Oleh Celestino Reda, Entrepreneur dan pengamat politik, tinggal di Jakarta
Banyak yang bertanya, mengapa saya tidak pernah berhenti mengeritik Ratu Wulla. Mungkin karena yang sedang menarik perhatian adalah Ratu Wulla dengan berbagai fenomena yang mengitarinya sehingga seakan-akan hanya Ratu Wulla yang saya kritik. Saya coba menjawab.
Pertama, sesungguhnya, saya mengeritik Ratu Wulla—dan orang-orang lain seperti Ratu Wulla—karena dia adalah politisi yang juga pejabat publik. Hingga saat ini Ratu Wulla masih menjadi anggota DPR-RI periode 2019 – 2024. Masa jabatan Ratu Wulla baru akan berakhir Oktober 2024 nanti.
Sebagai pejabat publik atau negara, Ratu Wulla banyak mendapat fasilitas dari negara. Mulai dari rumah DPR-RI di Kalibata, listrik, air, gaji, hingga hal-hal lain. Dan untuk membiayai semua fasilitas itu, menggunakan pajak rakyat. Pajak Anda dan saya.
Saya tidak mungkin mengeritik seorang Agustinus yang bukan pejabat publik karena tidak ada urusannya.
BACA: Ratu Wulla di “Jalan Heroik – Romantis Palsu” (lapiero.com)
Kedua, Ratu Wulla sesuai dengan klarifikasinya akan maju sebagai Calon Bupati SBD. Sekali lagi, dia ingin merebut kekuasaan sebagai pejabat publik.
Jika ia akhirnya menjadi Bupati, maka bermacam-macam fasilitas negara pun akan diberikan kepadanya. Selain itu, Bupati juga berkuasa membuat kebijakan yang bisa memengaruhi hajat hidup banyak orang, khususnya di wilayah kekuasaannya.
Karena itu warga masyarakat perlu terus mengeritik penguasa seperti Bupati atau pemerintah daerah agar kebijakan yang dibuatnya menguntungkan rakyat, bukan menguntungkan oligarki atau keluarga dan kelompoknya sendiri.
Berikutnya mengapa saya yang bukan pemilih Ratu Wulla ikut wissa-wissa (teriak-teriak)? Pertama, karena nurani dan akal sehat saya mengatakan ada sesuatu yang salah di balik pengunduran diri Ratu Wulla.
Kedua, karena saya merasa diri sebagai orang Sumba. Besar kerinduan saya, orang Sumba semakin berperan di tingkat nasional. Nah! Ini sudah didapatkan, tapi ditinggalkan oleh Ratu Wulla. Makanya akal waras saya bertanya ada apa ini?
Dalam kasus Ratu Wulla, beberapa basodara meminta kita untuk diam, tidak usah bersuara, sebab kita bukan pemilih Ratu Wulla. “Sementara yang pemilih Ratu Wulla tenang-tenang,” begitu ungkapan mereka.
Tapi apakah basodara masih ingat ketika IKBS membela Poroduka, demo protes Victor Laiskodat ketika Victor mengatakan “Monyet lu” kepada seorang Sumba, dan terakhir soal judi bola guling di SBD.
IKBS atau banyak orang lain tidak ada di Sumba. Tapi toh basodara baik di IKBS maupun di luar meminta agar IKBS bersuara dan bertindak.
Kalau ikut logika “pembela” Ratu Wulla, maka ada masalah apa pun di Sumba, kita seharusnya diam saja. Tidak perlu berbuat apa-apa. Cukup fokus kerja di Jakarta atau di mana pun berada lalu dapat uang, dan hidup bahagia bersama keluarga.
Tapi pada kenyataannya, hati nurani memanggil kita untuk tidak diam. Kalau kita diam, selain membuat kita semakin bodoh dan cuek, para politisi, penguasa dan oligarki akan semakin merajalela menguasai harkat hidup kita.
Sekali lagi, saya mengkritik Ratu Wulla karena ia politisi yang juga pejabat publik.
Kalau mau bilang apakah saya ada hubungan keluarga dengan Ratu Wulla, saya pastikan ada.
Sebagai bagian dari keluarga tentu saja saya hormat dan sayang pada beliau. Tapi ketika ia sebagai pejabat publik, saya memposisikan diri saya sebagai warga negara yang perlu mengkritisi pejabat publik tersebut.*
Leave a Reply