Bertahan dengan Budaya Sumba di Tengah Metropolitan

Para Rato menerima rombongan loloka yang keddhe

Oleh Emanuel Dapa Loka, salah satu warga IKBS, tinggal di Bekasi

Gedung Capitol di Kamal Muara, Jakarta Barat, tadinya berfungsi sebagai gudang sebuah perusahaan besar di Jakarta. Oleh karena masalah internal, gedung tersebut sudah lama tidak terpakai. Karenanya, sepi seperti tak bertuan.

Tapi pada sepanjang 26 Januari 2025, gedung itu seakan menemukan kembali jiwanya sebagai tempat orang-orang berkumpul. Lebih dari 1.000 orang dalam balutan kostum adat Sumba yang meriah dan wajah-wajah gembira memadati ruangan dan pelatarannya. Mereka datang bukan untuk mencari nafkah, tapi hendak mereguk nutrisi bagi jiwa sebagai orang Sumba.

Walau tinggal di kota besar seperti Jakarta dan kota-kota sekitarnya, mereka tidak melupakan budaya adiluhung warisan nenek moyang mereka. Mereka bahkan ”Menyulap” gedung tersebut dan pelatarannya menjadi pelataran kampung adat di Sumba.

Di tempat ini, dengan tujuan utama merayakan Natal dan Tahun Bersama, mereka menggelar ritual adat Sumba.

Rombongan DPP IKBS masuk ke pelataran pesta.

Sejak pagi sampai siang kelompok Kosambi (dipimpin Octanianus Umbu Lodo), Ikalsabda (dipimpin Martinus Bobo Milla), DPC Bogor (dipimpin Fredy Datom), DPW Banten (dipimpin Andreas Dadi Meza), dan DPP IKBS yang dipimpin Hermanus Malo Dona dan Celestino Reda melakukan silih berganti Keddhe. DPP IKBS membawa satu ekor sapi, sementara kelompok-kelompok lain membawa babi.

Selain menari-nari, panitia menyambut setiap rombongan secara adat dengan oka, yakni seruan pertanyaan tentang siapa dan untuk apa mereka datang. Seruan-seruan itu menggunakan syair-syair adat, yang juga ditimpal dengan syair-syair adat oleh rombongan yang datang.

Budayawan Sumba Fredy Dappa Toma, Agus Ama Ki’i dan Yulius Ngongo Lede dan Klemens Bili Talu saling bersautan melontarkan lirik-lirik adat.

See also  Dr. drg. Aloysius Giyai, Sukses Setelah Menembus Batas-batas Kemustahilan

“Co…..!! Ngarra mi nemme a lollungomalawo mangngu anana, a birringo tawewe mangngu tolluna,” pekik pihak penanya. Artinya, ”Hallo….!! Siapakah kalian yang datang beriring-iringan seperti tikus bersama anak-anaknya dan ayam hutan bersama telur-telurnya?”

Mendengar pertanyaan itu, rombongan yang datang menjawab juga dengan lirik adat, ”Yammedona, wolla mi, uwami, anami, allikami, wottomi, na’ami a tau oma bhali wanno, a tukku katura bhali bonnu. Mai domma dengngi we,e maringngi loko, we’e magabho mara barra ina, barra ama ma”.

Artinya, Kamilah keturunan kalian, anak-anak kalian, saudaramu laki-laki, saudarimu perempuan dan saudaramu laki-laki yang berkebun di sebelah kampung, yang mencari nafkah di seberang lautan. Kami datang untuk meminta dan mereguk berkat pada kalian ayah dan ibu kami.

Tarian dan pekik kegembiraan menyemarakkan pesta.

Setelah ada seruan ucapan selamat datang, tuan rumah menerima rombongan dengan menyelempangkan kain sambil berciuman. Riuh renda tarian dan pekikan kegembiraan diiringi bunyi gang dalam irama yang cepat pun pecah. Semuanya tenggelam dalam tarian kegembiraan. Gerakan tarian yang diperagakan tidak seragam, tergantung improvisasi masing-masing.

Keddhe dalam Spirit Baru

Ketua DPC IKBS Jakarta Barat Martinus Lelu Bili sukses memimpin pesta.

Di IKBS sendiri budaya keddhe menimbulkan pro dan kontra. Yang kontra mengatakan ini pemborosan, sebuah budaya yang memiskinkan. ”Kita semua tahu Kedde adalah sebuah kebiasaan yang memiskinkan orang Sumba, IKBS malah mempopulerkannya. Tidak benar,” ungkap kelompok yang kontra.

