Jatah

Ariel Heryanto

Oleh Ariel Heryanto, Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia

Tanpa adu program kerja, debat pemilu mudah terpelosok pada soal agama, keturunan atau nasionalisme sempit. Modalnya kutipan khotbah, slogan Pancasila, emosi dan prasangka. Bukan akal, wawasan dan fakta.

Pemilihan umum (pemilu) hanya bermakna bagi rakyat banyak jika ia membantu mengatasi masalah mereka. Misalnya masalah kesehatan, pendidikan, hak pekerja, perumahan, atau kekerasan seksual. Pemilu juga maha penting jika hasilnya berdampak pada perombakan konstitusi atau kebijakan global seperti perubahan iklim dan hubungan luar negeri.

Di negara mana pun semua masalah itu maha berat untuk ditangani satu partai politik. Apalagi untuk satu politikus. Betapa mubazir membahas elektabilitas calon presiden secara individual, jika mereka bukan politikus terkuat dari salah satu partai terkuat.

Untuk mencapai hasil terbaik dari sebuah pemilu, masyarakat demokratis membuka adu tanding rancangan program kerja dari berbagai partai politik. Tak penting siapa nantinya menjadi kepala pemerintahan. Program dan komitmen partai pemenang akan jalan terus dengan ketua yang sama atau berubah karena sakit, mundur atau mati.

Di negara otoriter ada partai besar. Tapi di sana tidak ada yang berani menekan penguasa partai untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat luas. Semua pihak dituntut memuja ketua partai. Kalau pun ada program besar bagi bangsa, program itu bukan pilihan rakyat bebas. Bukan hasil terbaik dari adu tanding sejumlah versi program kerja untuk masa depan bangsa.

Di negara demokratis nasib partai politik sangat bergantung pada dukungan masyarakat yang bebas menentukan pilihan politik. Demi meraih dukungan masyarakat, partai-partai berlomba menyusun program kerja yang menjawab kesulitan hidup masyarakat. Sebaliknya masyarakat membutuhkan partai yang mau dan mampu mewakili kepentingan mereka. Timbal balik itu saling menguntungkan.

See also  Medali Emas Sepak Bola dan Kebanggaan Orang Papua

Tentu saja tidak ada jaminan rencana kerja partai akan terwujud di masa depan yang penuh ketidakpastian. Tapi dengan adanya rencana kerja yang cermat, sebagian tidak kecil kerja untuk masa depan sudah selesai. Terlepas dari hasilnya nanti, debat pemilu bisa mencerdaskan kehidupan berbangsa jika berjalan terbuka, jujur dan berdasarkan fakta.

Dalam debat itu yang diuji habis-habisan adalah keunggulan dan kelemahan visi dan strategi kerja partai-partai peserta pemilu. Bukan rangkaian kata-kata mutiara. Bukan adu slogan atau janji muluk. Bukan debat penuh basa-basi. Pada hari pemilu rakyat memilih rancangan masa depan bangsa yang ditawarkan partai peserta pemilu. Bukan sekadar memilih seorang politikus populer.

Walau tidak sempurna, semangat politik mirip begitu pernah hadir di Indonesia pada tahun-tahun awal pasca-kemerdekaan. Masa itu mungkin asing bagi generasi muda kini. Maklum masa itu berlangsung pendek. Ibarat kuntum bunga layu sebelum berkembang. Lagi pula sejarah masa lalu itu tidak banyak dibahas di sekolah.

Apa yang dapat diharapkan dari pemilu yang terfokus pada individu calon presiden? Puluhan juta pendukung bisa menghantar tokoh populer menuju istana lewat pemilu. Seusai hari pemilu puluhan juta pendukung itu tidak ikut masuk istana dan meringankan kerja presiden. Jika ia bukan orang terkuat dari partai terkuat, ia akan kikuk di istana yang sudah lama terkepung aneka kekuatan lain.

Jika tak ingin digulingkan seperti Gus Dur, ia harus melayani kepentingan berbagai pihak tersebut. Apa yang dapat diharapkan dari pemilu tanpa adu program kerja yang berbobot secara mendalam, meluas dan menyakinkan dari kontestan pemilu? Tapi mana mungkin ada partai politik mau menyusun program kerja demikian, jika hal itu tidak pernah dituntut dari mereka? Lebih dari setengah abad tak ada lagi adu visi dan strategi partai politik. Lebih dari setengah abad masyarakat tidak terbiasa berharap kepentingan mereka akan diwakili partai politik.

See also  Penyesatan dalam Buku “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan”

Nyaris tak ada partai politik berlandaskan ideologi kuat dan visi kemanusiaan sedunia yang terpadu dengan kepentingan bangsa. Hampa visi dan ideologi, partai politik serba pragmatis. Siap berkoalisi dengan siapa pun asal diberi jatah kekuasaan. Individu politikus melompat-lompat pindah partai.

Tak ada satu pun partai yang cukup besar didukung masyarakat sehingga siap menjadi pemerintah demokratis tanpa berkoalisi. Tidak ada partai besar berperan partai oposisi. Yang ada: banyak partai politik, semuanya menderita deficit dukungan masyarakat.

Semua partai berkiblat pada pucuk kekuasaan. Bukan masyarakat bawah. Ketika pimpinan negara berganti, mereka bergegas menyesuaikan sikap, demi jatah kekuasan. Jatah kuasa bersumber dari kedekatan dengan penguasa di atas. Tak ada insentif bagi mayoritas partai untuk peduli pada kepentingan masyarakat luas.

Nyaman dengan status-quo, semua partai ingin mempertahankan sistem yang ada. Yang berganti hanya pejabat negara, ibarat giliran arisan eksklusif di kalangan elite. Persaingan antar-partai bukan tidak ada. Tapi ini bukan persaingan membina kepercayaan rakyat. Ini persaingan sesama elite dalam pembagian jatah kuasa.

Dalam situasi demikian, wajar jika sebagian masyarakat cuek pada politik. Sebagian mencibir partai dan pemilu. Yang lain pasrah pada nasib atau pada kehendak Tuhan. Sebagian merindukan tokoh Ratu Adil. Sisanya terhasut politik identitas.

Tanpa adu program kerja, debat pemilu mudah terpelosok pada soal agama, keturunan atau nasionalisme sempit. Modalnya kutipan kotbah, slogan Pancasila, emosi dan prasangka. Bukan akal, wawasan dan fakta. Melarang politik identitas tanpa menyimak penyebabnya seperti melarang pamer gaya hidup mewah tanpa mengungkit penyebab semakin parahnya ketimpangan kaya-miskin.

Politik identitas menggejala global. Untungnya di Indonesia politik identitas berbeda dari sejumlah negara lain. Di sini tak ada partai besar yang fanatic memperjuangkan politik identitas dengan harga mati. Di sini politik identitas hanya sebuah gaya musiman. Hanya marak ketika ada elite terancam kalah pemilu, lalu menghasut massa agar beringas.

See also  Paskibraka, Duta Bangsa di Mata Dunia

Di sini politik identitas merupakan alat gertak sebagian elite untuk menaikkan daya tawar dalam bursa koalisi. Ingat kasus pemilu dan pilkada yang lalu. Sesudah diberi jabatan, walau kalah pemilu, mereka jadi anteng dan manis. Kini musim pemilu sudah menghangat. Bersiaplah.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 November 2022 di halaman 1 dengan judul “Jatah”. https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/25/jatah

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*