Seruan Profetis: Menyelamatkan Daratei, Menjaga Ibu Pertiwi

Oleh Alfred B. Jogo Ena, kolomnis dan editor

Beberapa hari lalu di WAG Alsemat Nusantara, Pater Felix Baghi dan Romo Edi Dopo, Vikep Ende Keuskupan Agung Ende memposting tentang sikap Gereja terhadap proyek Geothermal Daratei, di Mataloko, Ngada. Ada pesan yang menarik bahwa Gereja perlu bersikap sebelum kerusakan lingkungan berdampak luas bagi masyarakat di sekitar. Hari ini dishare lagi Video sikap tegas Bapa Uskup Agung Ende yang menolak pembangunan Geothermal di wilayah Keuskupan Agung Ende.

Saya merasa tertarik untuk merangkul sikap-sikap itu menjadi sebuah tulisan seperti yang Anda baca ini.

Kegagalan Proyek Geothermal Daratei: Sebuah Peringatan
Daratei, dengan segala keindahan alamnya, kini menghadapi ancaman besar. Proyek geothermal yang sudah berlangsung selama lebih dari dua dekade di Mataloko dan Daratei tidak hanya gagal mencapai tujuan awalnya – kemandirian energi – tetapi juga meninggalkan jejak kerusakan yang parah.

Lahan pertanian hancur, tanaman mati, rumah rusak, suhu berubah drastis, dan semburan gas baru yang berbahaya kini menjadi kenyataan hidup masyarakat setempat. Ini bukan hanya masalah teknis; ini adalah dosa terhadap alam, dosa terhadap Ibu Pertiwi.

Mengapa Proyek Ini Dilanjutkan: Prinsip Dasar Pembangunan yang Terabaikan

Pastor Felix Baghi secara tajam mempertanyakan keberlanjutan proyek ini. Jika termin pertama dari 2001 hingga 2021 saja telah gagal total, mengapa pemerintah dan PLN bersikeras melanjutkan ke termin kedua dengan lelang baru? Siapa yang sebenarnya diuntungkan?

Dugaan bahwa ada oknum tertentu yang bermain di balik layar semakin menguat ketika masyarakat diabaikan, sementara kerugian terus bertambah. Tidak ada sosialisasi yang memadai, tidak ada kajian dampak lingkungan (AMDAL) yang terbuka, dan tidak ada mekanisme tanggung jawab yang jelas atas kerusakan yang telah terjadi.

See also  Sepak Bola, Patriotisme dan Global Peace

Lebih lanjut, Pastor Felix mengingatkan kita akan pentingnya meninjau kembali prinsip dasar sebuah proyek pembangunan: “Tidak boleh ada bahaya, risiko harus kecil, dan tidak boleh ada kerugian bagi masyarakat.” Namun, proyek ini justru menghadirkan bahaya yang nyata dan risiko besar, sementara manfaatnya nihil. Bahkan, kenyataan pahit menunjukkan bahwa hanya segelintir orang yang menikmati keuntungan, sementara masyarakat luas menanggung dampaknya.

Sikap Tegas Gereja dan Relevansi Laudato Si’

Romo Vikep Ende dengan tegas menyatakan sikap Gereja Keuskupan Agung Ende: menolak pembukaan tambang geotermal baru, termasuk di Daratei. Dalam semangat Laudato Si’, ensiklik Paus Fransiskus tentang perawatan rumah bersama, Gereja memanggil seluruh umat manusia untuk menjaga lingkungan sebagai bagian integral dari keadilan sosial. Paus Fransiskus menulis, “Tidak ada dua krisis terpisah, yaitu krisis lingkungan dan krisis sosial, melainkan satu dan kompleks. Perlindungan lingkungan adalah perlindungan terhadap martabat manusia.”

Uskup Agung Ende, dalam pernyataannya, secara eksplisit menyuarakan dukungan penuh terhadap penolakan pembangunan geothermal di wilayah Keuskupan Agung Ende. Beliau menekankan bahwa proyek semacam ini tidak boleh mengabaikan prinsip keadilan ekologis yang diusung oleh Gereja. Dengan mengacu pada pesan Laudato Si’, Uskup Agung menyerukan perlindungan terhadap alam dan masyarakat setempat sebagai tanggung jawab moral yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak.

Dampak Langsung terhadap Masyarakat dan Alam

Dalam konteks Daratei, kehancuran lingkungan ini adalah cerminan langsung dari ketidakadilan terhadap masyarakat lokal. Proyek ini tidak hanya merusak bumi tetapi juga melukai kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada tanah, air, dan udara yang kini tercemar.

Seruan Laudato Si’ menjadi semakin relevan: kita tidak boleh memperlakukan alam sebagai objek eksploitasi tanpa batas. Sebaliknya, kita harus mendengar tangisan alam dan tangisan orang miskin, yang dalam kasus ini adalah masyarakat Mataloko dan Daratei.

See also  Kuda Pasola Tak Berpelana dari Kodi Masuk Arena

Perlawanan Bersama untuk Menyelamatkan Daratei

Gerakan perlawanan yang dimulai oleh DPRD Ngada, Gereja, dan masyarakat harus terus diperkuat. Ini bukan sekadar perjuangan lokal; ini adalah perjuangan universal untuk melawan kapitalisme destruktif yang menempatkan keuntungan di atas kehidupan. Dalam semangat demokrasi, esaminasi publik harus dilakukan untuk mengevaluasi secara transparan proyek geothermal ini.

Kajian AMDAL yang independen dan menyeluruh harus menjadi syarat mutlak sebelum proyek ini dilanjutkan. Jika ditemukan bahwa kerusakan lebih besar daripada manfaat, maka proyek ini harus dihentikan tanpa kompromi.

Panggilan Moral untuk Civil Society dan Gereja

Kepada seluruh civil society, Gereja, dan masyarakat yang peduli lingkungan, ini adalah panggilan untuk bergandengan tangan. Jangan biarkan Ibu Pertiwi dijual dan dirusak demi ambisi segelintir pihak. Jangan biarkan semburan gas beracun menjadi warisan kita kepada generasi mendatang. Daratei adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan lingkungan, dan kita semua memiliki tanggung jawab moral untuk melindunginya.

Menjaga Ibu Pertiwi adalah Tanggung Jawab Kita Bersama

Mari kita menjaga apa yang masih tersisa, memperjuangkan keadilan, dan memastikan bahwa pembangunan benar-benar untuk manusia, bukan manusia untuk pembangunan.

Daratei adalah panggilan profetik kita hari ini. Jika kita diam, maka kita telah turut menjadi pelaku dalam dosa terhadap alam. Bergandengan tangan, kita bisa menyelamatkan Ibu Pertiwi.*

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*