Oleh Emanuel Dapa Loka, Wartawan di Jakarta
Dihitung dari sekarang, perhelatan “Demokrasi 2024”, tidak lama lagi. Ancang-ancang menyambut pesta tersebut sudah terdengar di mana-mana, karena memang untuk kerja politik, waktu yang tersisa ini sudah sangat singkat. Para aktor, baik pemain utama maupun figuran sudah mulai pasang mata dan telinga, atau sudah mulai kasak-kusuk baik di balik layar maupun di depan layar.
Sekarang, mari bicara secara mikro, yakni tentang kepemimpinan di Sumba Barat Daya (SBD). Siapa dan bagaimana profil seorang bupati untuk kabupaten dengan 11 kecamatan ini?
Hingga sekarang, setelah Ir. Emanuel Babu Eha selaku pejabat Bupati, SBD sudah mengalami tiga kali pergantian atau pemilihan bupati. Untuk pertama kali (2009-2014), kabupaten yang masih relatif muda ini dipimpin oleh Kornelis Kodi Mete (KKM), pria asal Kodi, yang juga dokter lulusan UGM Yogyakarta.
Seperti sering disampaikan Markus Dairo Talu (MDT), pada perhelatan perdana itu, ada permintaan dari KKM, agar MDT tidak ikut dalam kontestasi tersebut. Tentu saja ini untuk memuluskan jalan KKM memenangkan pertarungan. Mereka sepakat, periode kedua adalah giliran MDT untuk maju, dan untuk periode kedua itu KKM tidak akan ikut maju.
Namun, apa yang terjadi? Ternyata KKM tetap maju untuk kembali merebut kursi SBD (2014-2019). KKM tentu saja memiliki alasan tertentu sehingga maju lagi, meski itu berarti melanggar “komitmen” bersama MDT.
Persaingan di medan laga pun berlangsung seru, untuk tidak menyebut panas membara. Terjadi pertarungan gagasan, gengsi dan sebagainya. Keduanya benar-benar menampilkan diri sebagai sosok terbaik dan layak memimpin SBD. Berbagai strategi, baik yang kotor maupun bersih mereka mainkan. Perang urat syaraf membuat tensi persaingan meninggi dari waktu ke waktu.
Hasil perhitungan KPUD SBD menunjukkan MDT unggul dari KKM. Hasil ini digugat oleh KKM ke Mahkamah Konstitusi dan dimenangi oleh MDT.
Kemenangan di MK tidak serta-merta membawa MDT duduk di kursi Bupati SBD. Setelah proses yang rumit dan antara lain diwarnai pertikaian di akar rumput antara kedua kubu dan menimbulkan korban, akhirnya MDT secara definitif menduduki kursi nomor 1 SBD itu.
Ketika kekuasaan berada di tangannya, MDT mulai menata SBD sesuai konsep yang dia miliki. Lalu sampai pada pertanyaan “siapa duduk di mana”. Karenanya, terjadilah perombakan besar-besaran secara struktural. Orang-orang lama “warisan” KKM diganti dengan orang-orang baru yang menurut MDT lebih cocok menduduki kursi-kursi yang tersedia.
Penggantian pun terjadi secara bergelombang sehingga “kapal” terus mengalami goncangan dengan berbagai isu dan “perang dingin” yang menyertai. Seringkali terjadi “wrong man at the wrong place”.
Ketika tiba pemilihan Bupati untuk periode 2019-2024, MDT dan Kornelis kembali bertemu di medan laga. Persaingan dan perang urat syaraf semakin panas. Persoalannya, mereka sudah sama-sama pernah menjadi bupati dengan berbagai pencapaian menggunakan gaya masing-masing. Inilah saatnya menujukkan siapa yang lebih hebat, lebih dicintai masyarakat dan sebagainya.
Singkat cerita, KKM memenangi perhelatan sengit itu. Kubu MDT menengarai terjadi kecurangan sehingga menggugat ke MK. Akhirnya, Kornelis melenggang ke kursi bupati (2019-2024). Skor 2-1 untuk KKM.
Ketika tiba giliran memimpin lagi, KKM pun kembali menata ulang personil struktural yang ada. Irama yang dimainkan MDT pun ditiru secara sempurna oleh KKM. Soal “siapa duduk di mana” sangat ditentukan oleh KKM dan timnya. Wrong man at the wrong place pun kembali terulang yang dilatari oleh limbah Pilbup.
Hentikan Gaya Tebas
Menjelang perhelatan 2024 nanti, masyarakat SBD harus berpikir ulang, cermat dan kritis. Apakah mau meneruskan gaya balas dendam dengan irama tebas menebas? Kapan pemimpin itu bekerja untuk rakyat jika yang mereka urus hanyalah memenuhi selera rendah: balas membalas?
Pemimpin itu dipilih untuk menjadi teman seperjalanan rakyat menuju “tanah terjanji”, yakni sebuah kehidupan yang lebih baik. Dan yang menggerakkan mesin perubahan adalah pemimpin itu sendiri bersama perangkat yang dia miliki. Sebagai yang dipimpin, rakyat menunggu kebijakan sang pemimpin.
Pertanyaannya, kapan sang pemimpin benar-benar bekerja untuk rakyat jika atmosfer yang ada adalah atmosfer balas dendam dengan dasar like dislike akibat tinja peninggalan masa lalu?
Lebih dari itu, mereka telah meninggalkan polarisasi atau perpecahan di masyarakat. Masyarakat dan orang-orang Pemda terbagi dalam kubu “Orang MDT dan orang Kornelis”. Ini warisan yang tidak berharga dan harus segera dihentikan.
Bagaimana cara menghentikan? SBD sebaiknya dipimpin oleh orang baru yang tidak berasal dari lingkaran MDT atau Kornelis. Kita membutuhkan orang baru dengan visi baru, yang tidak terkontaminasi oleh racun mematikan bernama “kubu-kubuan” warisan masa lalu itu. Kita membutuhkan sosok negarawan yang bebas dari kepentingan dan psikologi MDT dan Kornelis.
Dengan pemimpin baru, semangat SBD untuk maju bersama kembali dihidupkan dan menjadi roh perjuangan bersama.
Catatan penting untuk pemimpin baru. Dia haruslah orang muda dengan semangat muda, kreatif, cerdas, memiliki jaringan yang luas baik di dalam SBD maupun di luar, pandai merangkul kembali masyarakat dan tidak korupsi.
Dia juga harus menjadi Ina Ama untuk semua, mau berjalan bersama anak-anaknya dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan yang menyertai secara adil.*
2024 waktunya memilih orang baru untuk memimpin SBD yang lebih maju,
Semoga ada putra terbaik SBD yg di restui oleh Para leluhur dan diberkati Tuhan