Saya memandang kepergiannya dari bukit kecil di belakang rumah. Sore menjelang saat cahaya bergegas melemah dan angin seperti membisu. Sungguh, tak rela membiarkan dia pergi. Dengan langkah-langkah kecilnya yang perlahan dan rapi, sekilas dia menoleh dan melambaikan tangan, lalu menghilang dari punggung bukit.
“Ayah macam apa kau; banci; membiarkan Kùdu dijemput laki-laki tambun berantai emas?” Bicaranya manis tapi ada amis dalam suaranya. Detik itu gelisah menyergap, memukul-mukul dadaku. “Anak gadisku pergi. Hanya Tuhan yang tahu, apa jemarinya akan kugenggam lagi.”
***
“Setiap ayah ingin anak laki-laki, tapi juga butuh anak perempuan,” kata orang. Amiiin! Saya sudah diberi dua lelaki. Hal besar tersemat di bahu yang sulung saat ia naik kapal Awu, menuju tanah Djawa untuk kuliah. Puji Tuhan, ada yang bersedia menanggung biayanya. “Dia boleh kuliah di mana saja, asal tekun dan nilainya baik,” ujar Pater, orang suci itu.
Harapan itu membesarkan hati. Dia akan jadi penerus, pembebas keluarga dari cengkeraman hidup berkekurangan. Memenuhi kebutuhan dengan bertani, tidak cukup banyak kemewahan hadir di rumah kami. Mencoba bertahan hidup dari hari ke hari. Miskin itu tidak enak. Pilihan terbatas. Ada yang bilang, ini upah dosa. Buah kemalasan. Ah, omong kosong! Mereka tak tahu apa yang meluncur dari mulutnya. Saya bukan orang jahat. “Saya menyelam mengigit pasir, sampai mata memerah. Namun hanya udang dan kepiting kecil yang saya temukan.”[1]
***
Si Sulung sukses jadi jebolan semester 5 fakultas bahasa sebuah perguruan tinggi di Semarang. Tak ada sedikitpun jejak dia pernah mengecap bangku kuliah dan belajar bahasa Inggris. Kabar terakhir, dia mengemudi ojol untuk nafkah istri dan satu anaknya. Ya, saya lebih suka tidak membicarakan dia. Tidak berharap ada pesan WA apalagi panggilan telpon.
Isinya hanya masalah dan kabar buruk. Bikin sakit hati. Dia adalah manginu ngandi undi, kaka ngandi ruata[2].
Ingin jadi Pater, anak kedua sedang kuliah filsafat dan teologi di Yogyakarta. “Saya ingin jadi pelayan Tuhan. Buat bapa mama, keluarga bangga,” janjinya. Pengalaman adalah guru kehidupan. Anak pertama mengajarku hati-hati menyiang harapan. Bila yang kedua sampai tertabhis, puji Tuhan. Dia saluran berkat bagi banyak orang; jadi ungkit tangga sosial bagi keluarga. Bila tidak, juga tak mengapa. Dia akan kembali ke Sumba, bergabung dengan partai politik. Anakku yang ini gemar sekali bikin janji-janji. Sepertinya cocok mencoba peruntungan sebagai caleg.
***
Setelah mendengar tangisan pertamanya dan mendaras Bapa Kami dan Salam Maria, mohon agar kelak dia menjadi kawìni kalar manggana[3], istri dan saya sepakat menamainya Rambu Kùdu. Rambu karena dia perempuan Sumba; kùdu dalam bahasa Kambera bermakna kecil atau mungil. Bobotnya 2,3 kilogram. “Prematur,” ucap bidan desa di kampungku. “Rawat bae-bae su biar tidak ada masalah. Semoga dia punya berat badan naik; tumbuh sehat,” nasihatnya.
