Di tengah hiruk-pikuk masalah sosial politik mendekati Pilpres 2024, banyak kalangan masyarakat bertanya, “Bagaimana sikap penulis terhadap maraknya deklarasi mendukung figur-figur politik yang memenuhi media massa maupun media sosial.”
Terutama, banyak yang mempertanyakan: bagaimana sebenarnya hubungan penulis dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Sukarno Putri selama ini. Pertanyaan itu muncul lantaran khalayak tahu bahwa penulis bukan anggota PDI Perjuangan walaupun tetap aktif di bidang sosial politik dengan berbagai cara.
Dapat penulis tegaskan di sini, bahwa hubungan penulis dengan Megawati, yang sejak dahulu penulis sapa dengan Adis, adalah baik-baik saja dan tidak kurang suatu apapun.
Memang, sejak invasi setan siluman Covid-19, penulis jarang bertemu dengan Adis. Biasanya kita berhubungan melalui telepon atau Zoom, khususnya pada Hari Raya Lebaran, ulang tahun, atau tahun baru.
Untuk hal-hal khusus mengenai masalah sosial politik, biasanya penulis menyampaikan melalui putri penulis yang legislator PDI Perjuangan, Puti Guntur Soekarno Kameron. Selain itu, juga melalui Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, atau Wakil Ketua MPR DR Ahmad Basarah. Hal tersebut penulis lakukan karena sisi kepraktisan saja, bukan karena hal-hal yang lain.
Kedekatan hubungan Adis dengan penulis sudah terjalin sejak masa kecil, masa remaja, sampai saat ini. Jadi, apapun keputusan yang diambil oleh Adis sebagai ketua umum partai, adalah hal yang wajar di benak penulis. Sifat dan wataknya sejak masa kecil sampai dewasa tetap tidak berubah dan konsisten sampai sekarang.
Masa Kecil di Istana Merdeka
Ingatan penulis mulai terekam dengan baik ketika kami sekeluarga kembali ke Jakarta dari Yogyakarta di akhir tahun 1949. Adis adalah teman bermainku dengan kawan-kawan yang lain, yang kebanyakan adalah pria. Mereka adalah anak-anak para pelayan, tukang kebun, supir, bahkan juru masak Istana.
Walaupun Adis seorang perempuan, dia tidak canggung bermain dengan teman-teman pria yang lain seperti main petak umpet, petak kaleng, main kasti, bahkan sepakbola.
Watak keras hatinya sudah tampak sejak kecil. Sebagai contoh, bila kita melarang ikut bermain sepakbola, maka bola yang akan kita gunakan didudukinya tanpa banyak bicara sampai dia diperbolehkan ikut bermain.
Bila musim hujan tiba, sebagian halaman Istana Merdeka ketika itu dilanda banjir. Adis bersama dengan kami berhamburan bermain air hujan sehingga basah kuyup. Mengetahui hal ini, biasanya yang marah adalah Ibu Fatmawati Sukarno, karena khawatir kita akan terkena flu. Segera kami yang basah kuyup harus menelan tablet Aspro setengah butir.
Karena kami berdua sering menonton film Tarzan, si raja hutan yang avonturir, kadang-kadang penulis mengajak Adis untuk keliling Istana Merdeka dan Istana Negara sepulang sekolah, mencari segala macam buah-buahan yang ada di kedua halaman Istana. Buah favorit kami adalah buah buni, yang bila sudah masak berwarna hitam. Pohonnya berada tidak jauh dari ruang perwira piket Istana. Penulis yang memanjat pohonnya dan Adis yang menangkap buah Buni di bawah pohon.
Dari sana kami berdua berjalan kaki ke pohon asam Jawa yang terletak dekat gudang Istana. Karena pohonnya tinggi kami hanya memungut buah asam yang sudah jatuh di halaman rumput di bawahnya. Untuk diketahui buah asam tersebut rasanya tidak masam sebagaimana biasanya buah asam, melainkan manis layaknya manisan asam Jawa.
Selanjutnya, kami pergi ke halaman paviliun di Istana Merdeka yang ada pohon jambu biji (jambu klutuk). Saya dan Adis tidak canggung memanjat pohon tersebut.
