Hidup lima sekawan SMA—Lina,Tina, Tomi, Rano, dan Tika—seperti mimpi indah yang tak berkesudahan. Mereka merupakan murid-murid di sekolah elit yang serba nyaman. Nilai bagus datang dengan mudah, tak perlu belajar keras. Semua naik kelas tanpa tekanan. Guru-guru mereka seperti selimut hangat yang melindungi dari dinginnya disiplin. Tak ada teguran, tak ada ancaman kegagalan, hanya kemudahan demi kemudahan.
Akan tetapi kehidupan di bawah selimut ini mulai berguncang ketika Pak Togar datang. Guru baru itu langsung menjadi pembicaraan hangat. Dia dikenal tegas, disiplin, dan selalu berbicara tentang prinsip hidup. Banyak murid tidak menyukai pendekatan yang dilakukannya, tapi tak bisa menyangkal bahwa pria tinggi berambut ikal sedikit memutih itu memiliki aura yang membuat siapa pun segan.
Hari pertama Pak Togar bertugas piket, lima sekawan yang biasa santai mulai merasakan perbedaan. Saat bel masuk berbunyi, mereka masih berjalan pelan di koridor, sambil bercanda tentang film yang mereka tonton tadi malam. “Ah, santai saja. Toh, guru-guru biasanya nggak peduli kalau telat sedikit,” kata Rano sambil tertawa.
Namun, saat mereka melangkah melewati pintu gerbang, suara lantang Pak Togar menggelegar, “Berhenti!”
Mereka semua terpaku. Pak Togar berdiri di sana dengan stopwatch di tangan. “Telat tiga detik. Hitungan waktu itu penting, bukan main-main. Hidup kalian tidak selamanya di bawah selimut!” katanya.
Mereka hanya saling pandang, bingung sekaligus kaget. Dalam hati, Lina bergumam, Ini baru tiga detik, kenapa dia lebay sekali?
Sejak saat itu, suasana sekolah berubah. Pak Togar mengawasi dengan ketat, memastikan semua murid menghargai waktu. Tugas-tugas diberikan dengan kejelasan tenggat waktu, dan dia selalu menekankan pentingnya kerja keras serta tanggung jawab. Banyak yang menggerutu, termasuk lima sekawan.
Puncaknya terjadi pada hari Senin pagi. Lina, yang biasanya dikenal disiplin dan selalu tiba paling awal di sekolah, kali ini terlambat. Semua berawal dari keasyikannya memeriksa media sosial saat bersiap mandi. Ketika akhirnya ia tiba di sekolah, bel sudah berbunyi beberapa detik sebelumnya. Dengan wajah tegang dan napas terengah, Lina berlari menuju gerbang. Tapi langkahnya terhenti mendadak.
Pak Togar berdiri di sana dengan tatapan dingin.
“Lina,” katanya, nada suaranya keras tapi tenang, “Telat separuh badan artinya separuh hati untuk hidup.”
Lina membeku di tempat. “Saya hanya terlambat beberapa detik, Pak!” katanya sambil mencoba mempertahankan martabatnya.
“Tidak ada yang namanya ‘beberapa detik’ dalam hidup yang serius. Tuliskan refleksi sebanyak tiga halaman. Judulnya: Kenapa saya terlambat separuh badan? Kumpulkan besok pagi. Itu hukumanmu.”
Lina tidak bisa berkata apa-apa. Wajahnya memerah—sebagian karena rasa malu, sebagian lagi karena amarah yang membakar hatinya. Sepanjang hari, ia tak henti-hentinya mengeluh kepada teman-temannya.
“Ini gila! Siapa dia berpikir bisa mengatur hidup kita sampai ke detik-detiknya?” Lina hampir menangis. “Aku muak dengan aturan-aturan ini! Hidup kita seperti penjara!”
Lina sempat mempertimbangkan berbagai cara untuk melawan, dengan cara mengadukan perlakuan Pak Togar kepada orang tuanya, menghubungi pengacara, bahkan menuntut ke pengadilan. Namun, di balik amarahnya, ada pergulatan batin yang terus-menerus, perasaan campur aduk — antara ingin memberontak dan mencoba memahami.
Pada malam harinya, saat ia duduk di depan meja belajar untuk mulai menulis refleksi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Awalnya, ia mencoret-coret dengan penuh emosi, menuliskan keluhan tentang ketidakadilan.
Tapi semakin lama ia mencoba merangkai kata-kata, pikirannya mulai merunut kejadian pagi tadi. Ia ingat waktu-waktu yang terbuang di media sosial. Ia teringat bagaimana selama ini ia selalu mengandalkan keberuntungan, merasa segalanya akan berjalan lancar tanpa usaha lebih.
Tangan Lina gemetar ketika ia menuliskan kalimat terakhir di halaman ketiga. Entah bagaimana, refleksi itu terasa seperti cambuk bagi dirinya sendiri. Ia sadar, mungkin ada kebenaran yang tersembunyi di balik kalimat dingin Pak Togar. Lina tak tahu apakah ia akan benar-benar bisa menerima, tapi ia tahu satu hal, yakni hidupnya tak lagi bisa berjalan seperti biasa.
“Separuh badan, separuh hati…” gumam Lina sambil menatap layar laptopnya. Ia akhirnya menulis dengan jujur tentang kebiasaan buruknya, yakni suka menunda-nunda, terlalu bergantung pada keberuntungan, dan jarang memikirkan tanggung jawab jangka panjang.
Ketika refleksi itu selesai, Lina merasa ada yang berubah dalam dirinya. Pikirannya lebih jernih. Ia mulai melihat maksud di balik ketegasan Pak Togar. Mungkin, hidup memang tidak bisa selamanya di bawah selimut kenyamanan, pikirnya.
Keesokan pagi, Lina menyerahkan tugas refleksi kepada Pak Togar. Guru itu membaca dengan tenang, lalu menatap Lina dengan tatapan penuh arti. “Bagus,” katanya singkat. “Kamu sudah mulai paham.”
Hari-hari berikutnya, lima sekawan mulai berubah, terutama Lina. Ia menjadi lebih disiplin, tak lagi santai menghadapi waktu. Perlahan, pengaruh tersebut menular ke teman-temannya.
“Aku tadinya pikir Pak Togar itu kejam,” kata Tina suatu hari. “Tapi sekarang aku paham. Hidup memang tidak akan selalu nyaman.”
“Betul,” sahut Rano. “Ternyata, belajar menghargai waktu itu penting.”
Mereka akhirnya menyadari bahwa Pak Togar bukan musuh. Ia adalah pengingat bahwa hidup membutuhkan perjuangan dan tanggung jawab. Meski awalnya terasa berat, mereka mulai memahami bahwa selimut kenyamanan tak selamanya baik.
Di akhir semester, Pak Togar memanggil lima sekawan ke ruangannya. “Saya tahu perubahan tidak pernah mudah. Tapi kalian sudah menunjukkan bahwa kalian bisa melakukannya. Ingat, hidup adalah tentang berpacu dengan waktu, bukan bersembunyi di bawah selimut.”
Mereka tersenyum. Kata-kata itu bukan lagi terdengar keras, tetapi penuh makna. Dari Pak Togar, mereka dapatkan pelajaran penting yang tak diajarkan di bawah selimut, yaitu hidup adalah perjuangan yang harus dijalani dengan sepenuh hati.*
Leave a Reply