Memang Kùdu jauh lebih kecil ketimbang dua kakaknya. Dengan enteng- awalnya dengan tak hirau teriakan ngeri ibunya- saya suka menimangnya hati-hati di kedua telapak tangan, mendekatkannya ke wajahku, memandang matanya yang bening, dan merasakan gelitik bulu halus di tubuhnya. “Dia kehormatanku. Akan kujaga sepenuh hati,” sumpahku. Anak perempuan yang kubutuh; muara penantian panjang.
***
Rambu Kùdu kini kelas 3 SMP. Hampir lulus. Tidak seperti teman sebayanya yang bongsor, cenderung berisik, dan tanpa beban, dia nampak ramping, dan merasa nyaman dalam diam. Lebih matang dari usianya, dia kerap dipeluk sepi dalam kerumunan. Bicaranya seperti ditakar. Bila tak ada hal baik yang dikatakan lebih baik diam. Beberapa hari ini, diamnya semakin dalam. Ada yang berkecamuk dalam pikirannya.
Suatu sore, pulang dari rumah pak RT untuk urusan pupuk, saya menjumpainya duduk di ujung kebun. Bajunya basah oleh keringat. Napasnya tersenggal. Rupanya telah beberapa kali dia menjunjung panenan jagung yang kupetik tadi pagi dengan bakul daun lontar[4] dari kebun ke rumah.
“Yiha, nyùmu-ma[5], Rambu. Bapa su larang-ma angkat yang berat-berat. Nanti kamu sakit lagi,” ungkapku kuatir sambil memberinya botol air mium.
“Tidak apa-apa hi bapa. Hanya mo bantu sedikit. Biar tidak terlalu cape. Bapa mama su tua,” balasnya. “Seandainya saya bisa bantu keluarga,” lanjutnya menghela napas panjang dan menyesap perlahan beberapa teguk air. “Kapan-kapan saya mo omong sesuatu sama bapa mama e…”
“Sekarang sa, mo omong apa” sergahku.
“Nanti sa bapa. Kalau saya su siap.”
Hari sudah dijemput petang. Hujan rintik-rintik. Rambu Kùdu bergegas ke rumah, menyunggi bakul jagung. Saya menyusulnya dengan penasaran. Ada apa dengan anakku. Dia siap-siap untuk apa?
***
Kami duduk santai di depan rumah. Kùdu dan ibunya di atas bale-bale bambu. Bale-bale di bawah pohon beringin ini adalah tempat terbaik untuk melawan hawa Sumba yang panas dan kering. Saya di atas kursi
plastik dengan kopi hitam tanpa gula. Teh hangat dan ubi goreng adalah pelengkap terbaik. Kursi renta merah pucat merasakan gelisahku. Kùdu harus ceritera sore ini, apa yang memberati kepalanya.
“Màla Rambu, ka ada apa sebenarnya. Apa yang engko mau kasi tahu waktu di kebun,” tanya saya perlahan.
“Bapa, mama, sa mo pi kerja ke Malaysia. Sa dengar, katanya gajinya besar. Saya mo bantu keluarga.”
“Hee, yang benar sa?”
“Benar bapa. Sa su tanya-tanya. Ada yang urus surat-surat, agen dari Kupang. Ada Om Abel di sini di Waingapu. Saya berangkat nanti kalau sudah perpisahan SMP.”
Dari nada bicaranya, Rambu Kùdu bukan minta izin atau persetujuan kami. Hanya memberitahu. Rencananya sudah bulat.
***
Sungguh. Na pinna-na [6]. Saya tidak suka Om Abel. Wàngu paminang ndàba na kariaku-na [7]. “Gampang itu bapa. Aman sa. Nanti Rambu jadi asisten rumah tangga atau kerja di restoran. Gajinya besar. Bisa 7 juta-an per bulan,” ucapnya mengangguk-angguk sambil mengoyang-goyang kaki kanannya. Napas yang berat berirama buruk dengan perut buncitnya yang naik turun. “Tidak usah kuatir bapa. Doa yang kuat-kuat sa. Tuhan Yesus pasti jaga to.” Sore itu dia membawa Rambu Kùdu ke kota untuk berkumpul dengan yang lain. Siangnya Awu membawa mereka ke Kupang. Beberapa hari kemudian lanjut ke Batam lalu Malaysia.
