Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen dan terorisme
Ali Kalora, buronan kasus terorisme di Poso akhirnya ditembak mati oleh aparat keamanan pada Sabtu 18/9/2021 pukul 18:00 WITA di desa Astina Kecamatan Torue, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Selain Ali Kalora, anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur yang berhasil ditembak adalah Jaka Ramadhan alias Ikrima. Dengan tewasnya Ali Kalora dan Jaka Ramadhan alias Ikrima, maka sesuai dengan Daftar Pencarian Orang kelompok MIT masih tersisa empat orang, yaitu Askar alias Jaid alias Hamzah alias Pak Guru, Hamzah H. Abidin alias Na’e alias Galuh, Ahmad Gazali alias Ahmad alias Mat Panjang, dan Suhardin alias Farhan alias Abu Farhan alias Hasan Pranata.
Teroris Ali Kalora dikenal sangat kejam dan kerap kali melakukan aksi kekerasan terhadap masyarakat. Pada 27 November 2020, Ali Kalora dan kelompoknya membunuh empat warga sipil di Dusun Lepanu, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Pembunuhan dilakukan dengan menggunakan parang dan setelah logistic (beras) korban diambil, rumahnya kemudian dibakar. Pada 11 Mei 2021 Ali Kalora dan kelompoknya membunuh dan memutilasi empat petanidi Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Poso. Empat petani yang sedang berada di kebun dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya.
Ali Kalora atau Ali Ahmad, lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, pada 30 Mei 1981 adalah petani dari Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah yang kemudian bergabung dengan kelompok teroris Poso pada 2012. Di dalam kelompok MIT yang berafiliasi dengan ISIS tersebut Ali Kalora bertemu dengan Santoso alias Abu Wardah yang sudah tewas tertembak. Teroris lain yang tertembak yaitu Jaka Ramadan alias Ikrima lahir di Pandeglang 26 Februari 1996. Ikrima bergabung ke kelompok teroris Poso pada 2018. Meskipun Ikrima tergolong baru di kelompok MIT, namun Ikrima telah melakukan aksi-aksi keji terhadap masyarakat bersama Ali Kalora.
Dengan tewasnya Ali Kalora dan Ikrima maka kekuatan kelompok kombatan MIT menjadi berkurang drastis. Tidak hanya dari sisi jumlah tetapi dari sisi mental anggota yang kehilangan pemimpin, selain itu persenjataan mereka juga berkurang karena satu senjata laras panjang dengan jenis menyerupai M-16 berhasil diamankan aparat keamanan.
Ada tiga kemungkinan yang mungkin terjadi terhadap sisa kelompok MIT, pertama adalah melakukan aksi akhir karena sudah merasa terdesak motif balas dendam. Aksi akhir ini bisa berupa aksi teror atau serangan lain, walaupun kecil kemungkinan menggunakan bom karena sulitnya memperoleh bahan baku. Selain motif balas dendam, sisa anggota MIT akan melakukan aksi balasan jika merasa malu untuk menyerah dan perhitungan tidak mampu bertahan lama jika terus di hutan.
Kemungkinan kedua adalah tetap bersembunyi di hutan menjauh dari aparat keamanan dan masyarakat. Kelompok MIT sudah terbukti mampu bertahan bertahun-tahun hidup di hutan, walaupun mereka juga tetap seskali turun ke perkampungan untuk memenuhi logistic dan kebutuhan lain. Namun jika ini yang dilakukan maka diperkirakan sisa kelompok MIT tersebut tidak akan bertahan lama, karena kejaran aparat keamanan yang semakin solid dan berpengalaman di medan Poso.
Kemungkinan ketiga adalah menyerah kalah. Dengan tertembaknya Ali Kalora dan Ikrima serta berkurangnya senjata yang dimiliki, maka semangat dari sisa kelompok MIT akan jatuh, selain itu tanpa Ali Kalora kelompok tersebut menjadi lemah sehingga akan mudah terkejar dan ditangkap oleh aparat keamanan. Untuk memperkecil risiko maka kemungkinan menyerah adalah situasi terbaik. Untuk mewujudkan ini maka aparat keamanan juga perlu melakukan dialog kepada para tokoh yang bisa berhubungan dengan sisa kelompok MIT untuk menghimbau adar mereka menyerah.
Hal yang harus diwaspadai adalah munculnya pembelaan dan simpati dari kelompok tertentu atas tewasnya Ali Kalora dan Ikrima. Sebelumnya pada 2020 ketika dua anggota MIT tewas ditembak aparat karena melakukan perampasan senjata pada anggota Polri yang berjaga di Bank, pemakamannya mendapat simpati dari sejumlah masyarakat bahkan dielu-elukan seperti layaknya pahlawan. Hal yang sama juga terjadi pada saat pemakanan pemimpin MIT Santoso pada 2016.
Pembelaan dan simpati masyarakat terhadap teroris MIT ini menunjukkan bahwa radikalisme juga mengakar kuat di masyarakat, sehingga pemberantasan terorisme tidak akan mudah dilakukan. Kelompok MIT mampu bertahan selama ini tentu karena ada dukungan dari simpatisannya (sebagian masyarakat). Dukungan tersebut bisa berupa logistik atau berupa informasi.
Pasca tertembaknya Ali Kalora dan Ikrima, maka hal yang perlu dilakukan adalah melakukan upaya agar kelompok MIT yang masih hidup bisa menyerah. Selain itu pemerintah perlu melakukan deradikalisasi terhadap pihak-pihak di masyarakat yang mendukung kelompok MIT. Jika hal ini bisa dilakukan secara masif, sehingga sisa kelompok MIT bisa menyerah, dan masyarakat sadar bahwa radikalisme terorisme adalah pelanggara hukum yang tidak pantas dilakukan, maka kemungkinan wilayah Poso menjadi lebih baik dan lebih aman adalah sangat besar.
Upaya pembarantasan terorisme tidak berhenti dengan menembak mati pelaku teror. Di luar itu perlu dilakukan deradikalisasi terhadap kelompok masyarakat yang sudah terpapar paham radikal dan mendukung gerakan kelompok teroris. Selain itu juga perlu dilakukan kontra radikalisasi yaitu penguatan ideologi di masyarakat agar tidak mudah terpengaruh dan mampu melawan paham radikal.
Berbagai upaya tersebut tentu tidak mudah dan tidak mungkin dilakukan hanya oleh pemerintah atau aparat keamanan saja. Masyarakat sebagai komponen terbesar perlu dilibatkan secara aktif untuk melawan radikalisme dan terorisme sesuai dengan kapasitasnya. Dengan melibatkan masyarakat dan dengan kekompakan pemerintah terutama aparat keamanannya, maka ruang bagi kelompok radikal terorisme akan semakin sempit dan sulit berkembang.
Leave a Reply