digiring lebih pragmatis dengan berbagai praktik suap di level akar rumput.
Praktik korup ketika Pemilu yang muncul di lingkaran masyarakat tentunya berasal dari sistem korup akut di level elite lokal.
Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui situs kpk.go.id mencatat sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tidak kurang dari 22 Gubernur dan 148 Bupati/Walikota telah ditindak oleh KPK (antikorupsi.org.id).
Ini menandakan bahwa Pemilu untuk mencari putra dan putri daerah terbaik hanyalah jalan tol untuk mencuri uang rakyat.
Seharusnya kita belajar bersama tidak untuk Umbu dan Rambu, tetapi seluruh eksisitensi warga negara yang hidup di pulau sandelwood itu.
Kita tidak perlu lagi menengok masalah lalu, di mana kegagalan Pemilu lokal terletak pada minimnya pemahaman demokratisasi dengan praktik intimidasi.
Kekuatan etnis menjadi salah satu poin dari macetnya roda pemerintahan. Para elite Tana Marapu tahu bahwa kekuatan etnis bisa menjadi motor dalam susksesi Pemilu. Tetapi di sisi lain memiliki konsekuensi logis dalam praktik pemerintahan. Keduanya tidak terpisahkan dalam konteks demokrasi elektoral kita hari ini.
Di Sumba sendiri terdapat berbagai etnis yang telah hidup berdampingan. Esensi dari pemilu lokal sendiri adalah melahirkan pemimpin yang datang dari lokalitas masayarakat setempat. Tetapi praktiknya menghasilkan oligarki elite yang berasal dari jaringan darah biru dan golongan karpet merah.
Tentu saja demokrasi lokal yang kita harapkan merata kepada semua pihak ternyata hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu. Demokrasi kita memang mahal, hal itulah yang membuat demokrasi hanya mampu dibeli oleh orang-orang berkarpet merah.
Bahaya dari mekanisme demokrasi kaca mata kuda ini akhirnya menghasilkan, apa yang disebut Hadiz (dalam Muhammad Irham, 2016) sebagai jaringan patron predator. Konsep ini memberikan penjelasan bahwa implementasi peyelenggaraan pemerintahan akan bergaya Bad Governance karena hubungan demokrasi dan lokalisasi kekuasaan trah biru sangat kental.
Ujungnya, kita akan tahu proses-proses mutasi dan bahkan promosi dalam jajaran pemerintahan tidak dilakukan transparan dan akuntabel. Tetapi didasarkan pada proses birokrasi yang sangat prismatik.
Mekanisme Pemilu yang berasal dari strata sosial perlu untuk dikritisi agar oligarki tidak hidup dan merusak kerukunan. Ketakutan kita adalah elite lokal hanya menggunakan masyarakat sebagai ladang suara yang siap dipanen ketika Pemilu bergulir.
Setelah itu kekuasaan diatur oleh beberapa oligarki dan hanya menguntungkan sebagian pihak. Bahkan pemberdayaan berbasis masyarakat tidak dapat berjalan karena aliran rupiah hanya singgah di teras elite. Setelah itu akan dibagi kepada pihak-pihak yang telah berafiliasi dengan bersepakat memenuhi kantong-kantong pribadi.
Pemilu dan Kesempatan Bagi Ata
Bagi masyarakat Sumba, ikatan Maramba dan Ata tidak bisa dipisahkan meskipun zaman mencoba mengubah hal itu. Argo Twikromo menyebutkan bahwa Ikatan Ata-Maramba telah tertanam kuat secara ideologis dalam tradisi lisan, sejarah lisan, afilisasi perkawinan, kewajiban timbal balik, dan norma-norma sosial untuk menjaga penerusan relasi-relasi tersebut (2022, hal 194).
Artinya, ikatan itu dibangun tidak hanya secara fisik, melainkan juga secara ideologis dan tertanam dalam berbagai tradisi sosial dan budaya orang Sumba. Sehingga peran-peran sosial bisa berbeda antara Ata dan Maramba. Kesempatan tentu lebih berpihak kepada kalangan Maramba karena status dan kedudukan mereka. Perbedaan peran ini telah ada dan digariskan secara turun-temurun dari setiap generasi.
Prinsipnya, demokrasi diberikan kepada berbagai pihak tanpa ada diskriminasi. Persoalannya terletak pada kemampuan akses dari masing-masing masyarakat yang berbeda tergantung kepada status sosial, pendidikan, jejaring sosial, dan sebagainya. Akses inilah yang berpengaruh pada penerapan demokrasi substansial di tengah masyakat local, karena memang tidak semua bisa mengakses dengan baik dan tercukupi. Tetapi ketika tahun 1973, kebijakan Pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan dasar bagi anak usia sekolah diterbitkan, banyak anak-anak ata mulai mengeyam sekolah dasar.
Kesempatan sekolah ini didorong oleh pemimpin-pemimpin klan yang mendukung kebijakan pemerintah dengan menyekolahkan anak dari para ata (Argo, 2022 hal 177).
Ketika pemerintahan Orde Baru membuka kran kesetetaraan pendidikan, secara tidak sengaja “logika perlawanan” perlahan timbul dari para anak ata. Tidak salah karena esensi dari pendidikan itu adalah membebaskan. Membebaskan dalam berbagai hal termasuk akses untuk memperoleh kekuasaan.
Kesempatan mengenyam pendidikan dasar ini sebenarnya bukti bahwa aliran pengetahuan tidak lagi didominasi oleh keluarga Maramba. Meskipun praktiknya dengan ongkos pendidikan yang mahal dan tidak ada bantuan finansial dari “para tuan”, banyak anak ata akhirnya putus sekolah. Lewat pendidikan wawasan, makin banyak ata yang mengerti hak dan kewajibannya.
Tentu kesempatan pendidikan sebenarnya tidak dimaksudkan untuk merusak ekosistem budaya dan strata sosial yang telah hidup lama di Sumba. Tetapi dengan adanya proses pedidikan, diharapkan ada mekanisme dialektika antara Maramba (sebagai tuan) dan Ata untuk menentukan kebijakan kolektif dan kesejahteraan bersama. Dengan demikian, Ata tidak lagi dipandang sebagai subordinat dari kelas Maramba, melainkan setara dalam urusan memberikan kesejahteraan bersama.
Demokrasi lokal menurut Wareen sebenarnya ingin menjelaskan tipolgi sosiologis dan mekanisme demokratis di mana masyarakat melakukan tindakan kolektif, merumuskan keputusan kolektif, dan memperoleh kekuasan kolektif (Muhammad Irham, 2016 hal 133).
Keputusan kolektif ini diterjemahkan dalam dinamika pemilu lokal di Sumba. Pemilihan umum menjadi pemantik bagi klaster-klaster sosial maupun budaya untuk bertarung dalam memuluskan kepentingan dan perjuangannya.
Tidak ada lagi pemisahan antara Maramba atau Ata, melainkan semua pihak dipandang setara dalam konteks demokrasi lokal. Aksesnya harus sama dan negara bertanggung jawab untuk memberikan jalan agar setiap individu lokal bisa mengakses tanpa perlu memusingkan urusan stratifikasi sosial.
Kesempatan inilah yang harus diambil oleh Ata agar perjuangan dan kepentingannya bisa didengarkan. Perjuangan Ata bisa lewat jalur legislatif atau eksekutif yang telah disediakan negara kepada setiap warga. Tetapi tidak menutup kemungkinan perjuangan-perjuangan itu dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga non-pemerintah yang tersedia. Dengan begitu, aspirasi bisa tetap disuarakan tanpa ada dominasi dari elit karpet merah.
Leave a Reply