Setelah selesai memetik beberapa buah yang sudah masak, kami mlipir pagar temboknya menuju kandang kambing di ujung tembok. Di atas atap kandang kambing, yang diberi nama oleh Bung Karno si Bandot yang jantan dan si Manis yang betina, dengan berlapiskan daun pisang kami berdua menikmati hasil avonturir kita di sekeliling Istana. Rasanya nikmat sekali menyantap buah-buahan di atas atap kandang kambing.
Berdua kami tidur-tiduran di sana hingga kumandang azan maghrib, baru kemudian kembali ke Istana Merdeka untuk mandi sore. Yang menggerutu biasanya adalah para pengasuh kita, yakni Pak Mahmud dan Bu Tjitro Sentono.
Pengalaman tersebut benar-benar peristiwa yang luar biasa membahagiakan kami berdua di masa kecil.
Masa Remaja sebagai Anak Presiden
Ketika penulis duduk di kelas 2 SMA dan Adis di kelas 3 SMP, di samping harus belajar mengaji dengan seorang guru wanita, kami diharuskan juga oleh Bung Karno untuk belajar menari tarian Jawa. Sedangkan adik-adik yang lain tarian Sunda. Rachmawati, misalnya, belajar tari Topeng Sunda dari seorang perempuan penari Topeng Sunda yang terkenal dari Sumedang, yang beberapa bulan lamanya menginap di Istana Merdeka.
Adapun tarian yang penulis pelajari adalah tarian Gatotkaca aliran Solo, sedangkan Adis belajar tarian Gambyong dan Menakjinggo dari Jawa Tengah.
Selama lebih kurang setahun penulis berguru tarian Gatotkaca kepada maestro dari Sriwedari Solo, bernama Rusman, yang datang ke Istana Merdeka dua sampai tiga minggu sekali. Selain belajar tari, penulis juga bermain musik dengan mendirikan Band Ria Remaja bersama kawan-kawan sekolah.
Di masa ini Bung Karno mulai mengajarkan, atau lebih tepatnya sering mengobrol masalah politik dengan kami berdua. Perbincangan biasanya kami lakukan saat duduk minum kopi dan camilan sore hari di teras belakang Istana Merdeka.
Bung Karno bercerita bermacam masalah politik, terutama sejarah para pendekar politik di dalam dan luar negeri, seperti HOS Tjokroaminoto, Tan Malaka, Wahid Hasyim, H Misbach, juga Bung Hatta, Sjahrir, Chaerul Saleh, dan tak lupa Sudirman.
Di samping sejarah, Bung Karno juga mengajarkan tentang arti filsafat, seperti Tat Twam Asi Dharma Eva Hato Hanti, Tut Wuri Handayani, dan lain sebagainya.
Untuk urusan bermain bersama, saat itu sudah mulai jarang, karena kami menuruti kegemaran atau hobi masing-masing. Adis biasanya dengan teman-teman wanita sebayanya sering bermain bola bekel, dakon, dan masak-masakan. Mereka yang diajak bermain biasanya teman sekelasnya di Perguruan Cikini.
Sedangkan penulis hobi bermain layangan, membuat model pesawat terbang, dan setiap minggu bermain band di kediaman Gubernur, di Jalan Taman Suropati. Dengan teman-teman, anak-anak karyawan Istana masih juga sering dilakukan seperti main perang-perangan, koboi-koboian, bahkan juga berlatih olahraga jiu jitsu di YCD kawasan Kebon Sirih, Jakarta. Selain itu, penulis mengikuti kursus sulap di Magic Centre, di Jalan Rajawali Selatan, Kemayoran.
Dengan adanya kegiatan masing-masing, frekuensi penulis bermain bersama Adis otomatis berkurang. Meski demikian, masih ada kesempatan berkumpul bila sedang makan siang bersama keluarga.
Ketika penulis lulus ujian SMA dan meneruskan belajar di ITB Bandung jurusan Teknik Mesin, Adis sudah duduk di bangku SMA Perguruan Cikini. Komunikasi penulis lakukan melalui telepon dari Bandung untuk mengetahui perkembangan di Istana Merdeka.