***
Sudah 9 bulan berlalu. Tak ada berita apa pun. Om Abel sekali memberi kabar: Rambu sudah sampai di Malaysia lewat Batam. Dia baik-baik saja dan kerja di restoran.
Tapi malam ini ya Tuhan Yesus, ya Bunda Maria Penolong, kok harapan itu jadi seperti bara api. Memberi kehangatan sebentar saja lalu sekejap remuk jadi debu. “Na wùra-nggu. Na wàlahu-nyàka na lunggi-na, na bhata-nyàka na kajia-na.”[8]
“Informasi selanjutnya saudara, seorang tenaga kerja asal Sumba yang bekerja di Puchong, Selangor Malaysia dikabarkan meninggal dunia di Rumah Sakit Serdang pada Selasa 30 Agustus karena sakit autoimun. Setelah sempat tertunda, pemulangan jenazah gadis berusia 17 tahun ini ke kampung halamannya, Waingapu Sumba Timur, akan dilaksanakan 7 September dan diurus oleh KBRI. Harsono Kuaka TV Jakarta.”
***
Saya menunggu jasad anakku di Bandara UMK. Seorang perempuan paruh baya menyentuh punggungku; menyelipkan selembar kertas di tangan kiriku. “Dari Rambu,” katanya sambil berlalu.
“Bapa mama dan keluarga sayang. Baik-baik to? Bapa, tolong saya. Saya takut sekali. Banyak orang jahat di sini. Saya kerja di tempat orang rawat badan, rambut, tangan, kaki. Tempat juga ada karaokenya. Mereka sering paksa saya duduk-duduk dengan laki-laki. Tau kabùlak [9]. “Engkau pintar kalau jual banyak minuman dan kasi senang tamu. Kerja keras biar hutang lunas,” mereka bilang. Saya tinggal sama 5 teman. Rumah ada satpamnya. Tidak boleh keluarga sembarang. Bapa mama, maaf. Saya mau pulang. Kerja di Sumba saja. Begitu dulu. Ini ada yang ketok pintu. Nanti saya tulis surat lagi. Belum boleh telp. HP mereka ambil.
Salam sayang, Kùdu
***
Rambu Kùdu sudah terkunci dalam peti mati. Tidak bisa tersentuh lagi. “Pergikah dia dengan damai, atau kematian merenggutnya dengan kejam?” Hanya Tuhan yang tahu. Anak gadisku menghilang di punggung bukit. Ada yang lepas dari dadaku. Hidup tanpa harapan adalah kematian sementara.
CATATAN:
[1] Bait puitis Kambera yang menunjuk tekad untuk bekerja keras: Rùnu kati wara, ndùka muru mata: ka u ngala-nya na kurang pawùku-mu, na karanggi pamanyàra-mu: Menyelam yang dalam sampai mengigit pasar, sampai matamu menjadi biru: agar engkau dapat udang yang diinginkan, kepiting yang dicari.
[2] Ungkapan dalam bahasa Kambera, Sumba: burung pipit atau kakatua pembawa serbuk yang menyebabkan rasa gatal
[3] Wanita yang pandai berbicara dan bijak.
[4] Dalam bahasa Kambera, Sumba, bakul daun lontar disebut mbuala.
[5] Ah, kamu, Rambu…
[6] Ungkapan makian.
[7] Kata-katanya meluncur mulus seperti berminyak.
[8] Na wùra-nggu= oh paru-paruku (harafiah). Padanan yang lebih tepat= oh, jantung hatiku (ungkapan pada seseorang yang sangat disayangi). Rambutnya sudah tergerai; punggungnya sudah membelakangi kita: bait ritual Sumba untuk menyiratkan kematian seseorang.
[9] Orang jahat/nakal.
Leave a Reply