JAKARTA-Rektor UNJ bisa jadi tidak tahu bahwa Jokowi bukan lagi sebagai Presiden RI, sehingga aktivisme Ubaidilah Badrun yang kritis terhadap keluarga Jokowi, mesti dibungkam. Rektor UNJ masih merasa perlu melayani Jokowi dan keluarganya.
Hal tersebut dikatakan Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi melalui pers releasenya pada 3/2 menanggapi pencopotan Ubaidilah Badrun, aktivis 98 dan dosen Universitas Negeri Jakarta dari jabatannya sebagai Ketua Departemen Sosiologi tanpa alasan yang jelas. Pemberitahuan atas pencopotannya pun diketahui Ubaid melalui Medsos.
Menurut Hendardi, Rektor lebih banyak menjadi tangan kekuasaan selama Jokowi menjabat dan selama musim Pemilu dan Pilkada, baik untuk mengendalikan aktivisme kampus maupun menyediakan dalil-dalil pembenaran atas tindakan sebuah rezim.
Pembungkaman pasif terbaru bagi kalangan kampus adalah iming-iming konsesi tambang, melalui agenda revisi superkilat UU Minerba yang sedang berlangsung.
Tambah Hendardi, sekalipun secara normatif Rektor memiliki kewenangan, tetapi tidak ada alasan kuat yang bisa diterima karena selama menjabat Ubaid justru berkinerja baik dan mebubuhkan sejumlah prestasi bagi program studi yang dipimpinnya.
Pembungkaman pasif pada para akademisi dan aktivis menurut Hendardi, menjadi cara untuk melemahkan perlawanan, kritisisme dan aktivisme yang dipraktikkan Jokowi saat menjabat. Hanya segelintir guru besar dan akademisi yang tetap gigih bersuara meski dihadapkan pada tekanan dan pembungkaman pasif.
Jika pembungkaman aktif dilakukan dengan kriminalisasi kebebasan berpendapat yang banyak menimpa aktivis HAM, aktivis bantuan hukum dan lingkungan, maka pembungkaman pasif umumnya dialamatkan pada akademisi dan tokoh masyarakat dengan cara menghambat laju karir, misalnya untuk menjadi guru besar, atau mencopot jabatan di dalam kampus.
Merujuk Indeks HAM SETARA Institute 2024, Hendardi menunjuk skor indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah 1,1, menurun 0,2 poin dari Indeks HAM 2023 pada skla 1-7.
Sementara Economist Intelligence Unit (EIU) yang merilis Indeks Demokrasi negara-negara di dunia, menempatkan Indonesia pada peringkat 56 dengan skor 6,53 di 2023 turun dua tingkat dari 2022. Kondisi demokrasi dan kebebasan sipil tidak akan berubah di Era Prabowo Subianto.
Dalam pandangan Hendardi, selain beban pelanggaran hukum dalam meraih kekuasaan dengan mengakali berbagai aturan melalui Mahkamah Konstitusi, Prabowo Subianto juga tidak memiliki imajinasi pemajuan demokrasi dan hak asasi manusia, sebagaimana tergambar pada 100 hari kepemimpinannya.
Kata Hendardi, “Tidak ada peta demokrasi yang dirancang, tidak ada agenda HAM disusun dan tidak ada tanda supremasi hukum akan digdaya”.
”Alih-alih memperkuat supremasi sipil, Prabowo Subianto justru mendorong supremasi militer dengan melibatkan sebanyak dan seluas-luasnya purnawirawan, pejabat dan anggota TNI aktif dalam urusan-urusan sipil,” pungkas aktivis HAM ini.
Leave a Reply