Emanuel Dapa Loka, warga Desa Pero di Kecamatan Wewewa Barat, Sumba Barat Daya
Orang Sumba, khususnya dari sub etnik Wewewa di Sumba Barat Daya, pasti sangat familiar dengan kosa kata wissa-wissa. Kosa kata lain yang artinya sangat dekat dengan wissa-wissa adalah ngammu–ngammu. Arti keduanya adalah teriak-teriak. Namun, ketika nada bicara orang yang wissa-wissa itu diturunkan, lalu yang hendak dikatakan dilontarkan secara teratur dan tenang, maka itulah yang disebut panewe atau berbicara.
Wissa–wissa (teriak-teriak) atau kawissaka (berteriak) adalah ujaran atau ekspresi yang disampai dengan tidak teratur, sehingga yang disampaikan pun tidak begitu jelas. Dari situ muncul istilah wissa-wissa awa (asal teriak-teriak). Karenanya, tidak terlalu perlu didengarkan.
Lantas, apa hubungan wissa-wissa dan Pilkada pada judul di atas? Sekarang mari kita ciptakan dua tokoh, yakni rakyat sebagai pemilih dan calon bupati sebagai kontestan Pilkada. Tentu saja keduanya memiliki peran dan kapasitas yang berbeda, dan karenanya diharapkan kualitas konten wissa-wissa mereka pun berbeda.
Untuk Apa jadi Bupati?
Wissa-wissa seorang kandidat bupati harus muncul dalam bentuk panewe, baik secara lisan maupun tertulis. Itulah yang kemudian kita kenal dengan visi misi atau program kerja yang akan ia eksekusi saat menjadi bupati. Karena panewe-nya seorang calon bupati menyangkut hajat hidup orang banyak, maka seorang calon bupati tidak boleh asal bicara alias wissa-wissa awa.
Dan dalam konteks “tidak asal” itu, seorang calon bupati harus secara serius memikirkan kembali atau merefleksikan dengan jujur motivasinya mau menjadi bupati. Benarkah dia mau menjadi bupati untuk melayani rakyat agar tercipta bonum commune alias kesejahteraan bersama, atau hanya karena mengikuti nafsu atau syahwat untuk berkuasa dan memenuhi gengsi?
Dalam bentuk lain, pertanyaannya: apakah keinginannya menjadi bupati karena dia terpanggil menyembuhkan duka derita rakyat yang tertatih-tatih dalam perjuangan hidup yang sangat tidak ringan? Apakah dia terpanggil oleh tatapan nanar anak-anak yang mengalami kurang gizi, stunting, putus sekolah, sakit dan meregang nyawa karena ketidakmampuan berobat? Apakah karena hati nuraninya tergerak oleh belas kasihan menyaksikan perjuangan ibu-ibu dan anak-anak yang susah payah berjalan melintasi bebukitan untuk mendapatkan air bersih?
Apakah keingian itu muncul karena menyaksikan para petani yang bekerja mati-matian di bawah panggang matahari dan curah hujan angin, namun hasilnya sangat sedikit? Apakah dia terpanggil menyeka air mata para peternak babi yang ternaknya musnah dihajar virus ASF?
Atau karena hatinya tersayat-sayat mendengar ina ama menangis karena kehilangan anak mereka yang berangkat menjadi TKI ilegal ke negeri orang, lalu Kembali tanpa nyawa? Dan mestinya masih banyak alasan lain yang muncul ketika sang calon bupati berusaha “bercermin” pada wajah dan hidup rakyat.
Kalau pertanyaan-pertanyaan tersebut dan pertanyaan-pertanyaan sejenis tidak pernah terhunjam ke hati dan pikiran sang calon, dan lebih dari itu tidak pernah memikirkan, menimba spirit atau merenungkan jalan alternatif untuk menjawab, maka sebaiknya calon jenis ini menghentikan langkahnya. Sudah pasti dia tidak diperlukan rakyat.
Sumba membutuhkan calon bupati yang jujur. Jujur dalam kemampuan atau kapasitas, jujur dalam motivasi, jujur dalam ketulusan dan kecerdasan, juga bijaksana.
Minus Malum
Tentu saja, tidak ada yang memenuhi semua syarat itu sepenuhnya. Namun kita berharap, oleh karena mereka juga tumbuh dari situasi hidup menjelata, maka mereka akan termotivasi untuk bertarung habis-habisan demi rakyat, mengangkat martabat saudari dan saudaranya.
Kita tidak mau mendapatkan bupati yang hanya ingin menikmati kehidupannya sendiri bersama orang-orang terdekatnya. Kita mau bupati yang mendekati “selesai dengan dirinya”.
Kalaupun belum, kita memilih yang terbaik saja dari yang ada, tentu saja setelah mencermati rekam jejak dan arah pandang visinya. Memilih jangan sampai karena mendapat uang. Sebab alasan ini merendahkan martabat baik yang memilih maupun yang dipilih.
Di sinilah adagium “minus malum” Romo Franz Magnis Suseno yang mengatakan “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa” menemui kebenarannya.
Lantas, bagaimana dengan wissa-wissa-nya rakyat. Wissa-wissa dari rakyat ini betapa pun mungkin tidak teratur, harus didengarkan oleh calon bupati, lalu direfleksikan, dirumuskan, dicarikan jalan keluarnya dan dilaksanakan.
Wissa-wissa rakyat, betapapun tidak enak di telinga, itu adalah jelmaan vox atau suara dari Tuhan. Kata sebuah ungkapan, Vox populi vox Dei.
Namun, agar bisa mendengar dan memilah dengan baik wissa-wissa rakyat itu, seorang bupati harus juga memiliki kemampuan discernment yang tajam. Dan itu bisa diperolehnya dari kejituan analisis dan ketajaman intuisi setelah berusaha dengan jujur memeriksa motivasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Jika, baik calon bupati dan calon pemilih atau rakyat tidak mau atau tidak bisa menata wiisa-wissa mereka itu lalu berusaha dengan setia dan cermat melaksanakan, maka wissa-wissa itu akan bersalin rupa dan karakter menjadi wosso-wosso atau kawossoka atau flatus vocis, bebunyian yang tidak punya arti apa-apa.
Mari menjadi calon bupati dan calon pemilih yang tidak hanya wissa-wissa apalagi wosso-wosso atau hanya kawossoka (omong kosong).**
Leave a Reply