
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hati dan jiwa Martha Dada Gabi (Alm) selalu gelisah dengan ”Nasib” budaya leluhurnya di kemudian hari.
Dia tidak ingin bahwa budaya Sumba yang dia yakini amat bernilai itu tidak terwariskan dengan baik kepada generasi berikutnya.
Itulah sebabnya dia dengan gigih mempelajari budaya itu lalu mengajarkan kepada generasi muda, tentu dengan improvisasi-improvisasi tertentu.
“Sejak saya pindah ke Kodi, kalau saya lihat anak perempuan, dalam hati saya sudah bisik, dia anak Kodi, harus bisa menari Kodi,” kata Mama Martha, demikian ia biasa disapa dalam buku Perempuan Tidak Biasa di Sumba (Era 1965-1998) karya Martha Hebi.
Mama Martha sendiri berasal dari Laura. Ketika mengajar di Kodi, dia berjumpa dengan seorang guru muda bernama Gregorius Gheda Kaka, yang juga berdarah seni.
Dalam berbagai acara berkesenian mereka bertemu. Lalu ibarat pepatah Jawa Witing tresno jalaran soko kulino – Cinta itu muncul karena keseringan bertemu.
Cinta akibat sering bertemu itu kemudian mereka sinari dan sirami. Dan cinta yang sama lalu mengikat mereka dalam wadah pernikahan (pada 12 Oktober 1969). Pernikahan ini pun memberi mereka empat buah hati, Pater Wilhelmus Ngongo Pala, CSsR, Heribertus Ramone, Patricia Kaka dan Oktovianus Lete Watu.

Perkawinan dua orang penyuka seni ini melahir karya-karya baru. Mereka saling melengkapi. Jika Mama Martha menciptakan sebuah gerakan tari, sang suami menciptakan lagu, mengarensemennya untuk mengiringi tarian tersebut.
Irama gong dan tambur, dua alat musik utama dalam tarian tradisional Kodi disesuaikan dengan lagu dan tarian. Untuk keperluan mengiringi misa, mereka membuat kombinasi antara gong dan tambur dengan musik orgel dan gitar.
Mereka latihan menari dan menyanyi hingga larut malam, sampai sekitar pukul 1 atau 2 dini hari. ”Kami kadang ’bertengkar’ gara gara lagu dan tarian. Juga irama gong yang tidak sesuai,” Mama murah senyum, lalu tertawa lepas mengenang semua peristiwa itu.
Mengisi Kelas Kosong
Mama Martha selalu mencari kesempatan untuk mengajari anak-anak muda menarikan tarian-tarian yang sebenarnya hidup di tengah-tengah masyarakat, namun kurang menarik perhatian orang muda.
Sebagai seorang guru, dia bisa mengajar tari di sekolah. Bahkan kelas-kelas yang kosong karena tidak ada gurunya, dia datangi untuk mengajak dan mengajar para siswa yang ”Nganggur” untuk menari. Agar para siswa merasa tertarik, dia terlebih dahulu menceritakan sejarah atau pesan filosofis di balik tarian itu.
Dan agar dia bisa lebih leluasa mengajar tari, pada tahun 1982, Mama Martha mendirikan Sanggar Hangapung. Dalam wadah inilah dia mengembangkan dan mendidik anak muda untuk mencintai tarian.

Menari, menurut Mama Martha, tidak sekadar menggerakkan tangan dan kaki. Ada ekspresi jiwa di sana. Setiap tarian katanya, mengandung pesan gembira, sedih, bersyukur dan sebagainya.
“Kita menari harus sesuai dengan pesan yang mau kita sampaikan. Karena itu iramanya kadang lembut, tetapi pada bagian bagian tertentu kita harus ekspresif,” jelasnya.
Sangking cintanya pada tarian dan aktivitas menari, Mama Martha pada usianya sudah senja tetap menari. Pada tahun 2023 lalu dia masih turun di pelataran untuk menari.
Bahkan, masih kepada Martha Hebi dalam buku yang sama di atas, dia berpesan agar ada tarian baginya di sekitar kematiannya kelak. “Jadi kalau saya mati nanti, harus ada yang menari buat saya seperti saya yang ingin menari sampai saya tidak kuat lagi,” ujar Mama Martha.
Pada 23 Januari 2025 lalu Mama Martha menutup mata pada usia 76 tahun di Rumah Sakit Karitas Weetebula, Sumba Barat Daya, NTT.
Selamat pulang ke rumah Bapa di Surga, Mama. Di sana Mama pasti menari bersama para Malaikat dan orang Kudus, tentu saja bersama Pak Goris, belahan jiwamu yang sudah menunggu.
Jangan lupa mengajak Bunda Maria dan Putranya untuk mencoba entakan-entakan tarian Kodi bersama pekik kabuara-nya yang heroik itu. Requiescat in Pace. (EDL)
Leave a Reply