Pertanyaannya, apakah Keddhe model IKBS ini sebagai kebiasaan yang memiskinkan, atau justru merupakan sebuah pendekatan kebudayaan untuk di satu sisi menyediakan lauk pauk yang cukup untuk pelaksanaan pesta dan di sisi yang lain tetap mempertahankan dan mengesprasikan budaya Sumba di tengah-tengah derasnya modernisasi dan budaya pop korea? Jawabannya di bawah ini.

See also  Peserta, Ofisial dan Pejabat  PON Papua, Jangan Lupa Mampir di HAWAI

Tentu saja bukan hal mudah dan murah mempertahankan dan menghidupi budaya Sumba di rantauan, di Kota Metropolitan pula. Dan pengurus IKBS bersama panitia sangat menyadari hal ini. Sekali lagi tidak mudah.

Mengapa? Dibutuhkan sebuah semangat dan keteguhan prinsip di tengah-tengah peradaban yang berubah dalam hitungan detik. Bahkan, sadar atau tidak, bisikan bahkan teriakan magis teknologi dan zaman yang menggoda untuk segera meninggalkan ”Budaya lama” itu telah merasuk ke dalam jiwa setiap individu.

Tidak hanya itu. Dana yang diperlukan tidak sedikit. Harus ada jiwa rela berkorban dari pentolan-pentolan IKBS yang menggerakkan warganya untuk menyumbang dana dan pikiran, lalu menghadiri pesta.

Jika seluruh kebutuhan pesta tersebut ditanggungkan kepada satu atau beberapa orang, memang terasa sangat berat. Tapi yang terjadi di IKBS adalah ”Tanggung bersama”. Hewan yang dibawa dalam Keddhe pun merupakan buah gotong royong.

Dalam semangat tersebutlah terjadi sebuah pemaknaan baru atau revitalisasi makna, bahwa untuk mencapai sebuah tujuan bersama bagi kegembiraan bersama, diperlukan sebuah kebersamaan, gotong royong, semangat memberi, kerelaan berbuat dan sebagainya.

Dalam budaya Keddhe di Sumba, yang menanggung biaya untuk mengadakan kerbau yang dibawa ke pesta hanya satu atau dua orang bersaudara. Dalam IKBS, kerbau atau babi yang dibawa ke pesta berikut seluruh biaya yang dibutuhkan merupakan hasil ”Kumpul tangan” seluruh anggota IKBS.

Agustinus Ama Ki’i menerima rombongan Keddhe

Dan harap dicatat, sebagian besar warga IKBS bekerja di pabrik-pabrik, sektor-sektor informal, kantor-kantor swasta dan sebagainya. Pendapatan mereka pun hanya cukup untuk hidup sehari-hari, bahkan kurang.

Namun dari keterbatasan inilah mereka memberi bagi pelaksanaan acara bersama. Untuk ini diperlukan panitia yang mau bekerja keras dan kreatif untuk menggugah hati setiap anggota untuk memberi.

See also  Agustinus Tamo Mbapa, Persahabatan, dan Beras dari Piet Tallo

Bahwa ada yang berperan sebagai rombongan tamu pembawa kerbau, sapi atau babi, itu adalah skenario yang dibuat agar ritual tetap bisa dijalankan sebagai kesempatan merasakan jiwa ”Kesumbaan”, namun dalam semangat baru.

Dari tahun ke tahun IKBS berhasil memilih panitia yang benar-benar bekerja spartan untuk menyelenggarakan acara. Tahun ini, Ketua DPC IKBS Jakarta Barat, yakni Martinus Lelu Bili bertindak sebagai tuan rumah.

Dengan segala keterbatasan dan kelebihannya, Martinus berhasil menggerakkan panitia yang rata-rata diisi oleh anak-anak muda untuk menyelenggarakan Pesta Natal dan Tahun Baru bersama tersebut.

Martinus mengaku sangat tidak mudah mengorkestrasi acara tersebut, terutama karena dana yang ”Mepet” dan kesibukan setiap anggota panitia yang tetap harus bekerja. Tapi karena komitmen tinggi dan jiwa petarung yang dimiliki Martinus dan kawan-kawan, pesta Natal dan Tahun Bersama digelar dengan berhasil dan mendapat apresiasi yang tinggi dari berbagai pihak.

Menariknya, acara tersebut juga dihadiri oleh anak-anak dari warga IKBS yang mungkin belum pernah pulang ke Sumba untuk menyaksikan langsung pesta adat di sana. Di Jakarta pun, mereka bisa merasakan aura dan gemuruh pesta nenek moyang mereka.

Selamat untuk panitia atas kesuksesan tersebut. Semoga makna-makna baru penuh improvisasi dan innovasi itu berproses dari waktu ke waktu dan pada gilirannya menjadi sumbangsih bagi pemeliharaan budaya Sumba.*

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*