Sastra Bersama Rakyat Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur

Anisa, Kdetua Umum Jaker

Sastra adalah bagian dari masyarakat Indonesia, bahkan sebelum abad modern, yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Jenis-jenis sastra seperti pantun, syair, gurindam, dan hikayat, sudah lazim digunakan oleh masyarakat di wilayah Nusantara, semenjak beberapa abad yang lalu.

Pada masa pergerakan nasional Indonesia, yaitu dari sejak awal abad ke-20, sampai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 1945, sastra sberperan sebagai alat perjuangan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, yang mencengkeram wilayah Nusantara.

Karya-karya sastra dari para pejuang pergerakan nasional Indonesia, seperti Marco Kartodikromo, dengan novel “Student Hidjo”, Semaoen, dengan novel “Hikayat Kadiroen”, Armijn Pane, dengan puisi “Bertemu”, dan lain-lain, pada dasarnya berisikan keresahan dan protes terhadap kolonial Belanda.

Seperti yang tertulis pada salah satu baris dalam puisi bertemu karya Armijn Pane, “Yang penuh sengsara, penuh duka, Karena negeri digenggam bangsa asing”.

Pasca proklamasi kemerdekaan, puisi-puisi penyair Chairil Anwar, dengan gamblang menyuarakan dukungan rakyat terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kita bisa lihat ekspresi tersebut pada puisi-puisi seperti “Diponegoro”, dan “Karawang-Bekasi”.

Era kediktatoran Rezim Orde Baru, juga ditandai dengan kehadiran dua penyair yang cukup vokal melawan kediktatoran. W.S Rendra, dan Wiji Thukul, adalah nama dari kedua penyair tersebut.

Rendra dalam puisi “Sajak Sebatang Lisong”, dan Thukul, salah satunya dalam puisi “Peringatan”, yang baris terakhir puisinya sangat populer di alam pikiran para aktivis pergerakan mahasiswa dan rakyat kala itu, yaitu “Hanya ada satu kata ‘Lawan!’”.

Oleh karena itulah, apa yang tertulis dalam berbagai jenis sastra tersebut, pada dasarnya sangat krusial, dan selalu berada dalam alam pikiran masayarakat, khususnya masyarakat Indonesia.

Untuk itulah, penulisan sastra, khususnya yang ditulis oleh para sastrawan dan penyair dalam sebuah organisasi kebudayaan rakyat, seperti Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER) haruslah mampu menyuarakan suara rakyat dan menuntun kesadaran rakyat untuk bersatu padu mewujudkan masyarakat adil makmur.

See also  Gandong Maluku California: Kisah Diaspora Indonesia di AS

Bangsa dan negara Indonesia, yang sudah berhasil melewati berbagai rintangan dalam sejarah, seharusnya bisa merealisasikan masyarakat adil makmur tersebut, dengan cara kembali pada budaya asli Indonesia, yaitu gotong royong atau kerja sama mutualistik, antar seluruh elemen bangsa.

Harsa Permata, Ketua Panitia

Maka dari itu, JAKER sebagai organisasi seni budaya, mengambil inisiatif mengadakan konferensi sastra lingkup nasional, pada tanggal 4 Juli 2025.

Seperti dijelaskan oleh Harsa Permata, Ketua Panitia Konferensi Nasional Sastra JAKER 2025, tema dari konferensi nasional sastra, Jaringan Kebudayaan Rakyat tersebut adalah “Sastra Bersama Rakyat Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur”.

Tujuannya, tambah Anisa, Ketua Umum Jaker, untuk membahas bagaimana seharusnya sastra sebagai salah satu alat perjuangan rakyat bisa mengekspresikan aspirasi rakyat dan mengarahkan kesadaran rakyat untuk bahu-membahu bersama pemerintah mewujudkan masyarakat adil makmur, yaitu Indonesia Emas, pada tahun 2045. (*)

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*