Oleh Emanuel Dapa Loka, Warga Desa Pero
Pasca Pilpres dan Pileg, Indonesia—tentu saja termasuk Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD)—disibukkan dengan ikhtiar “Mencari Pemimpin” yang tepat untuk menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota.
Dan masa kampanye adalah masa-masa atau kesempatan untuk menimbang-nimbang sekaligus mengelus calon yang para pemilih mauai. Para calon pun dengan berbagai cara akan berlomba-lomba merapat ke masyarakat. Dari situlah antara lain, rakyat mengenal para calon.
Tentu saja, dasar paling logis dan bertanggungjawab dalam menentukan pilihan adalah pengetahuan atau pengenalan yang memadai tentang para calon. Dari situlah para calon pemilih mengambil keputusan untuk “Memilih siapa” pada saatnya.
Dalam memilih pemimpin publik, hal yang paling baik diketahui adalah rekam jejak, visi misi dan program kerja para calon. Adakah para calon, melalui program dan trust yang terbentuk dalam rekam jejak akan mampu menjawab kebutuhan masyarakat? Apakah mereka calon pemimpin yang kreatif dan mampu menerobos kebuntuan-kebuntuan yang ada?
Apakah mereka calon pemimpin yang memiliki jaringan atau koneksi dengan pihak-pihak lain yang bisa menjadi mitra strategis dalam pembangunan? Adakah mereka tergolong orang yang kata-katanya selaras dengan perbuatan mereka? Jangan sampai ibarat ”Latihan lain, main lain”.
Dalam menentukan pilihan nanti, carilah calon pemimpin yang paling banyak memikiki keunggulan di bidang-bidang tersebut.
Hal lain yang patut ditimbang adalah bagaimana kesetiaan mereka kepada komitmen dan bagaimana pula kemampuan dalam menggerakkan orang lain untuk terlibat. Dan hal tersebut tidak harus tampak dalam perbuatan-perbuatan berskala besar sebab belum semua dari mereka sudah pernah mendapat kesempatan seperti itu. Maka, cermati kehadiran dan dampak kehadiran mereka dalam masyarakat. Bagaimana mereka menjadi Bapak atau ibu keluarga, bagaimana perilaku mereka dalam masyarakat?
Role Model
Mengapa hal tersebut penting? Agar jangan sampai kita memilih orang yang gemar berjudi, mabuk-mabukan dan mungkin yang broken home, koruptor, tukang tipu. Mau tidak mau, seorang pemimpin adalah role model bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Memanglah kita tidak sedang menjirat malaikat untuk memimpin kita, tapi kita perlukan pemimpin bisa menjadi Ina Ama yang bisa berdiri dan berjalan di depan untuk diikuti masyarakat, dan masyarakat itu selamat sampai ke tujuan. Perbuatan adalah pelaksanaan kata-kata. Maka, jangan latihan lain, terus main lain.
Masyarakat menginginkan pemimpin yang gelisah dengan nasib orang-orang dipimpinnya. Mengapa? Karena ”Kegelisahan” itu menggerakkan sang pemimpin untuk mengerahkan segala kemampuan yang dia miliki, menghidupkan semua link yang ia punyai untuk mengangkat kehidupan orang-orang yang memilihnya itu untuk terlepas dari aneka persoalan yang membelenggu dan terbukti tak sudi melepaskan mereka dari kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dari masa ke masa.
Seorang pemimpin yang gelisah adalah pemimpin yang peduli, mau terlibat, berbaur, lalu dengan otoritas yang dimilikinya, mengajak masyarakat beranjak menuju situasi hidup yang lebih baik.
Seorang pemimpin harus bisa dipegang kata-katanya. Jangan sampai sekarang bilang A, tapi sejurus kemudian berubah. Kemudian bilang B, lalu selangkah kemudian bertindak lain lagi.
Komitmen dan konsistensi adalah saudara kembar yang harus melekat erat pada pemimpin. Dan yang sangat tidak kalah pentingnya, seorang pemimpin harus mampu mengendalikan diri untuk berbagai nafsu liar semacam nafsu untuk kaya, nafsu untuk korupsi, nafsu untuk menguasai, nafsu untuk dihormati, nafsu mencari hiburan-hiburan tidak sehat seperti berjudi, mabuk, berselingkuh dan lain.
Sekali lagi, kita memang tidak sedang mencari malaikat, tapi suka atau tidak suka, kriteria-kriteria tersebut harus terpenuhi. Kalau tidak semuanya terpenuhi, cari yang paling mendekati.
SBD membutuhkan pemimpin yang tidak digelayuti “Masa lalu” yang bisa menjadi penghalang dalam melayani rakyat. Carilah pemimpin yang bisa melangkah dengan ringan di antara segala situasi, dan dengan itu dia bisa secara lepas bebas melayani masyarakat.
Memilih dengan alasan karena yang bersangkutan membayar, adalah keputusan paling tidak bertanggungjawab. Menerima bayaran adalah sebuah kesediaan menerima dengan tangan terbuka untuk tidak dipedulikan selama lima tahun ke depan.
Jika memilih karena dibayar, maka, baik yang membayar maupun yang dibayar, sama-sama tidak punya landasan etis untuk terdorong melayani dan menuntut dilayani. Apakah Ratu Wulla, Adi Lalo dan Gustaf adalah calon pemimpin yang menggelisahkan kehidupan rakyat SBD? Masih ada waktu, mari berpikir jernih, jangan hanya andalkan perasaan dan panga’a mema.*
Leave a Reply