Pemilu, Saatnya “Menghukum Pembohong”

 

Oleh Emanuel Dapa Loka, Lakawa Desa Piero, Wewewa Barat, SBD

Sebentar lagi, tepatnya pada 14 Februari 2024, rakyat Indonesia baik yang di Tanah Air maupun di luar negeri akan merayakan pesta demokrasi terakbar, yakni Pemilu. Pada saat itu rakyat akan memilih Presiden, anggota DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD.

Pertanyaan yang segera mengemuka adalah ”Siapa yang layak dipilih untuk menduduki kursi-kursi terhormat tersebut?” Tentu saja mereka yang memenuhi syarat. Kalau soal persyaratan administratif, tentu mereka sudah lolos atau memenuhi semua syarat.

Apakah setelah memenuhi syarat administratif serta-merta mereka semua layak dipilih? Tentu saja tidak semua. Mereka yang paling tidak layak dipilih adalah mantan koruptor, mantan pengedar narkoba, mantan pelaku pelecehan seksual, terutama terhadap anak di bawah umur. Mengapa? Karena tindakan-tindakan tersebut tergolong extraordinary crime atau kejahatan luar biasa.

Bagaimana mungkin wewenang mengurus nasib banyak orang dipercayakan kepada orang-orang cacat moral secara berat? Mereka inilah yang pertam8a-tama harus dihukum dengan tidak dipilih.

Calon lain yang harus dihukum adalah mereka yang telah terbukti mengkhianati kepercayaan yang rakyat berikan kepada mereka. Misalnya, seorang yang pernah terpilih sebagai anggota Dewan, namun abai terhadap tugasnya.

Mereka yang segera setelah terpilih tidak pernah kelihatan batang hidungnya, atau pun kalau datang hanya bertemu orang-orang tertentu, atau baru muncul lagi menjelang Pemilu, sangat tidak layak dipilih lagi. Orang semacam ini telah mengkhianati masyarakat pemilihnya. Dia harus dihukum secara beramai-ramai oleh masyarakat. Di sinilah juga letak kedaulatan rakyat.

Namun, hal yang perlu diingat, setelah tidak memilih pengkhianat, jangan sampai asal memilih orang lain. Seorang pemilih yang mencintai daerahnya, yang menginginkan perubahan, harus cermat menentukan pilihannya. Caranya, berusaha mengenal para Caleg. Kenali tingkat pendidikannya, moralitasnya dan rekam jejak perannya dalam masyarakat atau komunitasnya. Cermati rekam jejaknya.

See also  Maramba - Ata dalam Keluarga Demokrasi

 

Pilih yang Tidak Membayar

Satu hal yang sama pentingnya dengan kriteria di atas, pilihlah yang tidak membayar Anda. Bayarannya yang 50 ribu atau 100 ribu atau berapa pun itu adalah bentuk konkret dari penghinaan atau pelecehan terhadap rakyat. Ingatlah! Moral dari yang memberi maupun yang menerima sama-sama bermasalah—untuk tidak secara kasar menyebut rusak. Bayar membayar dalam konteks ini adalah tindakan kejahatan karena melanggar peraturan.

Mengapa seorang anggota legislatif tidak pernah muncul lagi setelah dia terpilih? Karena dia tidak memiliki   ikatan batin dan moral lagi dengan masyarakat pemilihnya, sebab ”ikatan” itu telah terputus oleh tebusan tunai dalam rupa lembaran biru atau lembaran merah.

Di sini berlakulah adagium yang mengatakan: Kekuasaan yang didapatkan dengan kekuatan uang akan digunakan untuk mengumpulkan uang. Sang terpilih hanya berusaha memutar otaknya untuk mendapatkan seluruh biaya yang dia telah keluarkan, lalu mengumpulkan sebanyak mungkin untuk dirinya. Baginya, nasib para pemilihnya, bukan lagi urusannya.

Tidak ada pilihan lain, politik uang harus dihentikan. Ini penyakit mematikan yang mengancam kesejahteraan bersama.

Pengalaman ini sudah berkali-kali terjadi dan akibatnya sudah terasa dari periode ke periode. Lalu, masih mau dibayar sehingga akibat yang sama teralami lagi? Ini namanya keterlaluan!!

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*