
Oleh Emanuel Dapa Loka
Miris! Makin panjang daftar ”Intelektual” yang dijatuhi hukuman karena tidak mampu menjaga integritas. Pada 22 April 2025, seorang Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Hassanudin Makassar bernama Prof. Dr. Marthen Napang divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Jakarta atas tindakannya memalsukan dokumen Mahkamah Agung (MA).
Dengan dokumen palsu itu, dia melancarkan penipuan kepada pengusaha Dr. John Palinggi dengan kerugian 950 juta rupiah. Lalu, dengan tujuan menjaga marwah MA, John memperkarakan sang profesor ke Polda Metro Jaya pada Agustus 2017. Bagi John, aksi Marthen Napang telah mencoreng keagungan marwah Mahkamah Agung—selain telah merugikannya secara materi dan mencederai dunia akademis.
Cemari Dunia Intelektual
Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa dalam melancarkan aksinya, terdakwa secara meyakinkan menggunakan jabatan dan profesinya, serta putusan MA yang dia palsukan untuk menipu korban pelapor.
Karena itu, dalam amar putusannya pada 22 April, Hakim Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, menyebut perbuatan terdakwa telah mencoreng citra masyarakat terhadap lembaga peradilan, mencederai profesi dosen dan pengacara.
Marthen Napang hanyalah salah satu dari berderet-deret intelektual yang terjerembab ke pekatnya khianat intelektual itu. Sangat banyak contoh. Kasus di sekitar disertasi Bahlil Lahadalia dan para pemburu gelar adalah contoh lain yang menggores luka parah di wilayah akademis. Masih banyak kasus lain yang benar-benar bikin masygul.
Ilmuwan Prancis, Julian Benda, dalam bukunya The Treason of The Intellectuals atau Pengkhianatan Kaum Cendekiawan (1927), mengatakan bahwa tugas utama cendekiawan adalah menjaga moral. Sebagai intelektual, Marthen Napang justru bertindak sebaliknya: menjerembabkan moral ke comberan.
Tidak berhenti di situ, menurut Julian Benda, fungsi cendekiawan atau intelektual adalah memproduksi pengetahuan yang bersifat universal dan objektif untuk mempertahankan nilai-nilai moral dan intelektual yang murni dan tidak tercemar oleh kepentingan politik atau ekonomi.
Peran Mencerahkan
Dalam formulasi yang senada, Noam Chomsky, seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts mengingatkan, tanggung jawab intelektual seorang terpelajar adalah berbicara kebenaran dan menguak kebohongan-kebohongan. Bukan sebaliknya, intelektualitas dipakai sebagai sarana melancarkan kebohongan kepada khalayak.
Jika perilaku seorang terpelajar adalah perilaku penipu dan pembohong, maka betapapun pemikirannya tampak cerdas dan cemerlang, dan dengan itu namanya berkibar-kibar, itu hanyalah omong kosong intelektual, atau yang Berhard Russel sebut intellectual rubbish.
Ungkapan tersebut menunjuk pada berbagai hal, argumentasi atau dalil yang tidak berbasis ilmiah (sulit dipertanggungjawabkan), atau malah hanya seolah-olah benar. Lebih dari itu, omong kosong tersebut tidak membawa manfaat atau kemaslahatan.
Dengan demikian, intelektualitas semacam itu dalam praksisnya menjadi tak bermakna karena ”Mengkhianati” misi utamanya: mencerahkan kehidupan masyarakat. Dan persis di sini relevansi kehadiran seorang intelektual dengan intelektualitasnya yang terkawal oleh integritas moral etis menjadi sangat penting.
Tanpa integritas moral yang menemani dan menyatu dengannya, intelektualitas itu hanya ibarat sampah orang kota kampungan yang menyesaki wilayah jorok, tempat berbiaknya penyakit-penyakit berbahaya. Dan contohnya banyak berserakan.*
Leave a Reply