Anthony Dio Martin, Best EQ trainer Indonesia”, direktur HR Excellency, psikolog, speaker, penulis buku-buku best seller
LAPIERO.COM – Van Gogh adalah potret sedih kehidupan. Semasa hidupnya, kerjanya hanya melukis dan melukis. Dia begitu mencintai seni lukis. Bahkan, dia sendiri tidak terlalu peduli apakah dia menghasilkan uang atau tidak. Dikatakan, seumur hidupnya, ia hanya berhasil menjual satu lukisannya saja. Akhirnya, Van Gogh meninggal dengan tragis, dalam kondisi depresi berat. Ia mengahiri hidupnya sendiri. Namun setelah meninggal, lukisan-lukisan yang dia kerjakan dengan “hati” justru menjadi rebutan. Potret dirinya sendiri terjual seharga 71,5 juta dollar. Dan baru-baru ini, ada sebuah film kartun “Loving Vincent” yang dilukis sekitar 100 pelukis untuk menghormatinya. Film ini pun diganjar banyak pernghargaan, salah satunya adalah pemenang festival film Eropa 2017.
Dalam kehidupan kita pun, kita mengenal banyak orang seperti Vincent Van Gogh, yang begitu mencintai yang dikerjakannya. Sampai-sampai, ia rela bahkan tidak dibayar sepeser pun.
Kisah lain adalah Thomas Alva Edison. Dikatakan, ia begitu mencintai pekerjaannya, sampai-sampai ia punya tempat tidur di samping laboratoriumnya. Maksudnya sederhana, supaya pada saat ia bangun, ia langsung bisa bekerja.
Cinta atau Diperbudak Kerja?
Bedanya memang tipis. Tetapi, yang nyata, tatkala orang mencintai pekerjaannya, energinya tidak ada habis-habisnya. Bahkan mereka menjadi begitu terobsesi dan pekerjaannya menyelimuti seluruh pikiran mereka. Berbeda dengan mereka yang diperbudak pekerjaannya, mereka hanya terobsesi untuk menyelesaikan pekerjaan. Bisa jadi, mereka sendiri tidak begitu menikmati yang dilakukan. Mereka mengerjakan hanya karena merasa berkewajiban untuk melakukan pekerjaan itu sampai tuntas.
Sebagai contoh, ada seorang direktur keuangan yang punya kebiasaan kerja sampai larut malam. Kerjanya meneliti dan memeriksa laporan keuangan serta membuat strategi finansial perusahaan. Ia sering mengeluh capek dan letih. Tapi, ia tahu ia harus melakukan pekerjaannya dengan tuntas. Dan nyatanya, pekerjaan tuntas itu seakan-akan hanya mimpi. Satu kerjaan selesai, kerjaan lainnya menyusul. Memang, ia diganjar dengan bayaran yang amat tinggi. Tapi, tidak ada kepuasan dalam yang dikerjakannya. Yang ada stress dan depresi.
Tanda-Tanda Mencintai Pekerjaan
Howard Shultz, pendiri Starbuck yang terkenal mengatakan dalam bukunya, “Pour your heart into it” (tuangkanlah hatimu ke dalamnya). Dan menurutnya, itulah kunci sukses Starbuck. Dengan kata lain, definisi mencintai pekerjaan adalah sungguh-sungguh memberikan hati pada yang dilakukan.
Di sini adan kondisi flow saat mengerjakan. Apakah flow itu? Flow adalah suatu kondisi di mana seseorang lupa waktu dan segalanya, saking asyiknya ia dengan yang dikerjakannya. Sebagai contoh, saat mengerjakan tulisannya, Charles Dickens bisa berhari-hari hanya asyik menulis tanpa mau diganggu. Tatkala mendapatkan inspirasi luar biasa seperti menulis buku Christmas Carol-nya yang terkenal, Charles menghabiskan waktu berhari-hari selama berminggu-minggu hanya menulis dan menulis saja.
Tanda lainnya adalah kita mendapatkan kepuasan yang luar biasa justru ketika mengerjakannya. Sebagai contoh yang menarik adalah kisah hidupnya Bill Porter, seorang salesman sabun Watkins yang menjual secara door to door. Sampai-sampai kisah hidupnya dibuat menjadi film yang terkenal, “Door to Door”. Meskipun ia adalah penderita celebral palsy, ada kutipan menarik dari Bill Porter, “Ayah saya penjual. Saya adalah penjual dan saya cinta untuk menjual!”. Bahkan, ia sering sampai berkata kalaupun dikasih kesempatan hidup lagi berikutnya, ia akan memilih pekerjaan sebagai seorang penjual lagi.
Bagaimana Kalau Kita Bekerja Karena Terpaksa
Ok, anda mungkin bertanya begini. “Bagaimana mencintai pekerjaan kita, kalau kita memilih pekerjaan ini karena terpaksa?”
Sebenarnya, setiap pekerjaan adalah pilihan. Kita bisa memilih bekerja dengan sepenuh hati atau dengan terpaksa. Ketahuilah, kalau kita melihat para sukses dan juara, sebenarnya tidak semua bekerja di bidang yang mereka kuasai atau pun cintai pada awalnya. Namun, akhirnya mereka bisa belajar mencintai pekerjaannya serta menjadi terbaik di bidang itu. St Agustinus punya latar belakang militer. Gandhi punya gelar sarjana hukum, sebelum jadi politikus. Hitler adalah pelukis yang gagal sebelum jadi politikus. Jadi, kuncinya adalah berupaya segenap tenaga untuk apa yang kita kerjakan saat ini.
Selanjutnya, kunci mencintai pekerjaan adalah sungguh all out atau total dengan apa yang dikerjakan. Ada yang menarik tatkala Larry King, salah satu pewawancara terkenal di CNN saat ditanya, “Apakah dia mencintai pekerjaannya?”. Yang dia katakan adalah, “Yang aku tahu setiap kali melakukan pekerjaan, aku lakukan dengan all out. Dan ketika pekerjaan selesai, aku lebih suka menghabiskan waktu sendirian dan tidak diganggu”. Dikatakan, Larry King bukanlah orang yang ekstrovert sekali untuk melakukan pekerjaan sebagai seorang pewawancara. Tapi, karena tuntutan pekerjaan,ia berusaha keras untuk total dengan pekerjaannya. Hasilnya, ia akhirnya bisa mencintai pekerjaannya.
Akhirnya, kunci terpenting dari mencintai pekerjaan adalah melihat dampaknya bagi orang lain. Ada kisah yang menarik saat AA Milne penulis kisah anak-anak ”Winnie The Pooh”. Ia terpaksa menghentikan buku anak-anaknya, karena kehidupan anaknya Chriostopher Robin, jadi terganggu. Namun, akhirnya, pekerjaan menulisnya dilanjutkan setelah anaknya sendiri menyemangatinya bahwa pada saat anaknya itu pergi ke medan perang, kisah Winnie The Pooh justru menjadi kenangan manis bagi banyak tentara di medan perang. Akhirnya, AA Milne melihat bagaimana bukunya, ternyata menjadi inspirasi yang luar biasa. Jadi, bukan lagi sekadar mengejar uang ataupun popularitas.
Begitulah kalau kita simpulkan, “Mereka yang sukses mencintai yang mereka lalukan. Dan kalaupun mereka tidak melakukan yang mereka cintai, mereka berusaha mencintai yang mereka lakukan”. So, pertanyaannya sekarang, sudahkah Anda mencintai pekerjaan Anda?
Leave a Reply