Oleh Emanuel Dapa Loka, Wartawan dan penulis biografi
Serta-merta, peta politik Jakarta terkait pencalonan gubernur dan wakil gubernur berubah dan memberi harapan terhadap masih berdenyutnya nadi demokrasi di kota metropolitan yang nyaris menjadi metropolutan demokrasi. MK melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan gubernur menjadi 7,5 persen.
Peluang PDIP untuk mengusung calonnya sendiri terbuka lebar. Sebelumnya peluang itu nyaris dipastikan terkunci rapat setelah 12 partai politik mbedol deso ke Ridwan Kamil – Suswono. PDIP yang hanya mengoleksi 14,1 persen jumlah kursi, tidak bisa mengusung calon sendiri.
”Sakti dan Buas”
Sebelumnya, Jakarta memperlihatkan tanda-tanda ”kesaktian” sekaligus ”kebuasannya”. Kesaktian pertama kota yang telah berumur 497 tahun ini: dengan kekuatan ”gaibnya”, ia nyaris menelan bulat-bulat demokrasi.
Bayangkan! Kekuasaan yang rakyat titipkan melalui wakil mereka di partai-partai, nyaris terbunuh secara brutal oleh partai-partai itu. Dan rakyat pemilik kedaulatan pun hanya bisa mengelus dada dengan penuh penyesalan. Tak dianggap!
Dengan kekuatan luar biasa di belakangnya, kota ini ”Sukses” mengorkestrasi dan menghipnotis hampir semua partai politik (kecuali PDIP) untuk ramai-ramai mengusung hanya satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, yakni Ridwan Kamil dan Suswono.
Lalu kesaktian lain kota ini adalah secara ”gilang-gemilang” memunculkan pasangan calon independen, yakni Dharma Pongrekun dan Kun Wardana—calon yang sebelumnya dikabarkan gagal maju melalui jalur independen karena tidak memenuhi sejumlah persyaratan. Cerita tentang pencatutat KTP warga Jakarta terserak di mana-mana.
Demokrasi Seolah-olah
Ketika muncul gejala Ridwan Kamil – Suswono nyaris melawan kotak kosong, muncul pertanyaan: apakah Jakarta sudah sangat miskin dengan calon potensial untuk menjadi gubernur Jakarta? Ridwan Kamil pun diimpor dari Jawa Barat.
Sebagian rakyat Jakarta tentu saja menyesal telah memercayakan suara mereka ke wakil-wakil yang ternyata hanya pertontontonkan demokrasi seolah-olah. Wakil-wakil rakyat pilihan mereka itu nyaris sukses bersiasat sedemikian rupa sehingga hampir tanpa hambatan melenggangkan nafsu ke kursi kekuasaan. Karenanya, kita harus angkat topi kepada putusan baru MK tersebut. Kota metropolitan Jakarta pun ”batal” menjadi metropolutan demokrasi.
Dua belas partai pendukung Ridwan Kamil dan Suswono terbilang sangat pragmatis sambil membawa semangat ”yang penting bisa berkuasa”. Lalu, nantinya siapa mengontrol siapa? Masa mungkin jeruk makan jeruk? Yang ada hanyalah saling melindungi antara sesama anggota dewan. Mereka pun akan menjadi tameng hidup bagi eksekutif. Atau, Ridwan akan menjadi sanderaan bersama karena partai-partai itu merasa berjasa telah mengantarnya ke singgasana. Lalu bagaimana dengan nasib rakyat? Ya, gigit jari sampai buntung.
Jika tidak ada putusan baru MK tersebut, pemilihan gubernur di Jakarta akan menjadi Pilgub yang terlepas dari rakyat atau kehilangan roh rakyat sebagai pemegang kekuasaan.
Pilgub Jakarta pun hanya akan menjadi Pilgub basa-basi yang memperalat rakyat untuk mendapatkan kekuasaan dengan sponsor utama ke-12 partai tersebut di bawah daulat sang master mind.
Terus terang, putusan MK tersebut heroik. Sebelumnya, anak kecil pun sudah tahu siapa Gubernur Jakarta periode 2024-2029 nanti. Sudah pasti Ridwan Kamil – Suswono. Tinggal menunggu waktu pelantikan. Bahkan, tidak perlu menghabiskan waktu, energi, dana untuk berkampanye.
Sekali Lagi MK
Langkah MK patut disyukuri, bukan oleh PDIP atau Anies Baswedan, tapi oleh rakyat pemilik kekuasaan. Semesta yang tidak pernah ingkar terhadap rakyat itu, tampil melalui MK. Jika MK masih seperti yang dulu, maka Jakarta ”sukses besar” memberikan pembelajaran politik dan demokrasi yang buruk. Lihatlah! Dengan kemampuan bermain strategi dan siasat, para politisi tanpa malu-malu bersembunyi di balik aturan legal formal.
(Calon) kenyataan yang hampir terbentang (terutama) di Jakarta dan di daerah-daerah lain menjadi pertanda amat vulgar bahwa telah terjadi kemerosotan demokrasi di negeri ini. Demokrasi nyaris kehilangan roh utamanya, yakni napas dan darah rakyat. Rakyat hanya diangkat-angkat hingga ke langit biru dengan adagium sakti vox populi vox Dei, namun kemudian dicampakkan ke comberan.
Bayangkan! Semua partai di Jakarta tidak memiliki nyali sedikit pun untuk mengatakan ”Tidak” kepada master mind di balik permainan kelas coro karena mereka pun tersandera oleh kepentingan atau borok yang bisa menghancurkan mereka apabila dibuka ke publik. Viva, Mahkamah Konstitusi!
Simak videonya: http://Semula Kukira Engkau “Fajar Pagi” (Refleksi 1,56 detik) https://youtu.be/bdmyjOHRmlY?si=ScCamvkG_DpqUJqa
Leave a Reply