Bandung Candradimuka Politik Praktis
Sebagai mahasiswa, penulis aktif berpolitik praktis melalui Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) cabang Bandung. Selain itu, juga aktif di Gerakan Pemuda Marhaenis, anak cabang Desa Cidadap, Ciumbuleuit, tempat penulis tinggal. Kedua organisasi tersebut adalah organ resmi dari PNI Front Marhaenis.
Ketika lulus SMA, Adis melanjutkan belajarnya ke Universitas Padjadjaran, Bandung, jurusan Pertanian. Di situ dia bersahabat dengan Iwan Abdulrachman, pencipta lagu Flamboyan dan Melati dari Jayagiri yang terkenal. Juga Henny Emilia Hendayani, yang nantinya menjadi istri penulis.
Sebagai mahasiswa, Adis dan Henny menjadi anggota aktif di GMNI. Untuk diketahui, menjadi anggota penuh dari GMNI diharuskan melalui semacam fit and proper test oleh tim indoktrinasi dasar atau Indokda. Di tim itu, penulis menjadi ketua sekaligus pengajar sejarah dan situasi kondisi Indonesia plus Marxisme. Ternyata keduanya lulus dengan predikat sangat baik.
Sejak diterima sebagai anggota penuh GMNI, Adis selalu aktif mengikuti acara-acara yang diselenggarakan oleh organisasi, seperti pawai alegoris untuk unjuk kekuatan, berpidato untuk menarik anggota sebanyak mungkin, turba (turun ke bawah) atau mengunjungi sebuah desa dan harus tinggal bersama penduduk desa selama lebih kurang tujuh hari. Karena kegiatan harian bersama penduduk desa ternyata sangat padat dan melelahkan, terkadang beberapa anggota GMNI putri jatuh pingsan dan kesurupan.
Selain itu, setiap bulan seluruh anggota dan pimpinan cabang GMNI harus mengikuti indoktrinasi ideologi dan politik dari Ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusi DR Roeslan Abdul Gani, yang juga anggota DPP Partai Nasional Indonesia yang membawahi Departemen Penerangan dan Propaganda Front Marhaenis.
Di era Orde Baru Adis dengan bekal kepiawaian politiknya berhasil menduduki kursi Ketua Umum PDI, dan kemudian PDI Perjuangan. Ketika pemilu tahun 1999, dia berhasil menduduki jabatan wakil presiden selama tiga tahun, kemudian menjadi presiden ke-5 setelah Gus Dur dilengserkan.
Era Reformasi
Di era kepresidenan Adis, hubungan penulis tetap berjalan baik, bahkan sering bertandang ke rumahnya di Jalan Kebagusan, Pasar Minggu. Hal positif yang penulis peroleh adalah dapat berkenalan dengan tokoh-tokoh politik Indonesia, termasuk para menterinya dan akademisi kondang luar negeri, seperti Prof Jeffrey Winters. Dari mereka, penulis mendapatkan wawasan yang lebih luas mengenai masalah politik dalam negeri dan luar negeri.
Di samping itu, penulis dapat berkenalan lebih akrab dengan aide de camp (ADC) atau ajudan presiden dari kepolisian, yakni Kolonel Budi Gunawan (pangkat kala itu). Budi Gunawan saat ini menjabat kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Selain itu, juga berkenalan dengan ADC dari TNI AD, putra mendiang Sarwo Edhie Wibowo, yang bernama Pramono Eddy Wibowo. Juga dengan Komandan Paspampres kala itu, Nono Sampono, yang saat ini menjadi wakil ketua DPD. Begitu pula dengan ekonom Kwik Kian Gie, yang sampai dengan saat ini masih terus berdiskusi dengan penulis mengenai masalah politik ekonomi setiap minggunya.
Pembaca, begitulah sekilas pengalaman penulis bersama Adis, alias Megawati Soekarno Putri, yang mungkin tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum. Semoga “dongeng” ini ada manfaatnya bagi generasi muda patriotik Indonesia, agar tidak sekali-kali meninggalkan sejarah.
Adis, selamat hari ulang tahun. Sehat, sukses, dan selalu dalam lindungan Allah SWT.
Jakarta, 23 Januari 2022
Mas Tok (Guntur Soekarno)
Leave a Reply