
Oleh Yudi Latif
Saudaraku, berita duka mengentak seketika. Dini hari tadi, saya mendapat kabar, Rm. Antonius Benny Susetyo Pr, rekan seperjuangan saat mendirikan UKP-PIP (BPIP), meninggal dunia.
Sebagai karib, saya mengenal kelebihan dan kekurangannya sbg manusia. Betapa pun, kabar kematiannya yg mendadak ibarat petir di siang bolong.
Sungguh kematian itu menjemput kita secara acak. Bila ajal tiba, malaikat pencabut nyawa akan merenggutnya, tak peduli siapa, berapa usia, kapan, dan dimana.
Dan setiap kali mendengar kabar kematian, bergetar hatiku menginsyafi larik puisi W.S. Rendra–disitir dari Alkitab. “Hidup itu seperti uap, yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap.”
Keindahan hidup itu begitu singkat. Bak bunga yg tersenyum semerbak hari ini segera layu dlm hitungan hari. Kenikmatan hidup itu bak petir yang mengejek kegelapan malam, cahayanya berpendar sekelebat lantas lenyap.
Ya, hidup itu sungguh pendek, sedang kehidupan itu panjang. Maka, tak sepatutnya demi penghidupan kita korbankan kehidupan.
Semua orang memimpikan keabadian, namun banyak org terperangkap pesona kenisbian.
Mestinya kita tak mengabadikan sesuatu yg takkan dibawa mati.
Orang boleh kaya dan digdaya. Namun, jika kelimpahan harta dan kuasa itu tak menumbuhkan raharja-sentosa bagi kehidupan, maka ia akan mengapung sebentar laksana buih, lantas lenyap disapu gelombang.
Andrew Carnegie, miliuner AS yang memelopori standar kemuliaan org kaya dgn ukuran kedermawanan, mengingatkan, “Orang yang mati dgn meninggalkan kekayaan berlimpah, tanpa memberi manfaat bagi sesama, mati dlm kehinaan.”
Ada cara, hidup pendek itu bisa terpatri mulia abadi dlm kehidupan. Pelayanan dan amal saleh, ilmu yg bermanfaat, dan menyiapkan generasi berakhlak mulia adalah berkarya utk keabadian.
Hidup singkat itu hendaknya seperti bunga. Memberi keindahan dan energi positif pada dunia. Dalam kisah pendek, ada jejak abadi yang ditinggalkan. Bunga boleh cepat layu, tapi namanya tetap harum lestari. Selamanya org mengagumi dan menyebutnya: “anggrek”, “mawar”, dan sebutan lain yang terpatri dalam ingatan semesta.
Menulislah saat hidup atau dituliskan orang saat mati. Hidup mulia memberi arti. Dalam mati kita abadi. (Yudi Latief on Ig)
Leave a Reply